28. Kita Mulai Dari Sini

3 2 0
                                    

Azza terduduk di toilet sekolah setelah muntah darah cukup banyak. Tubuhnya lemas dengan kepala dan perut yang sakit. Setiap persendiannya terasa ngilu. Tubuhnya gemetaran setiap kali mencoba berdiri. Ini hari kesekian Azza mengalami hal serupa. Awalnya tak cukup parah. Tapi perlahan semakin berat seiring hari.

Suasana tidak begitu sepi. Satu dua orang bergantian masuk toilet. Terdengar juga banyak siswi di area wastafel dan cermin besar. Dan Azza menangis di salah satu bilik toilet itu. Menghabiskan sisa waktu istirahatnya dengan mengumpulkan tenaga untuk kembali ke kelas.

“Azza gak kuat,” ucapnya lemah sambil menatap tangan dan kakinya yang terlihat bengkak. “Ya Allah, Azza capek.” Air matanya berderai. Sesekali ia seka namun kembali deras berlinang. Separuh hatinya merasa lelah dengan hidupnya dan ingin menyerah.

Azza menggelengkan kepalanya. “Nggak, jangan nyerah Za. Kamu harus kuat,” ucapnya menyemangati dirinya sendiri. “Kamu harus menjalani hidup ini dengan baik dan menjadi orang baik. Jangan nyerah. Kamu harus lihat kak Hasbi sama kak Albar sukses. Mama sama Papa udah berjuang sejauh ini. Kamu jangan berhenti,” ucapnya lagi menguatkan diri sendiri.

Azza menghapus air mata berusaha berdiri tegap. Dia keluar dari bilik toilet dan menuju wastafel untuk membasuh wajahnya. Dia menatap dalam ke pantulan wajahnya di cermin cukup lama. Sampai akhirnya dia mencoba tersenyum dan mengumpulkan segenap kekuatan. Dia harus menjadikan hidupnya berarti besar untuk orang-orang disekitarnya!

••

“Azza, ngapain masih di sini? Pak Hadi belum jemput?” tanya Hasbi sambil menghampiri Azza yang duduk di halte depan gerbang sekolahnya. Dia tampak tergesa-gesa.

Azza tersenyum. “Nggak, Azza gak pulang sekarang. Mau kerja kelompok dulu,” ucap Azza sambil mempersilahkan Hasbi duduk di dekatnya.

Hasbi mengernyitkan dahinya. “Kerja kelompok ke mana? Mau kak Hasbi anterin?” tanya Hasbi lagi.

“Ke rumah temen kak. Gak usah, gak jauh kok. Lagian kak Hasbi kan harus bimbel hari ini,” ucap Azza menjelaskan sambil tersenyum.

Hasbi menghela napas panjang berubah murung. “Kak Hasbi pengen ajak kamu main Za. Sekarang kita jarang pulang bareng,” ucap Hasbi sedih.

Azza terkekeh. “Kan bisa nanti malem. Kita bakar-bakaran lagi. Katanya bibi mau bikin makanan resep baru. Nanti biasa makan di rumah ya,” ajak Azza.

Hasbi tak menjawab dan masih tampak murung.

“Udah, jangan gitu, kak Hasbi jelek tau,” ucap Azza  tertawa. “Ayo berangkat. Jangan sampe murid-murid kak Hasbi kesel karena harus nunggu tutornya,” titahnya sambil mengajak Azza berdiri.

Hasbi akhirnya luluh dan berpamitan terlebih dahulu. Dia menaiki angkot searah dengan rumah dan kontrakan milik Azza. Salah satu hal yang sangat dia syukuri adalah bisa bekerja di tempat yang nyaman dan dekat dengan tempat tinggal.

Azza tersenyum melambaikan tangan pada Hasbi yang berlalu pergi bersama angkot yang dinaikinya. Di sana dia berusaha memantapkan hati untuk melakukan apa yang sudah dia rencanakan, kemudian menghentikan sebuah taksi dan menaikinya. “Kita mulai dari sini Za,” ucapnya memantapkan hati sambil mencoba tersenyum.

••

Azza tiba di sebuah rumah cukup megah diantara perumahan elit lainnya. Sambil menepikan rasa takutnya, perlahan dia berjalan menuju pintu masuk dan menekan bel yang tersedia.

