Hasbi memarkirkan motornya di garasi rumah Azza. Dia berjalan cepat menghampiri Azza yang masih sesenggukan menangis dan berusaha menenangkannya.
“Kalau itu benar, bagaimana keadaan kak Albar sekarang?” tanya Azza dengan suara parau nya.
Hasbi terdiam. “Kita gak bisa mastiin Za. Tapi kemungkinan besar malam ini mereka bertengkar hebat. Semoga saja gak berujung buruk,” ujar Hasbi menenangkan Azza.
Bi Maryam dan Pak Hadi datang menghampiri mereka. “Sudah dapat kabar, dek?” tanya Bi Maryam mengelus pundak Azza dan merangkulnya menenangkan.
Azza menggeleng. Dia menunjukkan roomchatnya dengan Albar yang sejak sore tak kunjung ada balasan. “Azza takut kalau mereka bertengkar dan kak Albar ngelakuin hal yang aneh-aneh.” Azza mengusap air matanya.
“Apa baiknya coba ditengok gitu?” usul pak Hadi. Dia sama khawatirnya.
Hasbi menoleh. “Boleh tuh pak. Hasbi aja yang ke rumah Albar.” Hasbi bergegas menghidupkan kembali mesin motor setelah semua orang menyetujuinya. Namun belum sampai dia melajukan motornya, seseorang datang mengetuk pintu gerbang.
Mereka lantas bertatapan. Hasbi yang sudah menaiki motor bergegas turun dan membuka gerbang. Di sanalah mereka melihat Albar dengan dengan kekecewaan, kesedihan dan amarah yang tergambar jelas dari matanya.
“Kak Albar..” Azza berkata lirih.
“Albar ..” Hasbi mematung.
Albar terdiam memperhatikan wajah Hasbi, Azza, Bi Maryam dan Pak Hadi. Dia berusaha tersenyum meski matanya tak bisa menyembunyikan air mata. Dia berjalan lemah menghampiri mereka dan diikuti Hasbi dibelakangnya.
Albar terdiam sejenak. “Awalnya aku gak percaya. Tapi saat ibu pulang ke rumah, semuanya jadi jelas,” ucap Albar lirih masih sambil memaksakan diri tersenyum menatap mereka. “Ibu nikah. Ibu rebut suami orang. Dan sialnya, laki-laki itu adalah Ayah Naira.”
Semua orang terkejut mendengar penuturan Albar. Bi Maryam yang tak kuasa menahan tangisnya segera menarik Albar dan memeluknya erat. “Albar ..”
Albar yang sejak tadi mencoba tertawa akhirnya tak kuasa menahan air matanya. Kesedihan tumpah ruah dengan kekecewaan berat yang memenuhi dadanya sesak. Tangisnya berubah menjadi raungan kencang di dekapan Bi Maryam. “Ibu jahat..” ucapnya marah. “Kenapa ibu melakukan hal serendah itu?”
Azza, Hasbi dan Pak Hadi mendekati Albar dan mengusapnya prihatin. Kabar ini sungguh di luar dugaan. Selama ini, mereka memang bertanya-tanya tentang dari mana ibunya mendapat uang untuk membayar hutang. Tapi mereka mencoba berpikir baik dengan menerka-nerka bahwa uang itu adalah uang warisan. Tak sedikitpun terpikirkan tentang hal serendah ini, apalagi pernikahan itu dilakukan dengan Ayah Naira, orang yang sangat dekat dengan Albar.
“Yang kuat, nak. Tenangkan dirimu dulu,” ucap Bi Maryam lembut sambil mengelus-elus kepala Albar. Baginya, Azza, Hasbi dan Albar adalah anak yang sangat dia sayangi. Maka melihat mereka terluka, sama menyakitkannya.
Beberapa saat berlalu, tangis dan raungan Albar mulai mereda. Dia melepaskan diri dari dekapan Bi Maryam dan mengusap-usap air mata di wajahnya. Albar melepaskan tas besar yang dia bawa dan terduduk di teras rumah Azza itu. Semua orang terdiam dan ikut duduk bersama Albar.
Azza berlalu pergi mengambilkan air minum untuk Albar.
Setelah suasana lebih tenang, Albar mulai bercerita. “Sore tadi waktu aku lihat kejadian itu, aku pikir cuma salah lihat. Walaupun memang hati gak bisa bohong. Kalau aku juga yakin wanita itu Ibu.”
Bi Maryam menggenggam tangan Albar menguatkan. Dia dan Pak Hadi juga mengusap-usap pundaknya.
“Aku sampai ke rumah lebih dulu. Dan saat ibu datang, aku tidak bisa mengelak lagi. Pakaian ibu sama persis dengan wanita yang aku lihat di mobil sore tadi. Aku tanya ibu. Aku gak bisa nahan marah, kecewa, sedih. Semuanya meluap. Dan akhirnya ibu mengaku. Ibu benar-benar ngelakuin itu. Dia nikah. Dia rebut suami orang. Dia hancurkan kehidupan Naira dan Ibunya.” Albar menghela napas berat dan panjang.
Azza dan Hasbi tak bisa bereaksi. Mereka terdiam menangis mendengar penjelasan Albar.
“Sakit banget ya. Ternyata bukan cuma bapak yang hancurin aku. Ibu juga sama jahatnya,” tutur Albar tertawa sinis.
Tangis Azza semakin deras.
Albar tersenyum menatap Azza. “Jangan nangis Za. Aku kuat kok,” ucap Albar sambil menyeka air mata Azza. “Maaf ya, sore tadi aku bentak kamu.”
Azza mengangguk-angguk pelan.
“Bar,” ucap Hasbi sambil memegang tas Albar.
“Iya Bi. Aku pergi dari rumah. Aku gak sanggup lihat ibu. Aku gak mau ketemu ibu saat ini,” jawab Albar seolah tahu apa yang ingin ditanyakan Hasbi. “Mungkin aku mau cari kontrakan,” tambahnya lagi.
“Gak usah. Kak Albar tinggal di kost Papa aja. Ada yang kosong kok,” usul Azza. “Iya kan Pak?” tanya Azza pada pak Hadi memastikan.
Pak Hadi mengangguk mengiyakan. “Iya. Ada kostan kosong. Lokasinya juga deket dari sini. Belakang komplek. Nanti bapak bantu ya,” ucap Pak Hadi.
Albar terdiam menunduk. “Nggak Za. Aku terlalu banyak repotin kalian.”
“Albar, ini bukan waktunya bilang kayak gitu.” Hasbi membalas.
Azza mengangguk. “Jangan merasa begitu Kak. Kita semua keluarga. Tolong tinggal di sana ya. Kita khawatir kalau kak Albar ke tempat lain.”
Pada akhirnya Albar menyerah. Dia menunduk lemah dalam tangis yang tak berkesudahan.
“Sudah, ayo masuk. Bibi masakkan untuk kalian,” ucap Bi Maryam meminta semuanya berdiri.
Albar, Hasbi dan Azza mengangguk. Mereka memapah Albar membantunya berdiri. Pak Hadi membawakan tas besar Albar. Dan semuanya berlalu masuk rumah Azza.
Malam itu menjadi malam panjang yang sayangnya tak ada obrolan yang sama panjangnya. Mereka lebih banyak diam. Memberi jeda untuk Albar merasa tenang dan menerima segalanya. Memberikan kekuatan lewat hening suasana malam.
Setelah waktu cukup larut, Albar diantar Pak Hadi pergi ke kontrakan milik papa Azza yang ada dibelakang komplek perumahan itu. Sementara Hasbi pamit pulang.
“Jangan nangis terus. Albar sudah baik-baik aja. Maaf kak Hasbi gak bisa lama-lama disini,” ucap Hasbi sambil mengusap air mata Azza yang tak bisa berhenti berderai.
Azza mengangguk. Matanya sudah merah sembab. “Kak Hasbi hati-hati,” ucapnya.
Hasbi tersenyum. Matanya sama-sama sayu. Bagi mereka, sakit yang Albar rasakan juga terasa dalam dadanya. “Iya. Cepet istirahat. Jangan tidur kemalaman. Kalau susah tidur, minta Bibi jagain. Jangan malah main ponsel,” pesan Hasbi sambil mengusap kepala Azza dan merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan.
“Iya. Kak Hasbi bawel,” ucap Azza menggerutu.
Hasbi hanya tertawa kecil sambil menyalakan motor dan berpamitan dengan Azza.
Albar
Rasanya seperti dijatuhkan dari ketinggian yang tak terukur. Baru saja aku merasa semuanya membaik sejak hutang-hutang itu lunas dan tak ada yang mencaci maki karena tagihan yang belum dilunasi, hari ini aku harus jatuh sejatuh-jatuhnya. Jika tahu ini jalan yang akan ibu ambil untuk keluar dari permasalahan itu, pasti kucegah dan ku pilih sengsara dalam lilitan hutang lebih lama.
Ibu bukan hanya membohongiku. Ibu menghancurkan hidup banyak orang di waktu bersamaan. Bagaimana ini bisa terjadi? Didikan ibu tak pernah salah untukku. Tapi kenapa jalan sehina ini yang dia ambil di depan mataku?
Aku cukup malang hidup di dunia ini. Berawal dari perselingkuhan bapak, hutang-hutang yang tak ada ujungnya, dan kini perbuatan Ibu. Jika saja saat ini aku tak mengenal Azza, Hasbi, Bi Maryam dan Pak Hadi, entah akhir hidup seperti apa yang sudah aku putuskan untuk aku lakukan.
Menggantung di ketinggian yang tak seberapa?
Menjatuhkan diri dari tas bangunan?
Atau menenggak habis obat-obatan?
Aku ingin menyerah. Tapi syukurnya, ada senyum-senyum kekuatan yang saat ini memelukku erat. Terima kasih ya Allah, atas setitik rasa tenang yang kau titipkan di wajah-wajah mereka.__________
Halo Assalamu'alaikum readers 💐🤗
Bab kali ini masih tentang Albar ya. Mana suaranya yang sayang Azza? Absen di kolom komentar ya 🤗
Ikuti terus ceritanya, dan bantu dukung aku dengan vote, komen, share dan follow akun wattpadku. Yuk mampir juga di sosial media aku :
Instagram : @alfattah.studio
TikTok : @alfattah.studioTerima kasih banyak dan see you next chapter 💐🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
Happy Ending
Novela JuvenilAzza, Hasbi dan Albar dipertemukan oleh takdir yang membuat mereka nekat melawan sulitnya kehidupan. Sifat dewasa dan kebijaksanaan perlahan tumbuh mengiringi perjuangan para remaja itu dalam mempertahankan mimpi, menyambung hidup, dan berlari-lari...