Nadin memeluk Ibunya yang pagi itu bangun dengan amat lemah. Kondisi tensi beliau masih tinggi dan masih dalam observasi dokter.
"Maaf Bu, Nadin baru pulang.." cicit gadis itu seraya mengelus puncak kepala sang Ibu.
Hanya mata yang mengerjap dan senyum lemah sebagai jawabannya.
"Ibu pasti sembuh, insyaAllah. Nadin akan usahakan maksimal. Ibu semangat sehat ya, jangan menyerah"
Kembali mata itu mengerjap mengiyakan.
"Ibu belum bisa makan, pake selang sonde dulu untuk makan ya. Ibu laper?"
Ada anggukan kecil yang ditangkap Nadin. Gegas Nadin memencet bel untuk memanggil suster agar membantunya memberi sang Ibu makan.
Tiba-tiba mata sang Ibu membola dan menatap ke arah lain. Kontan Nadin mengikuti pandangan sang Ibu lalu pandangannya mengerucut ke arah Paundra yang tengah ikut berdiri dibelakang Nadin.
"Oh itu Bos Nadin di kantor Bu, semalam sudah anterin pulang ke sini jadi bisa cepet sampenya"
Sang Ibu mengangguk kecil mencoba menyapa lelaki itu yang tengah menatapnya datar.
Terlihat lelaki itu tersenyum tipis seakan ikut menyapa ibu yang masih menatapnya lekat. Tumben, dia bisa ramah juga ternyata, ucap Nadin dalam hati.
Tak ada suara sapaan apapun darinya dan tergantikan dengan derap suara sepatu Suster yang datang menuju Nadin dan sang Ibu.
"Ibu lapar Sus, bisa dikasih makan sekarang?"
"Oh boleh teh, sebentar saya siapkan ya. Oh iya, katanya mau pindah ke VIP ya, ruangannya lagi dibereskan. Mau makan disini apa setelah pindah?"
Dahi Nadin berkerut. Ke VIP? Biayanya berapa ya?
"Pindah kemana Sus? Siapa yang bilang?"
Tiba-tiba saja sahutan kecil menyambar rungu Nadin dengan cepat.
"Gw yang bilang!"
Nadin menatap Paundra tak percaya.
"Maaf mas, gak perlu pindah. Disini cukup. Suster gak usah pindah, gak jadi"
Decakan kecil langsung terdengar seakan protes dengan perkataan Nadin.
"Udah loe diem aja. Sus, sesuai seperti yang sy bilang"
Suster hanya mengangguk mendengar perdebatan kecil tersebut. Ia lalu pergi untuk menyiapkan makanan untuk sang Ibu.
Nadin lalu mengajak Paundra keluar untuk berbicara empat mata. Ia tak enak jika harus beradu mulut di ruangan ibunya.
"Mas, maaf. Bukan Nadin menolak kebaikan Mas, kelas VIP terlalu muluk untuk kami. Maaf ya Mas biarkan ibu di ruangan ini. Nadin gak mau merepotkan.. maaf Mas.."
"Loe gak usah belagu, udah terima aja bantuan gw"
"Tapi.."
"Diem, gak usah debat mulu ngapa? Dibantuin koq belagu amat!"
Ya ampun, Nadin ingin nangis rasanya. Pedas sekali mulut orang ini.
"Ya sudah, Nadin anggap pinjaman ya Mas, nanti Nadin cicil lewat gaji tiap bulan. Makasih ya Mas.."
"Gak usah bawel. Ngomong-ngomong suruh adik loe beliin gw sarapan yang anget-anget makanan khas sini. Gw tunggu di loby"
Nadin hanya mengangguk kecil meresponnya. Entahlah, kelakuannya bosnya ini aneh dan absurd banget pokoknya. Sakit kadang hatinya jika ia berucap sesadis tadi.
Tak lama kemudian Adi datang dan membawa makanan panas berisi sorabi dan teh hangat sebagai teman sarapannya.
Namun sayangnya adiknya itu tidak sendiri. Dibelakangnya berdiri sosok tinggi kurus berkacamata yang menatap Nadin dengan liar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Berhenti Dikamu
ChickLitMenjalani hidup yang sempurna tentu keinginan semua orang. Uang berlimpah, makan dan tidur nyaman, pendidikan tinggi, jalan-jalan kemanapun bisa tinggal suruh pak sopir mengantar kita kemanapun, amat sangatlah indah untuk dibayangkan. Sayangnya semu...