Suasana rumah itu tampak sunyi. Tak ada orang yang beraktivitas di sekitaran depan rumah. Hanya suara gemericik air dari kolam dan air mancur kecil yang diisi banyak ikan hias, dengan banyak tanaman di sekitarnya.

Azza menekan bel kedua kalinya. Barulah setelah beberapa saat seseorang membuka pintu masuk dengan wajah yang memprihatinkan. Mama Hasbi. Dia tampak lusuh meski mengenakan pakaian yang bagus. Kantung matanya besar dan menghitam. Dengan mata lelah, bibir kering, dan wajah penuh kesengsaraan.

“Assalamu’alaikum Tante,” sapa Azza.
Tak ada balasan dari mama Hasbi selain menatap Azza lama kemudian memeluknya erat. Azza yang cukup kaget kemudian balas memeluk sambil mengusap-usap punggung mama Hasbi.

Cukup lama berpelukan, Mama Hasbi meminta Azza masuk dan duduk di ruang tamu. Dia menatap Azza lama sambil memegangi tangan Azza.

“Tante apa kabar?” tanya Azza lembut.

Mama Hasbi tersenyum getir. “Tak pernah baik-baik saja apalagi setelah Hasbi pergi. Tante gak ngerti kenapa kejadiannya akan separah ini. Tante tahu papa Hasbi orang yang temperamental. Tapi hari itu,” jelasnya tertahan dan menangis. “Hari itu dia melakukan kesalahan besar. Hasbi mendapat perlakuan kasar. Fisik dan mentalnya di sakiti habis-habisan,” ucapnya lagi.

Azza ikut menangis mendengar penjelasan Mama Hasbi. Dia juga terkejut saat melihat ada luka memar di beberapa anggota tubuh mama Hasbi. “Tante, ini kenapa?” tanya Azza panik.

Mama Hasbi mencoba tak menghiraukan luka-lukanya, tapi Azza tetap berusaha mengobatinya. Hingga kemudian dia menyerah dan membiarkan Azza membersihkan luka-luka itu dengan air hangat dan antiseptik. Dia juga menjelaskan bagaimana buruknya sikap papa Hasbi pada dia sendiri sebagai istrinya.

“Za, Tante yakin kamu sudah berhasil menemukan Hasbi. Tolong ceritakan, dimana Hasbi sekarang? Dimana dia tinggal, bagaimana makanan?” tanya mama Hasbi terburu-buru sambil memegangi tangan Azza erat.

Azza tersenyum dan balas mengelus tangan Mama Hasbi. “Tante gak usah khawatir. Kak Hasbi ..”

Belum sampai selesai Azza menjelaskan, papa Hasbi  datang dengan wajah geram melihat kehadiran Azza di tenaga rumahnya. Dia dengan kasarnya memutus pegangan tangan Mama Hasbi dan Azza. “Jangan ikut campur urusan keluarga saya. Pergi sendiri, atau saya seret kamu keluar,” jelas papa Hasbi tegas sambil melotot menatap Azza.

“Maaf om, Azza bukan bermaksud untuk ikut campur urusan keluarga om. Azza hanya datang untuk silaturahmi dan mengabari tentang kak Hasbi,” jelas Azza berusaha tenang meski papa Hasbi sudah menunjukkan wajah yang tidak menyenangkan.

“Sama saja!” bentak papa Hasbi.

“Tapi om, sebentar saja. Saya cuma mau bilang kalau kak Hasbi ...”

“Jangan sebut nama itu di rumah saya!” bentak papa Hasbi memotong ucapan Azza. “Saya gak ada urusan sama dia, apalagi sama kamu. Jadi pergi sekarang juga!” bentaknya lagi sambil menunjuk ke arah pintu masuk yang masih terbuka.

“Tapi om, kak Hasbi ...”

“Diam!” suara teriakan papa Hasbi terdengar ke seluruh penjuru ruangan. Dia mendekat sambil menunjuk muka Azza. “Saya gak peduli bagaimana pun kabarnya. Dan satu lagi, jangan pernah muncul lagi di depan saya!” ucapnya sambil menyeret Azza keluar dari rumah membuatnya jatuh kelimpungan dan terantuk sebuah pot cukup besar.

Azza terperanjat kaget saat melihat ada banyaknya darah mengalir dari hidungnya. Dia bergegas mengelapnya. Sayangnya, kesempatannya untuk mengobrol dan berbicara dengan keluarga Azza harus kandas. Dari dalam sana, terdengar mama dan papa Hasbi tengah bertengkar.

Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang