22. Peringkat

4 3 0
                                    

Sore yang cerah untuk kota Bandung hari itu. Hasbi pulang sekolah dengan badan lemas. Banyak kegiatan yang harus dia selesaikan hari itu. Selepas pembukaan, dia harus mengarahkan banyak anggota OSIS dan panitia lain untuk segera melaksanakan tugas-tugasnya di pekan lomba antar kelas itu.

Dia membuka pintu malas sambil mengucap salam. Mamanya tersenyum menyambut sambil menjawab salam. Dia terlihat tengah memotong-motong buah.

“Gak ada alpukat Ma?” tanya Hasbi sambil menyuapkan potongan buah pepaya yang tengah disiapkan mamanya. Dia lalu duduk di kursi makan dan menonton mamanya melanjutkan kegiatannya sambil membuka tas dan mengeluarkan beberapa buku.

“Alpukatnya habis. Kalau mau, sana beli dulu,” titah mama Hasbi lembut. Dia tersenyum memperhatikan Hasbi yang tengah membaca beberapa bagian bukunya.

Hasbi menghela napas panjang. “Gak usah ma. Hasbi pengen istirahat dulu. Capek banget,” ucap Hasbi yang kemudian disusul anggukan kepala mamanya.

Hasbi berjalan gontai menuju kamarnya di lantai dua. Rasa lelahnya hari itu membawa dia langsung ke tempat tidur dan terlelap dengan masih mengenakan seragam sekolahnya.

••

“Hasbi, bangun. Ini udah sore banget. Bentar lagi magrib,” ucap Mama Hasbi menggoyang-goyangkan lengan Hasbi.

Hasbi menggeliat dan terbangun. Dia membuka matanya dan menyadari dia tertidur sepulang sekolah. “Oh iya maaf ma,” ucapnya sambil mengucek matanya.

Mama Hasbi menggelengkan kepalanya. Dia lantas mengambil beberapa baju Hasbi yang terjatuh dan membenahi meja belajar Hasbi yang berserakan. “Mama kan bilang, jangan tidur setelah ashar. Tahan kalau ngantuk. Gak baik itu,” ucapnya.

“Iya maaf ma, ketiduran. Gak sengaja,” ujar Hasbi pelan. Dia tersenyum menatap mamanya yang setiap masuk kamar dia pasti sibuk berbenah.

“Azza sehat, Bi? Kapan mau di ajak main ke sini?” tanya Mama Hasbi membuat Hasbi seketika tertegun kaget. “Kenapa kaget gitu?” tanyanya melanjutkan sambil tertawa melihat Hasbi yang seketika melek.

“Hah? Azza?” tanya Hasbi gelagapan.

“Iya, Azza. Kenapa gelagapan gitu?” tanya mama Hasbi tertawa. Dia beralih melipat pakaian Hasbi yang belum sempat Hasbi bereskan. “Cerita aja sama mama, kapan mau ngungkapin perasaan kamu?”

“Apa sih ma? Gak ngerti Hasbi,” ucap Hasbi nyolot.

“Eh, kok nyolot,” sergah mama Hasbi tertawa. “Mama suka kok sama Azza, suka banget. Walaupun belum pernah ketemu langsung,” jelas mama Hasbi tersenyum.

Hasbi hanya terdiam bingung menjawab apa. Selama ini, dia hanya menceritakan semua tentang Azza kepada mamanya tanpa ada unsur mengungkapkan perasaannya sama sekali. Tapi kenapa mamanya bisa tahu? Apakah benar kata Albar kalau perasaannya ada Azza terlihat sangat jelas selama ini? Kenapa bahkan dia tidak menyadarinya? Tapi tunggu, bukankah memang Hasbi juga bersikap pada Azza untuk membuat orang lain tahu kalau Azza adalah miliknya?

“Kelihatan banget?” tanya Hasbi pelan.

Mama Hasbi menoleh sambil mengangguk. “Iya. Tapi justru mama suka. Kalau kamu suka seseorang Bi, jangan segan-segan tunjukkan. Kalau belum ada kata yang bisa diucapkan, setidaknya jangan tahan kasih sayang apalagi sampai disembunyikan. Cinta butuh diungkapkan. Terlepas dari apapun bahasanya,” jelas mama Hasbi sambil menatap anak kesayangannya itu dengan tersenyum lembut.

Hasbi terdiam mendengarkan sambil tersenyum samar.

“Udah, mandi sana,” titah mama Hasbi menginterupsi Hasbi yang terdiam sambil tersenyum cukup lama. Dia memberikan handuk pada Hasbi sebagai isyarat perintahnya minta segera dilaksanakan. “Jangan kemagriban.”

Hasbi mengangguk sambil menerima handuk dari mamanya dan bergegas beranjak. Dia merasa bahagia karena dengan jelas mamanya merestui rasa cinta Hasbi untuk Azza.

••

Suara pintu depan rumah terbuka bersamaan dengan jam yang menunjuk ke arah jam tujuh malam. Hasbi yang tengah memainkan gitarnya di kamar sempat menghentikan petikkannya dan mendengarkan papanya menyapa mamanya. Kemudian dia melanjutkan dan kembali fokus pada alunan lagunya.

Tak berselang lama, suara pintu kamar Hasbi diketuk cukup keras. Hasbi menyimpan gitarnya dan membuka pintu. Papanya berdiri di sana sambil menatap sangar ke arah Hasbi dan langsung merampas gitar Hasbi dengan penuh paksaan.

“Jangan main gitar terus. Mana sini nilai ulangan kamu!” bentaknya melotot. Hasbi menghela napas panjang sambil berjalan memutar mencari lembar jawaban ulangan di tas nya.

“Nah. Siniin gitar Hasbi,” ucap Hasbi menyodorkan lembaran jawaban berisi nilai ujian dan merebut kembali gitar dari tangan papanya. “Udah ya,” tambahnya lagi sambil mencoba menutup pintu.

Belum sampai pintu tertutup rapat, papa Hasbi terlebih dahulu menggebraknya. “Hey, sini kamu!” ucapnya sambil menunjuk wajah Hasbi geram.

Hasbi mengurungkan niat dan kembali membuka pintu kamarnya lebar. Dia tahu akan ada sesuatu terjadi antara dia dengan papanya. “Apa pa?” tanya Hasbi malas.

“Apa ini?” tanya papa Hasbi sambil menunjukan salah satu lembar soal yang menampilkan nilai tidak sempurna. “Jadi ini hasilnya kamu papa bayarin les mahal-mahat tiap hari? Kenapa ada nilai kayak gini? Harus sempurna dong. Pakai tuh otak kamu!” bentak Papa Hasbi pada Hasbi.

Hasbi menghela napas panjang dan berat. “Apa sih pak, cuma satu juga,” ucap Hasbi mulai malas dengan pembicaraan ini.

“Ya gak bisa gitu dong,” ucap papa Hasbi menyolot. “Nilai kamu harus konsisten bagus. Apaan ada nilai kayak gini?Ngapain aja kamu selama in? Papa capek-capek bayar tuton, ini itu cuma buat fasilitasi kamu supaya belajar,” ucap papa Hasbi marah-marah.

“Ya Allah, pa. Kalau emang Hasbi salah ngisi soal, terus ada soal yang salah, nilainya gak sempurna, apa salahnya? Emang di dunia ini papa gak pernah salah? Jadi tingkatan kedua bulan hal buruk pa,” jelas Hasbi menahan emosinya agar tidak meluap-luap.

Papa Hasbi membanting kertas nilai ujian. “Ya salah! Papa bilang nilai-nilai kamu harus selalu sempurna. Jangan ada yang kalahin peringkat pertama pararel kamu, Hasbi! Apaan nilai jelek kayak gitu. Gak guna punya otak!” bentak papa Hasbi.

Hasbi tertawa jengah. Dia menatap sekeliling dengan malas. “Papa mau Hasbi selalu jadi orang sempurna dalam pelajaran? Gimana Hasbi mau jadi yang terbaik kalau sikap papa aja kayak gini? Hasbi peringkat kedua ulangan harian, papa marah gak ada ampun. Tapi Hasbi yang setiap hari dapat nilai sempurna, gak pernah sekalipun papa puji atau papa hargai. Kenapa pa?” tanya Hasbi dengan nada tinggi. Dia menepuk-nepuk dadanya penuh kebencian.

__________

Halo Assalamu'alaikum readers 😍💐

Semoga suka ceritanya ya. Jangan lupa vote, komen, share dan follow akun wattpadku. Mampir juga ke sosial media aku ya :

Instagram : @alfattah.studio
Tiktok : @alfattah.studio

Terima kasih banyak dan see you next chapter 💐😍

Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang