16. Jadi Selama Ini?

5 3 0
                                    

Hasbi mengendarai mobilnya memecah jalanan Bandung yang cukup padat dengan tenang. Ditemani instrumen intro loop Lily of The Valley dari Daniel, Azza yang duduk di jok depan memperhatikan jalanan ramai di luar mobil sana dengan sesekali memotret dengan ponselnya. Sementara Albar yang duduk di jok belakang tak bergeming dan nyaman dalam tidurnya.

“Sebelah mana Za?” tanya Hasbi sambil memperhatikan sekeliling dengan saksama.

Azza ikut memperhatikan. “Nah itu kak,” ucapnya menunjuk sebuah bangunan yang cukup mewah.

Hasbi segera mengambil ancang-ancang dan berbelok mulus ke arah bangunan yang Azza tunjukkan. Dia lantas mengikuti arah petunjuk Azza menuju area parkir di belakang gedung. “Wah, dari luar aja udah bagus banget,” ucap Hasbi takjub.

Azza hanya tersenyum. Suasana segar pepohonan mulai terasa. Disepanjang jalan dari gerbang utama sampai parkiran, banyak tumbuh pohon-pohon teduh dan beraneka macam bunga.

Sampai di parkiran, Azza membangunkan Albar dan mengajak mereka untuk segera memasuki bangunan itu.

“Za, ini butik mama kamu sendiri, atau ada gabung sama kantor orang lain?” tanya Albar sambil menatap sekeliling dengan takjub. Suasana tempat itu cukup ramai. Tampak banyak mobil terparkir juga. Banyak diantaranya juga mobil mewah.

Azza berjalan di depan menunjukkan arah. “Mama aja,” ucap Azza tersenyum.

Mereka terus berjalan dan sampai di lobi utama. “Kak, Mama dimana?” tanya Azza pada seorang resepsionis yang berjaga di lobi utama.

“Ibu ada di ruangannya dek. Tapi hari ini ada banyak janji temu. Kebetulan lagi ada yang dari luar negeri. Tapi sebentar ya, kakak cek dulu. Pasti ada waktu luangnya kok,” ucap resepsionis itu sambil mengecek komputernya.

Azza mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.

“Bi, ini keren banget sih. Kita temenan sama anak desainer terkenal. Mewah banget butiknya,” ucap Albar berbisik pada Hasbi yang sama takjubnya dengan interior butik itu yang sangat indah.

“Iya Bar. Pantas aja sibuk. Orang bisnisnya bukan main-main,” timpal Hasbi.

Sementara itu, Azza yang selesai berbicara dengan resepsionis segera mengajak Hasbi dan Albar untuk masuk dan menuju ruangan mamanya.

“Za, ini keren banget,” ucap Albar. “Aku jadi minder disini,” kekehnya lagi.

“Ish apaan, jangan gitu kak Albar. Azza gak suka. Kita lagi main ke sini. Jadi have fun ya. Kita bebas mau apa aja. Banyak makanan juga kok. Karena setiap tamu emang dikasih hidangan makan juga. Nanti Azza tunjukkin,” ucap Azza.

“Mainnya orang kaya emang beda,” timpal Albar lagi yang membuat Hasbi ikut tertawa.

Mereka tiba di sebuah ruangan yang sebagian dindingnya dibuat dengan kaca besar. Terlihat mama Azza tengah mengobrol dengan banyak orang di ruangan besar itu. Ada seorang perempuan yang sedang mencoba gaun, seorang lelaki yang sedang mencoba setelan jas, beberapa pegawai yang sedang mengatur gaun yang dipakai itu, dan mama Azza yang tampak tengah menjelaskan sesuatu pada beberapa orang lainnya.

“Mereka lagi apa Za?” tanya Albar penasaran.

“Itu lagi fitting gaun pengantin kayaknya,” ucap Azza. “Mama lagi sibuk ternyata,” timpalnya tampak sedikit sedih.
Mereka tidak jadi masuk ke ruangan itu karena tahu mama Azza sedang sibuk bekerja. Azza memutuskan untuk mengajak mereka langsung ke sebuah ruangan. Ruangannya luas dan nyaman. Lebih tampak seperti rumah. Ada bagian dapur sederhana tapi nyaman, ada sofa-sofa dan televisi, ada juga meja kerja dengan rak buku besar, juga tempat tidur di sudut ruangan yang sedikit tertutup.

“Ini ruang kerja Mama kamu, Za?” tanya Hasbi.

Azza mengangguk. “Iya. Ini tempat kerja pribadi mama kalau mau sambil istirahat. Sering Azza tempati juga kalau ke sini. Mama sih punya ruang kerja utama,” jelas Azza sambil masuk dan langsung menuju kulkas. “Nah, kan di sini juga banyak makanan. Ayo!” ajak Azza mengambil banyak makanan dari kulkas dan merebahkan badannya di sofa sambil menyalakan televisi.

Albar dan Hasbi yang sejak masuk bangunan butik tadi kikuk, mulai merasa nyaman dan leluasa. Hasbi terdiam melihat banyak yoghurt dan susu di meja sofa, meja makan, bahkan di dalam kulkas tadi. “Za, kamu niat banget punya banyak stok yoghurt di sini,” ucap Hasbi sambil ikut duduk di samping Azza.

“Nggak. Azza juga gak tahu kenapa tiap kesini pasti banyak yoghurt sama susu. Mungkin mama juga suka yoghurt sama susu?” tanya Azza menerawang. Dia menyodorkan makanan ringan di tangannya pada Hasbi dan Albar bergantian.

Hasbi tersenyum. Dia menyadari bagaimana kasih sayang seorang ibu sesibuk apapun dirinya. Mereka kemudian larut dalam tawa karena menonton film komedi sambil lagi-lagi menikmati banyak makanan.

••

Suara pintu terbuka menginterupsi tawa Azza, Hasbi dan Albar yang menggelegar mengisi ruangan. Mereka menoleh ke arah sumber suara dan melempar senyum pada Mama Azza yang datang dengan wajah riang.

“Wah, kenapa gak bilang sama mama kamu mau kesini sayang? Kalau tahu gitu mama siapin makanan atau apa gitu,” ujar Mama Azza sambil mendekat.

Azza menyalami mamanya lalu memeluknya erat. Dibalas pelukan lebih hangat dan elusan di kepala Azza yang selalu Azza suka. “Mama aja yang sibuk. Azza chat mama dari pagi bilang mau ke sini,” ucap Azza sedikit menggerutu.

“Iyakah? Aduh, maaf sayang. Mama belum cek ponsel dari pagi,” ucap mama Azza yang ditanggapi anggukan kepala serta senyuman oleh Azza.

Hasbi dan Albar tersenyum melihat interaksi Azza dan mamanya. Mereka segera menyalami mama Azza sopan.

“Tante seneng banget, kalian datang ke sini. Mau pada makan apa? Tante pesenin,” ucapnya antusias.

“Gak usah Tante. Ini juga udah banyak banget kita makan,” ucap Hasbi sungkan.

“Jangan sungkan sama Tante. Kalian anak Tante juga mulai sekarang. Ayo, mau makan apa?” tanya mama Azza lagi memastikan. Dia sudah bersiap dengan ponselnya untuk order makanan online.

“Ma, nanti dulu makannya. Ini tadi kita sebelum ke sini udah makan. Terus barusan juga nyemil banyak. Nanti deh agak sorean kita makan bareng lagi,” ucap Azza yang diikuti anggukan kepala oleh Hasbi dan Albar.

“Yaudah. Kalau gitu, ikut tante yuk!” ajak mama Azza yang langsung diikuti Azza, Hasbi, dan Albar. Mereka menuju ke sebuah ruangan cukup besar. Banyak baju-baju keren di sana.

“Nah, ini salah satu seri desain baru Tante. Hasbi, Albar, kalian pilih ya, mau yang mana aja bebas,” ucap mama Azza antusias. Dia segera menarik tangan Hasbi dan Albar untuk memilih baju-baju rancangannya.

Sementara itu, Hasbi dan Albar justru melongo kaget dengan apa yang dikatakan oleh mama Azza. “Duh, Tante. Mohon maaf, ini terlalu berlebihan buat kita,” ucap Albar kikuk.

Mama Azza tersenyum. “Albar, Hasbi, jangan sungkan. Tante pengen ngasih sesuatu buat kalian, tapi gak tahu selera kalian. Mudah-mudahan, di koleksi ini ada yang kalian suka. Diterima ya,” jelas mama Azza memohon sambil memegang pundak Albar dan Hasbi.

“Iya, udah pilih aja kak Hasbi, kak Albar,” titah Azza kemudian sambil mendorong mereka lebih dekat dengan deretan pakaian mahal itu.

Hasbi dan Albar tak bisa menolak dan pada akhirnya menuruti permintaan Azza dan mamanya untuk memilih dan mencoba beberapa baju. Itu adalah koleksi pakaian remaja pria. Baju-bajunya bergaya kasual yang sebagian besar berupa sweater, kemeja, jaket, dan aksesoris fashion lain.

Azza tertawa melihat mereka yang dipaksa mencoba banyak baju oleh mamanya yang kegirangan itu. Dia memperhatikan mereka sambil merebahkan diri di sofa yang memang disediakan untuk orang-orang yang menunggu fitting. Dalam hatinya, Azza begitu bersyukur. Terlepas dari betapa sibuknya orang tuanya, Azza tahu mamanya sangat menyayanginya. Dia bersyukur lahir dari rahim seorang perempuan hebat, desainer terkenal yang karyanya mendunia, dan memiliki sahabat-sahabat sebaik Hasbi dan Albar. Azza bahagia, sampai tidak menyadari kantuk datang dan dia tertidur lelap.

“Za, coba lihat. Kak Hasbi cocok gak pakai ini?” tanya Hasbi saat keluar dari tempat fitting sambil merapikan jaket yang dipakainya. Saat tak kunjung ada jawaban, dia baru menyadari kalau Azza sudah tertidur lelap. Hasbi tersenyum.

“Tidur dia?” tanya Albar tersenyum dari belakang Hasbi.

Hasbi mengangguk. Mama Azza ikut mendekati Azza dan duduk lesehan memperhatikan Azza dari dekat. Hasbi dan Albar ikut duduk memperhatikan. Tanpa bisa ditahan, mama Azza mulai menitikkan air matanya.

“Tante gak pernah menyangka akan punya seorang anak secantik dan sekuat Azza,” ucap mama Azza pelan sambil membenahi rambut yang menutup wajah Azza.

Hasbi dan Albar ikut tersenyum.

“Azza cerita semua tentang kalian dari mulai bertemu sampai hari ini. Bagaimana kalian bertemu, menangis sama-sama, atau sekadar cerita makan-makan. Azza selalu antusias,” jelasnya. “Sayangnya, Tante gak bisa selalu nemenin Azza tiap waktu untuk dengar semua ceritanya.”

“Maaf lancang sebelumnya Tante, tapi apa kita boleh tahu alasan pasti kenapa om dan Tante jarang di rumah? Azza selalu rindu kalian,” ucap Hasbi memberanikan diri menanyakan sesuatu yang sangat sensitif.

Mama Azza terdiam. Dia melepaskan tangannya dari Azza dan menatapnya sendu lalu berbalik menatap Hasbi dan Albar bergantian. “Tante sama Om gak sekuat Azza,” ucapnya menggeleng dengan suara parau. “Kita memang sibuk, tapi bukan itu alasan pastinya. Kita hanya terlalu banyak takut. Saat dirumah, bersama Azza, kita gak bisa nahan nangis. Kita selalu kalah dengan perasaan sedih mengingat semua yang menimpa Azza selama ini,” jelas mama Azza.

“Tapi Tante, mungkin kalian bisa saling menguatkan jika sering berkumpul sama-sama,” ucap Albar menimpali.

Mama Azza menggeleng. “Saat kita berkumpul, baik om maupun Tante selalu gak bisa nahan nangis. Kita gak sanggup untuk menyemangati Azza, karena kita runtuh lebih dulu. Tante tahu, Azza paling gak mau membuat orang lain menangis. Apalagi orang tuanya. Saat dia tahu orang tuanya menangisi dia, dia akan merasa bersalah. Dan kondisinya selalu lebih buruk. Itulah kenapa Om dan Tante bersembunyi. Jauh dari Azza dan hanya sesekali bertemu.” Tangis pecah. Mama Azza tak kuasa menahan air matanya yang berlinang. “Kita menangis dibalik kesibukan pekerjaan. Melihat Azza dari jauh saat di sekolah, saat dia beli gelato bareng Hasbi, saat dia ngobrol malam-malam didepan minimarket bareng Albar.” Mama Azza memegang tangan Hasbi dan Albar.

“Jadi selama ini?” ucap Hasbi berkaca-kaca.

Mama Azza tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kita gak jauh dari Azza. Kita hanya gak sanggup bikin Azza sedih dengan kesedihan yang sulit kita sembunyikan,” jelas mama Azza. “Itulah kenapa, Tante sama om bahagia banget waktu tahu Azza ketemu kalian. Kita jadi lebih tenang.” Mama Azza menggenggam erat tangan Albar dan Hasbi. “Tante juga tahu kesulitan kalian. Masalah kalian. Kalian bertiga hebat. Tante gak pernah bertemu orang sekuat kalian. Jangan berpisah ya. Saling menguatkan. Tolong jaga Azza. Tolong temani Azza ya.”

Tangis Albar pecah. Hasbi mencoba menahan air mata tapi akhirnya lolos juga. Mama Azza menarik Hasbi dan Albar ke dalam dekapannya. Hari itu, dia bukan hanya memiliki Azza sebagai anaknya. Tapi juga Hasbi dan Albar, remaja yang sama kuatnya. Mereka menangis bersama.

_________

Halo Assalamu'alaikum readers! 💐🤍

Part ini bawang banget buat author 😭😭
Semoga kalian suka ya. Yuk bantu dukung aku dengan vote, komen, share dan follow akun wattpadku. Kamu juga bisa mampir ke akun media sosial aku ya :

Instagram : @alfattah.studio
TikTok : @alfattah.studio

Terima kasih banyak. See you next chapter! 🤍💐

Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang