Azza menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Dia menyadari sesuatu yang buruk. Wajahnya bengkak, begitu juga dengan beberapa anggota tubuh lain.
“Kalau begini, Azza kuat sekolah gak ya?” tanyanya bergumam sambil mengurai kembali rambut yang sudah dia ikat tadi. Dia mencoba gaya rambut terurai agar wajahnya tidak terlalu terlihat bengkak.
Setelah cukup lama memandangi wajahnya, dia menggelengkan kepala. “Ini bakalan gerah. Gak apa-apa, ikat aja lagi,” gumamnya lagi sambil kembali menyisir rambut dan mengikatnya rapi. Beberapa anak rambut menjuntai di kedua sisi wajahnya. Membuat Azza tampak lebih manis.
Azza segera menuruni tangga meski dengan langkah yang lebih pelan. Dia merasakan tubuhnya sangat lemas dan sakit.
“Adek, ayo sarapan dulu.” Bi Maryam sedikit berteriak saat mengetahui Azza tengah menuruni tangga. Tangannya cekatan menata masakannya diatas meja makan seperti biasa.
“Iya Bi,” jawab Azza berusaha terdengar riang sambil memasang senyum lebarnya. Dia segera menuruni tangga dan duduk di meja makan seperti biasa.
“Minumnya mau apa dek?” tanya Bi Maryam.
“Air putih aja,” jawab Azza singkat sambil menyendok makanan dan mulai melahapnya. “Bapak mana Bi? Kenapa gak ikut makan?” sambungnya mempertanyakan keberadaan Pak Hadi.
“Bapak udah lagi manasin mobil. Tadi sarapannya masih pagi banget, pengen beli kupat tahu katanya,” jelas Bi Maryam sambil menuangkan air minum milik Azza.
Azza hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bi, bisa tolong bilang mama sama papa suruh pulang siang? Azza kangen,” ucap Azza tiba-tiba di sela sarapannya.
Bi Maryam yang juga sedang sarapan menemani Azza sejenak terdiam sebelum kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. “Iya, nanti bibi sampaikan ya.”
Azza tak menjawab. Dia kembali fokus pada makanannya dan bergegas berangkat ke sekolah diantar Pak Hadi seperti biasanya.
••
Azza memandang lesu guru yang tengah mengajar di depan kelas. Sejak tadi, dia tidak bisa fokus. Kepalanya pusing. Badannya lemas dan sakit. Perlahan, dia menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan di atas meja.
“Za?” Nadya menyentuh dahi Azza dan terkejut karena suhunya sangat tinggi. “Kamu demam, Za. Pucat banget,” seru Nadya panik.
Azza yang memejamkan mata hanya beringsut berusaha menutupi wajahnya menggunakan buku. Rasa sakitnya bertambah saat perutnya terasa ikut bermasalah. Sakit sekali. “Gak apa-apa. Kalau ada guru tanya, bilang aja ya. Azza mau tidur,” ucapnya lemah.
Nadya yang panik melihat kondisi Azza mengangkat tangan dan memberitahukan kondisi Azza pada guru biologi di depannya itu. “Bu, maaf mengganggu. Azza sakit,” ujarnya.
Azza yang mendengar ucapan Nadya tak bisa mencegah sahabatnya itu melaporkan keadaannya. Dia terlalu lemah bahkan untuk menggeser posisi badannya.
Sementara itu, seisi kelas beralih menatap Azza. Guru biologi yang sedang mengajar itu segera mendekati Azza dan mengecek kondisinya. Saat dia mencoba membangunkan Azza, mereka baru menyadari bahwa Azza sudah kehilangan kesadarannya.
Suasana berubah panik. Beberapa teman sekelas Azza berlarian menuju UKS untuk mencari pertolongan tim kesehatan. Azza segera dibawa ke UKS dan segera ditangani oleh beberapa petugas.
••
Bel tanda istirahat sudah berbunyi. Hasbi yang sudah mendengar kabar Azza dari teman sekelasnya yang merupakan anggota PMR segera berlari menuju ruang UKS. Dia meninggalkan kelas bahkan saat guru baru menutup kelas dan masih membenahi barang-barangnya.
“Azza?” Hasbi memasuki ruang UKS panik. Di sana masih banyak orang yang tampak sama tegangnya dengan dirinya.
“Kak Hasbi,” ucap Nadya sambil mendekati Hasbi. Nadya tampak menangis. Matanya sembab parah. “Azza belum sadar. Sudah lebih dari setengah jam,” jelasnya penuh kekhawatiran.
Hasbi hanya mendengarkan dengan nafas tersengal tanpa menjawab apa-apa. Dia menatap Azza yang terbaring tak sadarkan diri dengan badan bengkak dan pucat.
“Bu, ini gimana?” tanya Hasbi mendekati Azza dan petugas yang tengah merawatnya.
Petugas itu menggelengkan kepalanya. “Sudah lebih dari setengah jam. Azza belum sadar. Kita akan bawa ke rumah sakit. Riwayat penyakitnya tidak ringan,” jelas petugas dengan wajah sama cemasnya.
Hasbi mengangguk dan terduduk. Dia menatap Azza nanar. Nadya yang sejak tadi memperhatikan menyodorkan sebotol air minum padanya. Hasbi menerimanya dan segera meminum air tersebut.
“Semuanya sudah siap. Azza sudah bisa dibawa ke rumah sakit sekarang,” ucap seorang anggota UKS mengabari dari arah pintu. Dia datang terengah-engah.
Mendengar kabar baik itu, semuanya bergegas memindahkan Azza dan membawanya ke rumah sakit. Hasbi yang sebenarnya ingin sekali ikut harus bisa menahan rasa khawatirnya karena ada rapat penting OSIS dan beberapa organisasi yang akan dilaksanakan sebentar lagi.
“Nad, kamu ikut ke rumah sakit ya. Aku titip Azza. Tolong kabari bagaimanapun keadaannya. Aku susul nanti sepulang sekolah. Untuk absen kamu, aku yang bantu urus. Tolong ya,” pinta Hasbi.
Nadya yang sedari tadi tak berhenti menangis hanya mengangguk-anggukkan kepalanya setuju. Dia segera memasuki mobil bersama beberapa petugas menuju rumah sakit.
Hasbi memandangi kepergian rombongan itu dengan perasaan yang tidak tenang. Tapi bagaimanapun, ada tanggung jawab yang juga tak bisa dia tinggalkan.
“Za, kamu pasti baik-baik aja. Tolong bertahan.”
••
Hasbi datang bersama Albar dengan setengah berlari. Menurut kabar dari Nadya, Azza sudah sadar setengah jam setelah sampai di rumah sakit dan segera mendapat perawatan dan pengecekan menyeluruh.
Mereka sampai di ruangan Azza dengan nafas tersengal. Hasbi dan Albar yang menyadari ada banyak orang disana segera memperkenalkan diri dan bersalaman. Ada Mama dan Papa Azza di sana. Mereka tak banyak sebab kondisi Azza tampak sangat mengkhawatirkan.
“Bagaimana kondisi Azza, Bi?” tanya Hasbi pada Bi Maryam yang tengah duduk di kursi yang disediakan. Mereka duduk memperhatikan Azza dari jauh. Di tempat tidurnya sana, Azza terbaring lemah dengan ditemani kedua orang tuanya. Mereka memegang kedua tangan Azza dan mengelus kepalanya perlahan-lahan.
Bi Maryam menghela napas panjang. Matanya mulai berkaca-kaca membuat Hasbi dan Albar saling pandang khawatir. “Ginjalnya sudah kronis. Sistem imunnya semakin lemah. Sekarang kita masih nunggu hasil pemeriksaan paru-paru. Semoga tidak sama parahnya,” jelas Bi Maryam. Air matanya tak bisa ditahan.
Hasbi dan Albar terkejut mendengar penjelasan Bi Maryam. Mereka berusaha menahan tangis dan mencoba menenangkan Bi Maryam dengan mengelus pundaknya perlahan. “Kita sama-doakan Azza bi,” ucap Hasbi parau.
Bi Maryam mengangguk.
••
Waktu sudah beranjak sore. Hasbi dan Albar tidak sampai berbincang dengan Azza sebab kondisinya yang sangat memprihatinkan. Hasbi hanya menangis selama di ruangan itu. Meski dia terus mencoba menahan dan menyembunyikannya, tapi semua orang bisa melihat air matanya.
“Om, Tante, kami pamit. Maaf tidak bisa di sini lebih lama. Tapi besok kami pasti jenguk Azza lagi,” pamit Hasbi dan Albar sambil menyalami orang tua Azza.
“Gak apa-apa nak. Terima kasih sudah jaga Azza selama ini. Terima kasih sudah baik sama Azza. Maaf, kita belum bicara banyak. Kapan-kapan kita bertemu lagi di situasi yang lebih baik ya,” ujar Mama Azza sambil tersenyum menahan tangisannya.
Hasbi dan Albar mengangguk hormat. Mereka lantas berpamitan setelah berbicara pada Azza yang hanya bisa menjawab dengan suara lemah dan senyum pucatnya.
••
“Bi, ponsel aku kayaknya ketinggalan di ruang rawat Azza,” ucap Albar tiba-tiba sambil masih merogoh sakunya.
“Yaudah ayo ambil dulu,” ajak Hasbi memimpin langkah untuk kembali ke ruangan Azza setelah mereka sampai ke parkiran dan menyalakan motor.
Sesampainya di depan ruang rawat Azza, Hasbi dan Albar menghentikan langkahnya. Mereka saling pandang sesaat ketika mendengar keributan di dalam ruangan.
“Mama sama Papa kerja juga buat kamu, Za.” Terdengar mama Azza berdalih dengan suara cukup tinggi.
“Tapi Azza juga butuh kalian. Azza mau ditemenin. Azza mau mama sama papa nungguin Azza di sini,” protes Azza. Suaranya terdengar parau. “Buat apa kalian punya perusahaan besar dengan banyak karyawan kalau masih harus kerja hampir 24 jam tiap hari dan nelantarin anaknya yang sekarat?”
Hasbi dan Albar membeku mendengar teriakkan Azza yang penuh rasa sakit itu. Mata mereka berkaca-kaca. Dari sekian banyak hal mengejutkan yang pernah mereka alami, hari ini menjadi salah satu keterkejutan terbesar mereka selama ini.
“Za, tolong. Dewasalah sedikit. Papa sama Mama bukan gak sayang kamu, Nak. Kita sayang banget sama kamu. Karena itu, kita bekerja keras untuk bisa terus ngasih pengobatan terbaik buat kamu,” ujar Papa Azza kini mengambil alih pembicaraan. “Kita juga harus ketemu banyak orang. Papa masih harus ketemu relasi dari luar kota malam ini. Mama juga ada wawancara live malam ini. Kita harus tampil baik, Za. Tolong ya.”
“Jadi maksud kalian, perspektif masyarakat umum dan rekan kerja itu lebih penting dari anak sendiri?” bentak Azza dilanjutkan tawa kecewa. “Azza gak nyangka. Yang katanya Azza harus diperjuangin, ternyata sebenarnya emang gak penting. Kalau gitu gak usah biayain pengobatan Azza aja.” Suara Azza melengking parau dilanjutkan dengan gaduh seisi ruangan.
“Jangan Za. Jangan dilepas!”
“Azza, sayang, jangan gini!”
“Pergi!”
Suara barang dilempar memekakkan telinga.
“Pergi aja sana! Pergi urusin rekan kerja Papa! Pergi urusin butik dan wawancara gak guna itu!” Azza kehilangan kendali.
“Pergi!”
Air mata Hasbi dan Albar lolos dari pertahanannya. Mereka saling pandang tak percaya dengan apa yang mereka dengar. Ternyata dibalik senyum sekuat Azza, ada rasa sakit yang bahkan mungkin lebih dalam dari Hasbi dan Albar yang selama ini dikuatkan olehnya.
“Azza ...” Hasbi terduduk lemas.__________
Halo Assalamu'alaikum readers 💐💐
Gak bisa kalau tentang Azza yang nangis. Hasbi sama Albar pasti ikutan. 😭😭😭
Ikuti terus kisahnya ya. Jangan lupa vote, komen, share dan follow akun wattpadku. Kamu juga boleh mampir ke akun media sosial aku ya :
Instagram : @alfattah.studio
TikTok : @alfattah.studioSekian, terima kasih banyak dan see you next chapter 💐🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Happy Ending
Fiksi RemajaAzza, Hasbi dan Albar dipertemukan oleh takdir yang membuat mereka nekat melawan sulitnya kehidupan. Sifat dewasa dan kebijaksanaan perlahan tumbuh mengiringi perjuangan para remaja itu dalam mempertahankan mimpi, menyambung hidup, dan berlari-lari...