4. Semua Akan Selesai Pada Waktunya

24 11 0
                                    

“Albar? Kok di rumah sakit?” Hasbi menghampiri Albar dan duduk disampingnya. Rumah sakit hari itu tak terlalu padat. Banyak kursi kosong. Para petugas terlihat tengah bersantai dan mengobrol. Hanya beberapa yang berlalu-lalang dan membawa peralatan medis. Sebagian besar terlihat berkerumun di sekitar ruang IGD. Termasuk di ruangan tempat Azza tengah diperiksa.

“Eh, Bi?” sahut Albar mempersilahkan Hasbi duduk. Dia merebahkan tubuhnya di sandaran kursi khas ruang tunggu. “Lagi bantu tetangga yang pulang rawat inap. Katanya masih lama. Masih nunggu pemeriksaan terakhir sama ngurus-ngurus administrasi,” jelas Albar.

Hasbi mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Kamu ngapain disini? Gak nabrak orang lagi, kan?” tanya Albar tertawa.

Hasbi ikut terkekeh. “Gak tiap waktu aku ngelamun, Bar,” ucap Hasbi. “Teman sekolahku tiba-tiba mimisan parah dan pingsan. Aku sama beberapa petugas UKS dan guru langsung bawa dia ke sini,” jelas Hasbi.

“Gak ke UKS?” tanya Albar penasaran.

“Gak. Sakitnya bukan sakit biasa kayaknya,” jelas Hasbi.

“Kayaknya? Emang kenapa?” Albar semakin penasaran.

Hasbi mengembuskan napas pelan. Sejujurnya, dia belum tahu banyak tentang Azza sampai bisa menjelaskan detail dari penyakitnya. “Sebenarnya aku ketemu dia waktu nabrak kamu waktu itu. Dia di rawat di rumah sakit, bahkan sampai pakai kursi roda buat aktifitas. Kulitnya pucat. Kita ngobrol dan kenalan. Dan hari ini, gak disangka-sangka kita ketemu lagi. Dia satu sekolah sama aku, dan ternyata baru masuk kelas karena baru tiga hari lalu pulang dari rumah sakit. Kupikir, sakitnya pasti gak biasa sampai selama itu dia dirawat di rumah sakit. Makannya, waktu tadi pulang sekolah dia pingsan, aku langsung minta dia dibawa ke rumah sakit. Ini lebih serius dari sekadar pingsan karena gak sarapan yang bisa ditangani sama PMR di UKS,” Hasbi menjelaskan dengan detail tentang kondisi Azza dan pertemuan mereka.

Albar mendengarkan dengan seksama. Belum sempat dia membalas, seorang perawat menghampiri Hasbi dan menginformasikan kalau Azza sudah siuman. Hasbi lantas beranjak.

“Boleh aku ikut Bi? Kebetulan masih lama nunggu tetangga aku,” Albar mengajukan diri dan mendapat anggukan dari Hasbi. Mereka segera menuju ruangan tempat Azza diperiksa.

••

Melihat dua orang masuk ke ruangannya, Azza tersenyum dan berusaha duduk. Hasbi sigap membantunya dan menaikkan kasur bagian kepala pasien. Albar ikut membantu dengan membenahi bantal Azza.

“Kak Hasbi, maaf Azza jadi ngerepotin banyak orang,” ucap Azza dengan suara pelan. Ruangan itu hening dan benar-benar tak ada pasien lain selain Azza.

“Gak, Za. Jangan dipikirin. Udah enakan?” tanya Hasbi.

Azza mengangguk. Dia kemudian menatap ke arah Albar yang berdiri di sampingnya menatap prihatin ke arah Azza yang terbaring lemah. Di baju seragamnya banyak terlihat noda darah. Dia membayangkan seberapa banyak darah mimisan Azza dan meringis.

Seolah tahu apa yang ingin Azza tanyakan, Hasbi tersenyum. “Kenalin, Za. Ini Albar. Dia temen kak Hasbi. Orang yang waktu itu kak Hasbi tabrak,” jelas Hasbi memperkenalkan Albar.

Azza tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Halo kak Albar, salam kenal ya. Aku Azza Kamilatuzzahra. Gimana luka-lukanya? Udah sembuh?” Azza memperkenalkan diri dengan tersenyum manis.

Albar yang menyaksikannya tiba-tiba berkaca-kaca. Dia tak habis pikir. Baru kali ini dia bertemu seseorang yang menanyakan keadaannya padahal dia sendiri dalam keadaan buruk. Bagaimana dia bisa bertanya tentang keadaannya, padahal Azza bukan orang yang terlibat atau tahu persis bagaimana musibah itu menimpanya.

“Halo, Za. Salam kenal ya. Aku Albar. Albar aja. Gak ada kepanjangannya,” ucap Albar menyambut salaman Azza sambil terkekeh menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. “Aku juga udah sehat Za. Waktu itu cuma lecet dikit,” sambung Albar.

Azza tersenyum.

“Za, aku beli makanan dulu ya. Boleh aku titip Azza dulu, Bar? Kalau kamu gak buru-buru buat bantu tetangga kamu. Soalnya guru sama temen PMR yang tadi ikut anter udah pulang,” pinta Hasbi.

Albar mengacungkan jempol tanda mengiyakan. Hasbi menyimpan tasnya sambil mengambil dompet dan barang-barang yang dia perlukan. “Mau makanan apa, Za? Bar?” tanya Hasbi.

Albar dan Azza tampak berpikir.

“Yaudah terserah aku,” ucap Hasbi cepat sambil berlalu.

Azza dan Albar tertawa. “Buat apa tanya, Bi?” tanya Albar protes. Hasbi yang sudah di ambang pintu ikut tertawa dan mengacungkan tangan tanda bercanda. Lantas pergi meninggalkan Albar dan Azza.

“Maaf ya, jadi repotin kak Albar,” ucap Azza.

“Nggak Za. Aku malah seneng ada temen ngobrol. Dari pada diluar? Bengong gak jelas,” balas Albar. “Aku kesini bantu tetangga yang pulang rawat inap. Tapi ternyata masih nunggu pemeriksaan terakhir sama ngurus administrasi. Bakalan lama. Eh ketemu Hasbi, yaudah ikut sini. Kirain nabrak orang lagi dia,” jelas Albar tertawa.

Azza ikut tertawa.

“Kalau boleh tahu, kamu sakit apa, Za? Kok sampai mimisan sebanyak itu?” tanya Albar sambil menunjuk baju Azza yang penuh noda merah darah.

Azza ikut memperhatikan bajunya. Darah itu sudah mengering dan menyisakan noda yang pasti susah dibersihkan. “Azza lupus kak. Dan ada komplikasi penyakit lain juga.”

Albar tersentak kaget mendengar pernyataan Azza. Dia lantas merasa tidak sopan telah mempertanyakan sesuatu yang pasti sulit untuk Azza.

“Santai aja,” Azza terkekeh. “Azza gak sebaperan itu. Azza justru senang ada yang bertanya. Azza merasa masih banyak orang yang peduli,” jelas Azza tersenyum.

Albar juta tersenyum. “Semoga cepet sembuh ya, Za,” ucapnya dibalas anggukan oleh Azza.

Albar menghela nafas. Dia melihat langit-langit ruangan yang dicat putih. Tampak bersih dan kosong. Pikirannya melayang jauh. Menyadari bahwa ternyata di dunia ini, orang-orang memang tengah berjuang di jalannya sendiri. Ketika Albar melihat dirinya yang kesulitan karena masalah ekonomi dan merasa tengah berjuang di jalan yang paling terjal, ternyata masih ada Azza, gadis kecil yang sedang berjuang melawan rasa sakitnya. Atau mungkin berjuang antara hidup dan matinya.

“Kayaknya kak Albar tipe orang yang gak cerita ke sembarang orang. Tapi kalau kak Albar percaya Azza dan mau berbagi, kak Albar boleh cerita kok. Kadang, memendam sendiri bukan pilihan yang baik,” ucap Azza tiba-tiba.

Albar yang mendengarnya seketika menatap Azza yang tersenyum manis ke arahnya. Muka pucat itu seperti memancarkan cahaya kekuatan yang besar. Azza? Bicara begitu? Kenapa? Albar tertegun.

“A.. aku ..,” Albar terbata-bata. Sesaat kemudian matanya berair dan dadanya sesak. Dia tak percaya orang seasing Azza akan mengatakan sesuatu yang telak menyentuh hatinya. Di ruangan yang sunyi, saat hati Albar merasa gundah, Azza mengatakan sesuatu yang membuatnya tiba-tiba merasa semakin tak berdaya.

“Azza gak maksa, kak,” ucap Azza.

“Kamu tahu?” tanya Albar memastikan.

Azza menggeleng-gelengkan kepalanya. “Azza gak tahu permasalahannya. Tapi Azza tahu, kak Albar sedang tidak baik-baik saja, kan?” Azza memastikan.

Albar menunduk. Dia tertawa canggung sambil menatap ke sembarang tempat. Dia laki-laki yang kuat. Tapi entah kenapa mendengar ucapan Azza, seketika air matanya tak tertahankan. Matanya mulai berair. Tapi Albar berkali-kali mendongakkan kepalanya menahan agar air mata tak jatuh. Dia bahkan membelakangi Azza yang memperhatikannya.

“Maaf kalau Azza lancang,” ucap Azza parau. Dia merasa bersalah karena telah menyinggung sesuatu yang sensitif bagi Albar.

Albar memutar kursi dan kembali menatap Azza. Dia tersenyum sambil menggeleng. Hingga akhirnya, air matanya benar-benar lolos tak tertahankan. Albar menangis sesenggukan sambil menunduk dan mencengkeram pegangan ranjang rumah sakit yang Azza tempati.

Azza dengan ragu-ragu memegang pundak Albar dan menepuk-nepuknya perlahan. Tangis Albar sangat berat. Seolah dia memendam banyak hal dalam waktu yang lama, kemudian lepas begitu saja.

Azza terus mengelus Albar menenangkan. Dia meraih botol air minum di sampingnya dan menyerahkannya pada Albar yang mulai sedikit tenang. “Minum dulu, ya.”

Albar menerimanya, segera minum dan menenangkan diri. Dia masih sesenggukan tak tertahan meski air matanya sudah tak sederas sebelumnya. “Makasih, Za. Makasih udah nanya hal itu. Makasih udah bantu aku ngelepasin semua tangisan yang selama ini aku tahan,” ucap Albar pelan sambil menyeka sisa-sisa air mata.

“Aku dalam masalah besar Za. Bukan dalam waktu yang sebentar. Bapak selingkuh, dan ninggalin ibu bersama hutang-hutang yang diatas namakan Ibu. Hutangnya banyak. Dan sialnya, kita gak punya uang. Makan sehari-hari saja susah, apalagi melunasi semua itu. Hampir setiap hari penangih datang ke rumah, marah-marah, mengancam, mencaci maki. Gak jarang kita harus sembunyi-sembunyi seperti buronan,” jelas Albar.

Azza diam mendengarkan. Matanya berkaca-kaca menyimak penjelasan Albar.

“Aku bingung, Za. Sekarang aku kelas XII. Aku punya mimpi, aku mau kuliah. Tapi bagaimana bisa aku bermimpi dengan baik ditengah situasi keluargaku yang seperti ini?” Albar tersenyum getir. “Aku bahkan gak berani untuk sekedar bicara tentang kuliah sama Ibu. Aku mau, tapi aku takut.”
Azza menepuk-nepuk pundak Albar sambil menyeka air matanya.

“Aku capek Za, mikirin jalan keluar masalah ini. Tiap hari kesana-kemari nyari kerja sampingan buat bantu ibu tapi gak bisa hasilin banyak selain buat bantu beli beras. Aku capek, Za. Aku capek.” Albar menatap Azza dengan air mata sekaligus senyuman pertahanannya. Dia menunduk pasrah sambil mengatur nafas.

Ruangan hening. “Aku tahu, akan mudah buat aku bilang kak Albar harus kuat, kak Albar harus yakin semua akan terselesaikan dengan baik. Tapi gak mudah untuk kak Albar menghadapinya.” Azza tersenyum. Air matanya masih mengalir cukup deras. “Tapi semoga kak Albar selalu yakin. Sesulit apapun hidup, semua akan selesai pada waktunya. Azza siap kalau kak Albar mau cerita dan merasa semua gak bisa dilalui atau ditahan sendirian. Tolong jangan sendirian lagi,” ucap Azza menenangkan.

Albar mengangguk. Air mata yang semula sudah reda kini menderai lagi. Ruangan hening itu dipenuhi isakan dari dua remaja yang tengah sama-sama sakit.

Suara pintu terbuka menginterupsi. Hasbi datang dengan wajah berbinar bersama dua kresek di tangan kiri dan kanannya. Menatap suasana ruangan yang berbeda dari saat dia pergi. Hasbi kebingungan.

“Loh, kenapa kalian nangis?”

__________

Halo, assalamu'alaikum readers 💐🤗

Semoga suka sama part ini ya. Yuk kirim peluk jauh buat Albar. Semoga kita semua selalu dikuatkan dalam segala ujian hidup. Untuk kamu, dan untuk kita semua, semangat ya! 🤍🤍

Ikuti terus ceritanya, dan bantu dukung aku dengan vote, komen, share dan follow akun wattpadku. Boleh mampir dan follow juga akun sosial mediaku ya :

Instagram : @alfattah.studio
TikTok : @alfattah.studio

Terima kasih banyak. See you next chapter 💐🤗

Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang