Azza tiba di lokasi lomba bersama guru-guru lain. Gedung itu berdiri megah dengan beberapa bangunan yang tampak saling berhadapan berkumpul di satu area. Azza tidak memperhatikan di awal kedatangan nama gedungnya yang terpampang di depan gerbang. Pikirannya kini dipenuhi dengan mempertanyakan keadaan Hasbi.
“Bu, emang ini kita bisa nonton lomba nya langsung? Maksudnya lombanya apa bisa ditonton umum?” tanya Azza pada salah satu guru perempuan yang ikut ke rombongan itu.
“Bisa Za. Ini sistem lombanya pertama ujian tertulis dulu. Itu tahap awal dan sudah dilaksanakan minggu lalu. Sekarang tinggal tiga grup yang akan melanjutkan ke babak final. Sistem lombanya seperti cerdas cermat. Mereka jawab pertanyaan langsung dan memang bisa disaksikan oleh umum,” jelas guru itu sambil terus berjalan bersama rombongan dan Azza di sampingnya.
Azza manggut-manggut sambil beralih memperhatikan sekeliling. Suasana gedung itu ramai dan teduh dengan banyak pepohonan. Suasana bising pertengah kota seolah lenyap saat masuk ke lingkungan itu.
Mereka tiba di sebuah pintu aula yang besar. Di bawah sana, sebuah panggung besar berdiri megah. Menghadap jajaran kursi yang ditata bertingkat. Hampir 80% kursi terisi. Dan rombongan sekolah Azza segera mengisi kursi-kursi yang masih kosong.
“Kak Hasbi,” ucap Azza pelan setelah dia mendapatkan kursi untuk duduk dan memperhatikan seseorang di depan panggung sana. Hasbi berdiri bersama kedua anggota timnya menghadap sebuah podium dengan mikrofon kecil di depannya. Dia berdiri di tengah sebagai ketua dan juru bicara.
Azza menghembuskan napas panjang menyaksikan jalannya pertandingan yang terdiri dari dua babak. Babak pertama, tiap tim akan diberikan soal yang harus dijawab dengan jumlah yang sama dan soal yang berbeda. Sementara di tahap kedua, soal akan diberikan secara langsung dengan sistem rebutan. Siapa yang menekan tombol paling cepat, mereka yang mendapat kesempatan untuk menjawab. Semua skor akan langsung keluar setelah proses menjawab soal selesai.
Azza menahan nafasnya tegang saat perlombaan tiba di babak terakhir. Dia memperhatikan Hasbi yang tampak pucat. “Apa kak Hasbi sakit?” tanyanya khawatir.
Tiba-tiba, suasana ruangan berubah riuh. Azza yang sempat melihat ke arah pintu memperhatikan orang berlalu lalang untuk mengalihkan kecemasannya, segera menatap panggung di depan sana. Hasbi mimisan!
“Kak Hasbi?” ucap Azza panik.
Tampak di sana Hasbi didekati beberapa petugas yang membawakan kotak tisu. Mereka tampak berbincang singkat. Apa perlombaannya akan berhenti?
Saat Azza cemas dengan keadaan Hasbi, dia melihat sesuatu yang menyita perhatian. Seorang bapak-bapak beediri dari deretan kursi ke dua depan panggung. Dia tampak beberapa kali mengangkat tangan, mengepalkannya mengisyaratkan sesuatu, dan berbicara ke arah panggung. Azza tak bisa mendengarnya apalagi ditambah riuh suasana sekitarnya.
“Bu, itu kak Hasbi kenapa?” tanya Azza pada salah satu gurunya.
Guru-guru Azza tampak panik. “Kayaknya Hasbi sakit Za. Dia mimisan. Mungkin di sana panitia memberinya tawaran istirahat atau justru tawaran untuk mengundurkan diri,” jelas guru itu cemas.
“Kita bawa pulang saja Pak, kasihan. Takutnya kenapa-kenapa,” timpal guru lain berbicara pada kepala sekolah.
“Kita tunggu saja keputusan mereka. Semoga Hasbi baik-baik saja, terlepas dari apapun keputusannya.” Bapak kepala sekolah menghela napas panjang. Mungkin diantara banyak guru, dialah sebenarnya yang paling khawatir. Hasbi adalah siswa paling berprestasi yang berkontribusi atas banyaknya kemajuan dan harumnya nama sekolah di luar sana.
Azza terdiam sambil terus memperhatikan Hasbi yang masih dikelilingi oleh beberapa panitia. Kejadian tak terduga ini membuat perlombaan dijeda sementara.
Muhammad Hasbi Tsaqif POV
Ini sungguh diluar dugaan ku. Hari yang seharusnya berjalan lancar justru menjadi hari yang kemungkinan buruknya paling besar. Andai saja papa tidak memaksaku belajar mati-matian beberapa hari terakhir hingga aku harus melewatkan banyak waktu tidur, aku bisa istirahat dengan baik dan menjaga kesehatanku.
Tapi semuanya memang tak pernah ada dalam kendaliku. Para panitia itu masih mencoba menanyaiku apakah semua ini akan ku lanjutkan atau aku relakan. Kepala ini sakit, sungguh. Tapi aku tak sanggup jika harus menanggung sakit yang lebih parah dari ini sebagai balasan dari papa jika aku menyerah. Akan semarah apa dia nanti?
Aku tahu. Dia berdiri di depan sana dengan sangat geram padaku. Jika aku menyerah di sini, mungkin dia akan berlari ke atas panggung dan memukuliku habis-habisan. Lucu. Atau mungkin dia akan menyeret ku pulang dan membunuhku? Dia benci kekalahan. Apalagi sebelum tuntas perjuangan.
Tapi apa mungkin itu akan menjadi hal yang baik? Bukankah papa memang berusaha membunuhku berkali-kali dengan sikapnya? Terlepas dari segala macam kewajiban berbakti kepada kedua orang tua, bolehkah sesekali aku membalas perbuatan buruknya sebagai sesama manusia?
“Bagaimana Hasbi, apa kamu mau melanjutkan?” tanya salah satu panitia yang masih memegang satu box tissue dan membantuku mengelap darah yang cukup banyak ini. Kedua teman tim ku tampak ikut tegang.
“Kalau sakit jangan dipaksain, Bi. Kita gak apa-apa kalau harus mengundurkan diri,” ucap Ardi, salah satu anggota timku.
Dila anggota timku yang lain, yang juga ada di sampingku yang sejak tadi ikut pucat pasi melihat banyak darah menimpali, “Iya Hasbi. Kita udahan aja. Gak apa-apa.”
Aku mengelap kembali darah yang masih keluar. Aku perlu waktu untuk menimbang-nimbang. Sebenarnya bukan perkara sakitku. Ini tak seberapa meski memang sebenarnya sakit juga. Tapi aku bahkan masih bisa menghafal dan menjawab puluhan soal sekaligus sekarang. Yang lebih mengganggu pikiranku adalah melihat papa yang geram di kursi penonton sana.
Aku sangat muak dengan semua perbuatannya. Meski aku takut dia lagi-lagi akan menyiksaku, aku lebih ingin semuanya berakhir. Aku ingin papa berhenti. Aku capek disepelekan, apalagi diperlakukan buruk selama ini.
Kalau papa tidak bisa merasakan apa yang aku rasakan, setidaknya papa harus tahu apa yang aku rasakan.
“Lanjut saja Pak. Mohon maaf acara ini jadi terhambat gara-gara saya,” jawabku singkat. Aku mencoba meyakinkan diriku dan teman-temanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku harus menyelesaikan ini, dan menyelesaikan urusanku dengan papa.
Namun belum sempat mereka yakin dengan keputusanku, tiba-tiba mimisanku semakin deras dan bahkan mengotori lembar kertas hitungan yang di sediakan. Kepalaku pusing, pandanganku sedikit kabur. Sekelilingku semakin riuh mengkhawatirkan. Aku benar-benar tak bisa melanjutkan ini.
“Udah Hasbi, jangan dipaksain. Kamu separah ini,” ucap Ardi panik. Dila tak kalah paniknya. Semakin banyak panitia yang mendekat dan menahan tubuhku yang mulai lemas.
Di tengah situasi itu, aku masih bisa melihat papa dengan jelas. Dia berdiri geram berkacak pinggang sambil berteriak-teriak di sana dan membuat suasana semakin gaduh.
“Bangun, Hasbi! Kamu gak boleh mundur! Kamu harus jadi juara satu!”
Beberapa petugas mencoba menenangkan papa, kulihat. Tapi dia berkali-kali menghempaskan tangan-tangan yang mencegahnya membuat keributan. Aku juga melihat mama yang berusaha menarik tangan papa agar duduk dan tenang.
Aku tersenyum. Papa pasti tengah mengumpatku habis-habisan. Sepertinya sungguh ini kesempatan paling tepat. Aku harus kalah di perlombaan ini. Karena dalam kekalahan ini, aku akan mendapat kemenangan.
“Maaf Ardi, Dila. Kayaknya aku gak sanggup lanjut,” ucapku pada mereka yang sejak tadi khawatir. Aku bisa melihat bagaimana mereka peduli padaku dari tatapannya. Sungguh menyedihkan. Orang lain menyayangiku. Tapi tidak dengan orang tuaku sendiri. Bisakah aku mohon separuh saja dari tatapan kekhawatiran mereka itu ada di tatapan papa?
“Gapapa, Bi. Beneran kita gak apa-apa. Yang penting kondisi kamu,” ucap Dila.
Ardi mengangguk. “Ini bukan yang terakhir kok. Kita masih bisa maju lain kali. Yang penting kamu sehat dulu,” tambahnya.
Aku mengangguk lantas meminta maaf pada semua orang di sekeliling. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dan meminta Ardi bersama Dila melanjutkan perlombaan tanpa aku, dan bergegas meninggalkan panggung yang sebentar lagi akan melanjutkan perlombaan.
Aku kalah, dan menang di saat yang sama.
••
Papa Hasbi menatap murka ke arah Hasbi yang berlalu pergi meninggalkan lokasi lomba dituntun oleh beberapa panitia. Wajahnya memerah. Berkali-kali istrinya mencoba menenangkan tapi tidak membuahkan hasil barang sedikitpun.
“Sialan! Kamu begitu saja menyerah? Anak tak tahu diuntung!” ucapnya sambil berkacak pinggang. Orang-orang di sekelilingnya tampak gaduh memandangi perilakunya.
Sementara itu, di deretan kursi lain, Azza terdiam menyaksikan beberapa peristiwa yang terjadi bersamaan itu. Dia akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya tentang Hasbi. “Apa benar dugaanku kak? Kalau ada masalah besar antara kak Hasbi sama orang tua kakak?” tanya Azza bergumam. Azza menatap khawatir ke arah Hasbi yang sudah berlalu meninggalkan ruangan.__________
Halo Assalamu'alaikum readers! ✨
Terima kasih karena sudah mengikuti jalan cerita novel ini. Ikuti terus kelanjutannya ya. 🤗
Bantu dukung aku dengan vote, komen, share dan follow akun wattpadku ya. Kamu juga bisa mampir ke akun sosial media aku :
Instagram : @alfattah.studio
TikTok : @alfattah.studioTerima kasih banyak and see you next chapter 💐
KAMU SEDANG MEMBACA
Happy Ending
Teen FictionAzza, Hasbi dan Albar dipertemukan oleh takdir yang membuat mereka nekat melawan sulitnya kehidupan. Sifat dewasa dan kebijaksanaan perlahan tumbuh mengiringi perjuangan para remaja itu dalam mempertahankan mimpi, menyambung hidup, dan berlari-lari...