5. Gelato

19 11 1
                                    

“Zaza yang cantik, plis aku pinjem bukunya ya?” rengek Nadya sambil memeluk buku tugas milik Azza dan menunjukkan puppy eyes nya.

Azza menghela nafas disela aktivitasnya membereskan buku dan alat tulis setelah guru pelajaran terakhir keluar meninggalkan kelas. “Nadya, jangan nyontek hasilnya. Itu gak baik. Kalau kamu mau, aku bisa ajarin materinya. Tapi ngisi tugasnya tetep kamu sendiri. Oke?” Azza bernegosiasi.

Nadya akhirnya setuju dan mengembalikan buku Azza setelah berkali-kali membujuk. Dia mengangguk meski malas. Azza yang melihatnya hanya tertawa dan kembali membereskan barang-barangnya.

“Udah ngabarin Pak Hadi, Za?” tanya Nadya.

“Nggak. Pak Hadi hari ini anter papa ke luar kota. Katanya papa lagi kurang fit buat nyetir,” jelas Azza. “Aku nebeng kamu boleh, Nad?” tanya Azza.

“Azza pulang sama aku,” sahut seseorang tiba-tiba sebelum Nadya sempat menjawab.

Semua orang menatap siapa yang berdiri dan bersandar di pintu masuk kelas Azza. Hasbi. Semua orang menatap Hasbi dan Azza bergantian. Termasuk Nadya yang mulai histeris melihat idolanya itu dari jarak yang cukup dekat.

“Kak Hasbi?” Azza menatapnya bingung.

“Udah selesai? Ayok!” ajak Hasbi sambil mendekat ke arah meja Azza. Dia segera mengambil tas Azza dan berlalu begitu saja.

Azza yang kebingungan sempat menatap sekeliling. “Nad?” Azza memanggil Nadya mewakili banyak pertanyaan dan kebingungannya.

Nadya tertawa cengengesan. “Udah-udah, sana pulang. Kak Hasbi nungguin nanti,” ucapnya sambil mendorong tubuh Azza pelan. Kelas mulai riuh dengan suara anak-anak kelas yang menyaksikan kaget peristiwa langka itu.

Azza berjalan cepat mengejar Hasbi. Tubuhnya yang pendek mungil membuatnya sulit menerobos keramaian lorong kelas. Jauh berbeda dengan Hasbi yang bertubuh tinggi dan langkah yang cepat. “Ish, kak Hasbi!” gerutu Azza.

Lorong ramai itu mulai riuh dengan banyak pertanyaan dan sikap histeris siswa-siswinya.

“Kak Hasbi?”

“Itu tadi siapa? Tas cewek kan?”

“Kok bisa kak Hasbi bawa tas perempuan?”

“Tas siapa sih?”

Hasbi tak peduli sekelilingnya sudah riuh membicarakan dirinya dan penasaran dengan tas perempuan yang dipegangnya. Dia berhenti sejenak melihat Azza yang seperti tenggelam diantara kerumunan orang.

“Bahkan diantara banyak orang sekali pun, aku bisa menemukanmu, Za.” Hasbi berkata lirih sambil tersenyum.

Tak lama kemudian Azza tiba di hadapan Hasbi yang tertawa kecil melihatnya terkekeh. Hasbi segera menyodorkan botol minum Azza yang disimpan di slot kecil di bagian samping tasnya.

Azza segera menerima dan meminumnya.

“Udah? Ayo,” ajak Hasbi sambil mengambil botol minum di tangan Azza dan menyimpan kembali pada tempatnya.

“Ih kak Hasbi, sini dulu tas Azza,” ucap Azza sambil berusaha mengambil tasnya.

Hasbi segera mengangkatnya tinggi-tinggi. “Ayo ambil,” ucapnya sambil tertawa melihat Azza yang kesulitan bahkan untuk menggapai tangannya. Azza menjinjit berusaha menggapai tasnya tapi tetap tidak sampai.

“Kak Hasbi, jail banget ih.” Azza cemberut protes. Dia menyerah karena tinggi tubuhnya kalah jauh.

Hasbi hanya tertawa melihat Azza dan sedikit menunduk. “Udah, jangan marah. Kak Hasbi ajak ke tempat jualan yogurt sama gelato baru, mau?” ucapnya lembut sambil menatap tepat ke bola mata Azza.

Azza yang semula geram pada Hasbi mendadak berbinar mendengar ajakannya. Dia mendongak menatap Hasbi bersemangat. “Beneran?” tanyanya memastikan.

“Ya iya, ayo,” ujar Hasbi meyakinkan. Dia kembali berjalan sambil membawa tas Azza yang sejak tadi tak dibiarkan diambil alih pemiliknya. Dia tahu dengan itu Azza tidak akan pergi dan akan pulang bersamanya.

Azza segera menyusul langkah Hasbi bersemangat. Mereka pergi dan tak menghiraukan banyak suara riuh di lorong sekolah yang kini siap menjadikan mereka topik utama di seluruh obrolan mereka.

••

“Azza mau gelato yang rasa vanila sama matcha. Terus yogurtnya dibawa pulang aja. Mau yang original sama stroberi,” jelas Azza sambil menunjuk ke arah gelato yang terhalang etalase kaca bening. “Oh iya, topingnya selai coklat sama kacang almond,” tambahnya lagi dengan bersemangat. Azza memperhatikan pekerja yang cekatan mengambil gelato dengan scoop. Satisfying!

Hasbi tersenyum menatap Azza yang seperti anak kecil itu. “Sama gelato yang vanilla toping selai coklat satu ya kak,” tambah Hasbi pada pekerja di hadapannya.

“Kak Hasbi tahu gak? Kak Hasbi udah bikin Azza jadi orang yang matahin hati banyak perempuan?” tanya Azza masih sambil menatap pekerja toko yang sekarang sedang menambah toping gelato pesanan Azza.

“Kenapa gitu?” Hasbi bertanya.

Azza beralih menatap Hasbi yang jauh lebih tinggi darinya. “Azza dengar kak Hasbi most wanted di sekolah. Nadya juga bilang hampir semua perempuan ngefans sama kak Hasbi,” jelas Azza sambil menerima gelato miliknya.

Hasbi tertawa mendengar ucapan Azza kemudian menyodorkan uang pada pekerja setelah mengambil semua pesanan. Dia tersenyum ramah berterima kasih pada pekerja sebelum kemudian berlalu menuju sebuah tempat duduk di samping jendela. Azza mengikutinya dengan sudah tak sabar menyantap gelato miliknya.

“Kayaknya nggak deh,” ucap Hasbi kemudian.

“Iya, gak nyadar,” timpal Azza.

Hasbi tertawa. Dia memperhatikan Azza yang lahap menyendok gelato dua rasanya sambil senyum-senyum. Di hadapan mereka, dua botol yoghurt pesanan Azza juga tampak enak dengan kemasan yang menarik.

“Suka banget sama olahan susu ya Za?” tanya Hasbi.

Azza tersenyum. “Banget! Tapi kok kak Hasbi tau?”

“Waktu kamu ke rumah sakit, aku terpaksa buka tas kamu buat nyari tissue. Ternyata banyak susu sama yoghurt kemasan,” jelas Habsi sambil menyuapkan gelato miliknya.

Azza mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ohh.”

Hasbi terdiam sejenak memperhatikan Azza. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan orang seistimewa Azza lagi. Pertemuannya saat di rumah sakit ternyata menjadi titik awal harapan baru Hasbi. “Za? Kalau gak keberatan, apa aku boleh tahu tentang sakit kamu?” tanya Hasbi.

“Lupus. Azza sakit lupus SLE yang sekarang udah nyerang paru-paru sama ginjal Azza.” Azza berkata santai sambil tersenyum dan memakan gelatonya yang tinggal sebagian.

Hasbi kaget mendengar Azza yang mengatakan kondisinya dengan sangat santai. Dia menatap Azza prihatin. “Za? Kamu gak bercanda kan? Dengan tubuh selemah itu kenapa kamu masih bisa tersenyum?”

“Kak Hasbi?” Azza melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Hasbi yang berkaca-kaca.

“Eh?” Hasbi tersadar dari lamunannya.

Azza tertawa. “Kak Hasbi kenapa? Kok berkaca-kaca gitu matanya?”

Hasbi menghela nafas. “Sudah separah apa Za?” Dia mengalihkan topik.

“Azza harus dialisis dua kali seminggu dan obat-obatan tiap hari. Kadang seminggu sekali sih, tergantung kondisi Azza,” jelas Azza sambil menyuapkan sendokan gelato terakhirnya.

Hasbi terdiam. “Za, kok kamu bisa sekuat ini? Saat tubuh kamu sakit, kenapa kamu masih bisa bercerita sambil tertawa?”

Azza menyimpan cup gelatonya dan tersenyum menatap Hasbi lembut. “Azza tau, sedih dan bahagia itu wajar. Azza juga tahu, sedih dan bahagia itu pilihan. Jadi, selagi ada pilihan untuk bahagia, kenapa Azza harus nangisin kondisi Azza?”

Air mata jatuh terjun. Hasbi tak kuasa menahannya. “Kamu hebat, Za. Semoga cepat sembuh ya,” ucap Hasbi. Dia tak bisa berkata banyak dihadapan orang sekuat Azza. Separuh hatinya merasa sangat buruk dan lemah.

Azza tersenyum mengaminkan.

“Za, aku belum bilang terima kasih sungguh-sungguh setelah kita bertemu di rumah sakit. Terima kasih banyak. Aku belajar banyak dari kamu. Dan maaf hari itu aku gak bersikap baik,” tutur Hasbi.

“Justru Azza yang seneng bisa ketemu kak Hasbi. Dan makin seneng waktu tahu kak Hasbi ternyata sekolah di sekolah yang sama kayak Azza,” jelas Azza riang.

“Jadi, kita bisa temenan kan?”

Azza tersenyum mengangguk.

••

Hasbi menghentikan motornya di depan rumah Azza. Dia memberikan tas Azza yang sejak dari sekolah tidak dia lepaskan sebagai bentuk jaminan Azza tidak akan pergi dan akan pulang bersamanya.

“Oh ya, kak Hasbi deket sama kak Albar?” tanya Azza sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan tertiup angin selama di perjalanan.

“Deket banget sih nggak. Tapi aku udah beberapa kali ke rumahnya,” jelas Hasbi. “Kenapa Za?”

Azza terdiam berpikir. “Kak Hasbi tahu kondisi keluarga dan finansial nya gak?”

Hasbi mengangguk. “Sekilas. Waktu aku ke rumahnya, kebetulan ada yang nangih hutang. Dan caranya kasar banget.”

“Waktu kak Hasbi lihat kita nangis di rumah sakit, sebenernya kak Albar lagi ceritain masalahnya. Azza ikut prihatin dengar semua itu,” tutur Azza. “Apa mungkin kita bisa temenan kak? Setidaknya, kita bisa jadi orang yang siap jadi support system kak Albar,” pinta Azza.

Hasbi tersenyum. “Kamu bahkan lebih pantas untuk punya banyak support system Za. Tapi kamu dengan hebatnya siap jadi orang yang peduli sama orang lain.”

Angin bertiup cukup kencang. Rambut Azza yang di kepang dua dengan poni pinggir yang sedikit lebih panjang kembali acak-acakan. Tiba-tiba, Hasbi dengan senyumnya membenahi rambut Azza. “Boleh, nanti kak Hasbi coba ajak kak Albar main bareng.”

Azza tersenyum girang. “Yes! Janji ya!” dia mengacungkan jari kelingkingnya.

“Iya, kak Hasbi usahain,” jawab Hasbi sambil menyambut kelingking Azza.

Azza senyum manis. Namun senyumannya tiba-tiba terhenti saat menyadari sesuatu di kening Hasbi yang semula tertutup rambut kini tampak jelas karena angin kencang menyibaknya.

“Kak Hasbi? Ini kenapa?” Azza menyentuh memar-memar biru di dahi Hasbi. Terlihat ada darah yang setengah kering juga di sana.

Hasbi mengerenyitkan dahi. Ikut bingung sambil menyentuh dahinya juga. Saat sadar, dia segera menjauh dari Azza dan merapikan kembali rambutnya. “Oh ini? Ini tadi malam kepentok meja, Za.” Hasbi berkata canggung.

Azza semakin heran saat melihat sesuatu di lengan Hasbi. Lengan bajunya terangkat saat Hasbi menyentuh dahi hingga menampakkan memar-memar serupa. Namun belum juga dia bertanya, Hasbi sudah menyela terlebih dahulu.

“Udah sore Za. Kamu istirahat ya. Kak Hasbi pamit dulu,” ucap Hasbi tergesa-gesa sambil kembali memakai helmnya.

Azza hanya terdiam sambil mengangguk pelan. “Hati-hati ya kak,” ucapnya sambil melambaikan tangan.

Hasbi hanya tersenyum, mengangguk dan melambaikan tangan. Dia segera menaiki motor dan berlalu pergi. Meninggalkan Azza yang masih bertanya-tanya tentang luka Hasbi.

“Kak Hasbi pura-pura baik-baik aja.” Azza menghela napas sambil membalas lambaian tangan Hasbi.

__________

Author need Hasbi in real life 😫
__________

Halo assalamu'alaikum readers 💐
Gimana, suka gak sama bab ini? Semoga jadi peneman harimu yaa. Ikuti terus kelanjutan ceritanya ya 💐

Mohon dukungannya dengan vote, komen, share dan follow akun wattpadku. Boleh mampir juga ke akun media sosial aku ya :

Instagram : @alfattah.studio
TikTok : @alfattah.studio

Terima kasih banyak. See you next chapter 🤍💐

Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang