9. Lunas?

17 7 0
                                    

Albar membuka kaca angkot dan menatap suasana macet Bandung sore itu. Suara deru mesin kendaraan terdengar bersahutan. Beriringan dengan suara biola pengamen di depan lampu merah sana yang tengah memainkan instrumen Carol of the Bell dari Lindsey Stirling. Bandung memang salah satu surganya pengamen bertalenta!

"Eh, Hasbi!" panggil Albar saat dia menyadari sebuah motor yang melaju menyalip macet di samping angkot yang dia tumpangi, dikendarai oleh Hasbi. Dia membuka kaca jendela angkot lebar-lebar dan berusaha memanggil-manggil Hasbi yang berada sekitar tige meter di depan sebelah kanannya.

"Hasbi!" teriaknya lagi cukup keras. Namun bukan yang punya nama yang menoleh, justru orang-orang di sekelilingnya yang menatap Albar.

Albar mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum canggung meminta maaf karena sudah gaduh di tempat umum itu. Dia kembali memperhatikan Hasbi yang tampak tak bergerak di motornya. "Gak mungkin gak kedengaran kan?" gumamnya pelan sambil sedikit menutup kaca jendela angkot dan lantas memperbaiki posisi duduknya.

Lampu lalu lintas sudah berganti warna dan kemacetan di lampu merah itu mulai terurai. Albar masih tetap memperhatikan Hasbi. Sampai ketika angkot yang ditumpanginya mendapat muatan baru dan terpisah jauh dengan Hasbi.

••

Albar tiba di gang kecil menuju rumahnya. Hari ini, dia kembali mendapat upah cukup besar dari orang-orang baik yang memperkerjakannya. Ditambah dengan penghasilannya beberapa minggu terakhir, Albar yakin uangnya bisa membantu mengurangi hutang ibunya. Setidaknya hutang bekas sembako ke warung-warung dan tetangga.

"Assalamu'alaikum." Albar mengetuk pintu sebuah rumah yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Dia memegang beberapa lembar uang sambil tersenyum.

"Wa'alaikumussalam." Seorang bapak-bapak berperawakan tinggi keluar dari rumah dan tersenyum ramah. "Albar? Ada apa?" tanyanya memulai pembicaraan.

Albar tersenyum canggung. "Begini pak, sebelumnya maaf mengganggu. Albar ke sini bermaksud untuk membayar hutang Ibu sama bapak. Boleh Albar tahu, berapa nominal yang masih belum dibayar ya pak? Albar ada sedikit rezeki," jelas Albar.

Bapak itu mengerutkan dahi tampak berpikir. "Loh, kan udah lunas? Kamu mau bayar yang mana?" tanya bapak itu kebingungan.

Albar ikut bingung. "Hah? Lunas? Kapan ya pak? Bukannya hutang ibu masih banyak ya? Kalau gak salah sekitar tiga ratus ribuan?" Albar berusaha memastikan.

"Iya, ibu kamu dulu kan pinjam lima ratus, terus dibayar waktu datang sama kamu juga dua ratus. Nah sisanya udah di bayar lagi tiga hari yang lalu kalau gak salah. Udah lunas Bar," jelas Bapak itu tertawa kecil.

Albar yang mendapat kabar baik itu justru mematung berpikir beberapa saat. Bukannya belum lama ibunya masih dimarahi seorang rentenir karena gak ada uang untuk bayar? Kenapa sekarang hutang yang ini sudah lunas?

"Baik banget kamu Bar, bantuin ibu kamu bayar hutang. Sekarang gak usah khawatir, hutangnya sudah lunas sama bapak," ucap bapak itu ramah.

Albar tersenyum menatap bapak itu dan berterima kasih. Usai berbincang singkat, akhirnya Albar berpamitan dengan perasaan bingung sekaligus senang. Jika satu hutang sudah terbayar, maka itu artinya Albar bisa mencari orang yang sering ibu hutangi lagi untuk membayarkan uang yang dia punya.

••

Albar tiba di sebuah toko yang cukup lengkap di lingkungan rumahnya. Sore itu suasana tampak sepi tidak ada pembeli. Mungkin karena waktu sudah hampir magrib.

"Bu? Assalamu'alaikum," sapa Albar saat memasuki toko yang dijaga seorang ibu-ibu bertubuh besar dan berpakaian syar'i.

"Wa'alaikumussalam," jawabnya dengan lantas memakai kacamata. "Oh, Albar! Ada apa Bar? Mau beli apa?" tanyanya antusias.

Albar tersenyum. "Begini Bu, Albar ke sini mau bayar hutang Ibu Albar. Boleh Albar tahu, berapa lagi ya hutang Ibu Albar ke ibu? Alhamdulillah Albar ada rezeqi sedikit," tanya Albar sopan.

"Oalah, Masya Allah," ucap Ibu toko itu mendekat sambil mengusap pundak Albar. "Alhamdulillah hutang ibu kamu kan sudah selesai Bar. Gak ada yang perlu dibayar lagi," ucapnya lembut.

Albar terdiam sesaat. Bagaimana bisa? "Maaf Bu, bukannya hutang ibu masih banyak ya? Memang kapan dilunasi?" Albar masih kebingungan dengan segala kejadian ini yang terasa seperti janggal.

Ibu toko itu tersenyum. "Sekitar empat hari yang lalu sepertinya. Ibu kamu datang dan lunasin semua hutangnya. Kebetulan sekali, besok besoknya ibu-ibu sekitar yang pernah dipinjami uang sama Ibu kamu juga bilang kalau hutangnya sudah dilunasi semua. Alhamdulillah," jelas Ibu toko dengan ramah.

Albar menghela napas berat. Ini terlalu membingungkan. Berarti bukan hanya pada dua orang, tapi hutang pada banyak tetangganya sudah lunas.

"Memangnya kamu gak dikasih tau, Albar?" tanya ibu toko.

Albar menggeleng. "Nggak Bu. Mungkin karena Albar memang nyari kerja dan pulang sore terus kadang sampai malam, jadi pulang langsung istirahat gak banyak ngobrol. Ibu juga kan kerja sampai malam," jelas Albar sambil tersenyum.

"Masya Allah. Jangan lupa jaga kesehatan juga Bar. Jangan terlalu maksain," pesan ibu toko itu.

Albar mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum dan berterima kasih banyak. Dia berpamitan tepat saat adzan magrib berkumandang. Semua ini terasa janggal bagi Albar. Dari mana ibunya mendapatkan banyak uang dalam waktu singkat dan bersamaan untuk membayar semua hutang itu?

Sesampainya di rumah, Albar melihat rumahnya masih sepi. Ibunya belum pulang. Dia lekas membersihkan diri dan pergi ke minimarket tak jauh dari persimpangan tempat dia biasa turun dari angkot.

"Azza?" Albar menyapa Azza yang tengah membayar belanjaannya di kasir.

Azza menoleh dan tersenyum melihat Albar di belakangnya. "Kak Albar?"

"Kamu kok di sini? Sendirian?" tanya Albar.

Azza menerima kembalian dari kasir, berterima kasih dan tersenyum ramah sebelum kemudian kembali menatap Albar. "Iya, tadi abis dari gramedia. Dianter Pak Hadi diluar. Pengen beli makanan buat di jalan pulang. Kak Albar rumahnya sekitar sini ya? Udah beberapa kali kita ketemu," tanya Azza antusias.

Albar tersenyum dan mengangguk. "Iya, gak jauh dari sini," ucap Albar. "Kamu buru-buru gak Za? Kalau nggak, bisa tunggu kak Albar beli sesuatu dulu? Kita ngobrol diluar."

Azza mengangguk. "Emang kapan Azza sibuk?" tanya Azza tertawa. "Azza tunggu di luar ya," ucapnya berlalu.

Albar tersenyum memperhatikan Azza yang dengan tubuh kecilnya itu tampak lucu membuka pintu minimarket dengan sikunya dan sebelah tangan menjinjing tas keresek belanjaannya. Dia kemudian berlalu membeli beberapa makanan dan kebutuhan lain dan segera menghampiri Azza yang sudah menghabiskan setengah dari es krim vanila.

"Kamu sehat Za?" tanya Albar membuka pembicaraan. Dia duduk berhadapan dengan Azza di serangkai kursi dan meja kecil yang disediakan.

"Azza sehat kak. Tapi besok tetap harus medical check up lagi," jelasnya yang ditanggapi senyum dan anggukan Albar. "Kak Albar baik-baik aja kan?" tanyanya menambahkan.

Albar tersenyum. "Entahlah Za. Sebenarnya aku bingung harus bersikap seperti apa. Ini yang ingin aku ceritain," ucap Albar menghela napas. "Sore tadi, aku dapat cukup banyak uang dari hasil kerja serabutan dan kerja paruh waktu aku. Ada orang baik yang ngasih lebih. Maksudnya aku mau bantu ibu bayar hutang dan pergi ke rumah-rumah tetangga yang memang ibu sering berhutang ke mereka. Tapi dari sekian rumah yang aku datangi, semuanya menjawab sama. Mereka bilang kalau hutang ibu sudah lunas semua sekitar tiga sampai empat hari yang lalu. Padahal aku tahu betul, Minggu lalu, kami ditagih dan dimaki habis-habisan karena gak ada uang untuk bayar hutang ke seorang rentenir. " Albar menenggak minuman dinginnya. "Aku bingung, dari mana ibu punya uang sebanyak itu untuk bayar hutang? Kalau hasil nabung, kenapa Minggu lalu masih gak ada uang untuk bayar hutang ke rentenir yang nangih ke rumah?"

Azza terdiam bingung harus menjawab apa.

Albar tertawa melihat Azza. "Aku tahu kamu bingung harus respon kayak gimana Za. Jangan dipikirin. Aku cuma butuh didengerin. Dan makasih kamu udah bersedia," ucap Albar.

Suasana sejenak hening. Mereka tertunduk menatap makanannya sendiri sambil berpikir. "Aku cuma takut Ibu ngambil cara yang salah buat lunasin semua hutang-hutang itu."

"Kak Albar orang baik, yang pasti dididik oleh orang baik juga. Tidak mungkin Ibu kak Albar melakukan hal yang buruk," ucap Azza meyakinkan.

Albar menggeleng sambil tersenyum. "Nggak, Za. Sebaik apapun seseorang, godaan untuk melakukan hal yang tidak baik akan tetap ada. Apalagi pada orang yang kesulitan secara finansial."

Azza terdiam dan menyadari bahwa apa yang dikatakan Albar sangatlah benar. "Tapi semoga semuanya baik-baik saja ya kak," ucapnya menenangkan.

Albar tersenyum mengaminkan. Dia melihat Azza yang kembali tertegun melamun. Sejak bertemu, Albar menyadari sepertinya Azza juga tengah memikirkan sesuatu sama seperti dirinya. "Ada masalah, Za? Aku lihat kamu mikirin sesuatu," tanya Albar.

Azza mengangguk. "Azza khawatir sama kak Hasbi," ucapnya sambil menatap kosong.

"Hasbi?" Albar mengernyitkan dahi.

Azza mengangguk. Dia lantas menceritakan semua detail kejadian dari mulai kecurigaannya dengan luka-luka di tubuh Hasbi hingga kejadian di perlombaan siang tadi.

Albar menghela napas panjang sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. "Pantas saja tadi siang aku ketemu Hasbi, manggil-manggil dia, tapi gak jawab."

__________

Halo Assalamu'alaikum readers 💐

Aku gak nyangka bisa nulis novel Happy Ending ini dengan lebih konsisten. Satu keputusan yang sangat baik bagi aku waktu daftar event GMG Branding dari penerbit Grass Media ini. Jadi, mohon dukungannya dengan vote, komen, share dan follow akun wattpadku ya teman-teman 💐🤗

Kamu juga boleh mampir ke akun media sosial aku :
Instagram : @alfattah.studio
TikTok : @alfattah.studio

Terima kasih banyak and see you next chapter 💐💐



Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang