18 | Gloomy

179 33 5
                                    

Nadin membereskan mejanya setibanya dikantor. Kebetulan jam kantor akan segera berakhir dan dia ingin pulang on time hari ini.

Agak malas melihat bosnya yang masih aja ketawa konyol sepulang dari rapat kecil tadi. Sepertinya kisah pertaruhannya itu lelucon dan dianggap bukan masalah sama sekali.

Semprull pisan!!

Nadin berjalan menuju mushola untuk menunaikan sholat sebelum pulang. Hanya tersisa 5 menit dan dipikirnya cukup.

Ia mencoba menenangkan hatinya yang tengah berperang saat ini. Bos dan juga teman satu sekolahnya itu benar-benar membuatnya berang bukan kepalang.

Calm down Nadin, semoga air wudhu bisa meluruhkan kekesalannya segera. Semoga.

"Iya tuh, mentang-mentang cakep langsung jadi aspri aja. Heran gw si Elang, anak kagak pengalaman gitu, anak kampung. Jauh kemana-mana ama gw!"

Deg

Nadin langsung menghentikan langkahnya saat hendak masuk ke pintu mushola. Siapa yang tengah mengobrol?

"Bentar doangan paling, keliatan cupunya gitu bebs. Liat aja, paling kagak lama"

"Iya, gw berharap gantiin si Lastri. Napa jadi dia yang baru langsung merepet. Kasian pan, ganteng-ganteng dapet anak kampungan. Hihii.. upss.."

Mba Lastri adalah staf lama yang ia gantikan saat masuk ke sini. Nadin mengelus dadanya pelan. Ya ampun, ada apa lagi ini? Jadi mereka tengah menggosipi aku begitu?

Nadin lalu masuk saja ke dalam mushola yang belum terlalu penuh. Ia gegas membuka mukenanya dan mengambil tempat di pojok depan untuk menyelesaikan kewajibannya.

Sesak, Nadin ingin menangis dalam sholatnya kali ini.

🌷

Nadin menerawang menatap jalanan dari angkutan umum yang ia naiki kali ini. Dia bergegas pulang sejak jam kerja berakhir. Tak dipedulikannya bosnya yang masih ada diruangan. Ponsel pun saat ini ia matikan karena tak ingin dihubungi dulu.

Tangisannya masih ia tahan-tahan. Sesak sudah dari tadi tapi ia berusaha mengalihkannya dengan menarik nafas panjang berkali-kali.

Sudahlah dijadikan bahan taruhan keisengan Elang dan teman-temannya, rekan dikantorpun sepertinya tidak suka dengan kehadirannya. Nadin harus bagaimana kalau begini?

Jika ia tak memikirkan kondisi ibu dan adik-adiknya, ingin dia kembali pulang kampung dan bekerja saja di sana. Tapi penghasilan disana tidak sebagus kerja di kota seperti sekarang yang ia lakoni. Nadin butuh banyak uang untuk keluarganya.

Gadis itu menghapus air mata yang luruh dengan ujung kerudungnya. Bagaimana ia harus bersikap saat ini?

Tegar. Ia berusaha untuk itu. Dirinya bukan orang yang tidak punya potensi. Ia yakin punya nilai lebih tidak seperti yang dikatakan rekan kantornya itu.

Anak kampungan? Ya memang dia dari kampung, dia tidak memungkiri itu. Dia tahu diri. Trus memang tidak boleh bekerja disana? Semua berhak dapat kesempatan.

Setibanya di kontrakan petak yang disediakan Elang, Nadin langsung masuk membuka gerbangnya. Sepertinya belum pada pulang sehingga masih pada sepi gak terdengar apa-apa.

Nadin bergegas meraih kunci petakannya agar bisa segera beristirahat didalam. Ia benar-benar ingin sendiri dulu untuk saat ini.

🌷

Nadin ketiduran seusai magrib dan baru bangun sekitar jam 10 malam. Capek emosi itu ternyata luar biasa beratnya dibanding dengan capek fisik.

Nadin teringat ia mematikan ponselnya sejak sore. Kuatir ibu atau adiknya menelfon, gegas ia menyalakannya kembali.

Berhenti DikamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang