15. Milik Hasbi

6 3 0
                                    

Hasbi dan Albar tengah menunggu Azza datang. Ini adalah hari libur. Dan mereka sepakat untuk menghabiskan waktu bersama dengan menonton film, makan bersama, dan mengunjungi beberapa tempat yang mereka suka.

Tak lama kemudian, Azza datang dengan mengenakan midi dress floral dipadukan dengan outer cardigan lembut berwarna cream. Dia sedikit berlari sambil memegangi sling bagnya. Bibirnya tersenyum cerah. Meski riang itu tak bisa menyembunyikan seluruh sakit dan lemahnya.

“Jangan lari-lari Azza!” ucap Hasbi sedikit berteriak saat Azza masih berjarak sepuluh meteran.

Azza datang dan melambaikan tangan menyapa. Wajahnya tersenyum sumringah. Meski tampak cukup jelas disana, wajah Azza sedikit bengkak dan ruam-ruam merahnya cukup jelas. Tapi itu tidak menutup kecantikannya. Apalagi kecantikan hatinya.

“Udah lama?” tanya Azza membenahi anak rambutnya yang berantakan. Dia menyelipkannya ke belakang telinga. Membuat Hasbi tersenyum lembut bahagia.

“Nggak, belum lama kok.” Albar menjawab diikuti anggukan kepala Hasbi.

Azza tersenyum dan memandang ke sekeliling. Suasana pusat perbelanjaan itu cukup ramai karena ini adalah hari libur. “Kita mau kemana dulu?” tanya Azza sambil masih memperhatikan orang-orang di sekitarnya.

“Kamu mau ke mana aja Za?” tanya Hasbi sambil menatap Azza.

Azza tampak berpikir sejenak. “Nonton yuk. Nanti temenin Azza beli buku. Ada series fiksi baru yang pengen Azza beli. Boleh?” tanya Azza antusias.

Hasbi dan Albar tersenyum. “Kalau Hasbi sih gak mungkin nolak,” ucap Albar terkekeh.

“Boleh Za,” ucap Hasbi lembut.

“Kan?” tegas Albar tertawa.

Azza ikut tertawa. “Kak Habsi sama kak Albar mau ke mana aja?” tanya Azza.

“Kita ikut kamu aja Za,” ucap Albar yang diikuti anggukan kepala Hasbi.

Azza tersenyum. Dia segera berjalan menuju sebuah bioskop untuk menonton film. Hasbi dan Albar mengikutinya dari belakang. Mereka berbincang panjang disepanjang jalan. Dan Hasbi yang tak banyak bicara saat itu lebih banyak fokus mengabadikan momen dengan mengambil foto dan video.

“Kak Hasbi, ih hapus dulu. Jelek itu!” ucap Azza berusaha mengambil ponsel Hasbi yang dia angkat tinggi-tinggi.

Hasbi tertawa dan tidak membiarkan Azza mendapatkan ponselnya. Foto Azza yang Hasbi ambil tidak sengaja dan menunjukkan Azza sedang cemberut itu seketika menjadi rebutan.

Albar yang tengah membeli tiket nonton film ikut tertawa melihat kelakuan Hasbi dan Azza.

“Ayo ambil aja kalau bisa,” ucap Hasbi tertawa.

Azza menggerutu. “Kak Hasbi mentang-mentang tinggi ya!” ucapnya kesal.

Hasbi semakin tertawa melihat tingkah kesal Azza.

“Ya makannya ayo tinggi,” ejek Hasbi.

“Kak Hasbi jail nanti pantatnya kelap-kelip loh,” ujar Azza.

Hasbi dan Albar yang berjalan mendekat setelah membeli tiket nonton tertawa seketika. “Kamu tahu kalimat begituan juga ternyata, Za.”

Mereka tertawa lepas hari itu. Seolah segala kesulitan yang sedang mereka hadapi seketika hilang tak terlihat. Takdir begitu indah mempertemukan mereka yang asing menjadi sahabat sedekat ini. Hasbi yang tak berteman dengan banyak orang, Albar yang selalu minder bergaul dengan orang lain, dan Azza yang terlalu lemah untuk masuk ke dunia sosial, bertemu di titik terbaik yang membuat mereka sama-sama menemukan rumah paling nyaman.

Usai mendapatkan tiket dan membeli beberapa makanan serta minuman, mereka bergegas masuk ke ruang bioskop dan mencari kursi mereka masing-masing. Azza duduk di tengah. Albar di samping kirinya, dan Hasbi di samping kanannya.

“Apa yang menarik dari nonton film menurut kalian?” tanya Albar tiba-tiba sambil menatap layar yang belum menampilkan tayangan. Dia masih membenahi posisi duduknya.

“Sebagian orang ingin merasakan sesuatu yang tidak bisa dia capai dalam hidup dan hanya terjadi di film. Terkadang itu seperti sebuah perayaan atas ketidakberdayaan,” ucap Azza sambil menatap layar besar di bawah sana.

Hasbi tersenyum. “Kadang juga sesederhana ingin meluapkan tangis dan tawanya yang lama dia tahan,” timpalnya sambil ikut menatap ke layar kosong di depan sana.

Sejenak mereka terdiam dan larut dalam pikirannya masing-masing. Di sekeliling mereka, riuh suara orang berdatangan dan mencari tempat duduk mendominasi.

“Azza sebenernya udah nonton film ini loh,” ucap Azza memecah keheningan mereka bertiga.

Hasbi dan Albar seketika menatap Azza. “Kok gak bilang, Za? Kalau kamu udah nonton film ini, kita bisa nonton yang lain,” ucap Hasbi heran.

Azza tersenyum menatap Hasbi. “Nggak apa-apa. Justru Azza mau nonton ulang,” jawabnya.

“Kenapa, Za?” Albar bertanya.

Azza menghela napas. Dia tersenyum menatap Hasbi dan Albar bergantian. “Film itu seperti hidup. Saat kita menontonnya, kita gak tahu akhirnya akan seperti apa. Seringkali kita cemas, takut, sedih bahkan marah menanggapi itu. Dan saat itulah, kita butuh tenang. Untuk Azza, salah satu caranya adalah dengan menonton film berulang-ulang. Karena Azza tahu akhirnya seperti apa, Azza gak takut dan cemas berlebihan. Kadang hidup memang butuh momen-momen seperti itu. Saat kita bersantai dan berhenti sejenak dari kecemasan panjang tentang takdir dan masa depan.”

Hasbi dan Albar terdiam. Lagi-lagi Azza membuat mereka jatuh hati kian dalam. Pada kekuatannya, pada luas lapang dihatinya. Azza adalah bentuk lain dari hujan di Padang gersang permasalahan hidup mereka. Yang tak pernah diprediksi kapan datangnya.

••

“Kak Hasbi, kak Albar, ayo photobooth!” Azza berteriak girang sambil menarik tangan Hasbi dan Albar menuju tempat photobooth yang tak jauh dari bioskop tempat mereka menonton film baru saja.

Hasbi dan Albar tak berkutik dan hanya mengikuti semua keinginan Azza. Mereka mengambil banyak gambar dengan banyak pose. Mulai dari casual, lucu, candid, hingga pose-pose konyol sambil tertawa bersama.

Usai dari photobooth, mereka singgah di deretan food court. Azza yang masih sangat bersemangat itu bersikukuh untuk memesankan makanan dan meminta Hasbi juga Albar duduk menunggu di tempat makan.

“Kamu tahu Bar? Bagi aku ketemu Azza itu part hidup yang sangat berharga,” ucap Hasbi membuka obrolan.

Albar beralih menatap Azza yang sedang bersemangat menunjuk-nunjuk buku menu tak terlalu jauh dari tempat mereka duduk. “Kalau aku, ketemu Azza itu harapan baru, Bi. Seumur hidup aku gak pernah ketemu orang sebaik Azza. Yang waktu sakit aja masih bisa nyembuhin orang lain,” tuturnya tersenyum.

Hasbi ikut tersenyum. “Aku juga Bar. Aku gak ngerti bagaimana Azza bisa paham keadaan aku bahkan disaat kita baru aja ketemu. Dari sekian banyak orang yang aku kenal, Azza satu-satunya yang setiap katanya berhasil tembus ke hati. Ngena,” jelasnya lagi sambil menatap Azza dari jauh.

Albar mengangguk-anggukkan kepalanya setuju. “Aku jadi bersyukur banget ditabrak kamu hari itu Bi,” ujarnya tertawa diikuti Hasbi yang duduk di depannya. “Kamu jadi jalan aku ketemu Azza. Dan ketemu alasan untuk bertahan.”

Hasbi tersenyum. “Ayo terus bareng-bareng, Bar. Semoga kita sama-sama bertahan.”

Albar mengangguk-angguk. “Boleh tanya sesuatu, Bi?” tanyanya kemudian.

“Apapun.” Hasbi menjawab singkat.

“Sejak kapan suka Azza lebih dari sekadar teman atau sahabat?” tanya Albar to the point.

Hasbi yang mendengar pertanyaan itu mematung sejenak. Bagaimana bisa Albar melayangkan pertanyaan seperti itu? “Maksudnya?”

Albar tertawa. “Mungkin cuma Azza yang gak tahu makna dari tatapan kamu sama dia. Coba tanya orang lain. Siapa aja. Semuanya juga bisa tahu kamu sayang dia lebih dari kita semua sayang Azza,” jelas Albar.

Hasbi tersenyum sambil menunduk. “Jelas banget ya?” tanyanya lagi memastikan yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Albar. “Entahlah, Bar. Aku juga gak tahu kapan mulainya.”

“Gak ada niatan nembak gitu? Atau confess?” tanya Albar penasaran.

“Aku confess tiap waktu, Bar. Cuma, bukan bahasaku bilang i love you,” kekeh Hasbi lalu menghela napas panjang. “Mungkin nanti, ada saatnya aku bilang perasaan ini. Buat saat ini, sebisa mungkin aku simpan baik-baik.”

“Gak takut diambil orang?” Albar menyahut.

“Siapa yang mau ambil? Semua yang aku lakukan di sekolah udah cukup buat umumin ke semua siswa kalau Azza itu milik Hasbi.” Hasbi tersenyum bangga.
Albar bergidik geli. “Ih bisa bucin juga ya kau, Hasbi!”

Hasbi tertawa. “Satu-satunya potensi besar saingan aku itu kamu Bar. Tapi syukurnya udah tereliminasi duluan,” ujar Hasbi tertawa. “Jangan ninggalin Naira, apalagi rebut Azza. Kamu cukup jadi abangnya aja.”

Albar menimpuk Hasbi dengan topinya sambil bergidik geli untuk kesekian kalinya. “Gila Hasbi kena virus!”

___________

Halo Assalamu'alaikum readers 🤗🤗

Gimana sama part ini? Pada suka gak?😍
Jadi pengen dicintai Hasbi kayak Azza. Please, author need Hasbi in real life 😭

Jangan ketinggalan ceritanya dan ikuti terus kelanjutannya ya. Yuk vote, komen, share dan follow akun wattpadku. Kamu juga boleh mampir ke akun sosmed aku ya :

Instagram : @alfattah.studil
TikTok : @alfattah.studio

Terima kasih banyak dan see you next chapter 💐🤍

Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang