That's Right, It's Love

10.6K 984 20
                                    

"Lo percaya itu video mereka?"

"Kayaknya beneran deh. Lagian mukanya jelas banget lagi."

"Bener. Mustahil editan semirip itu, kan?"

"Hu'um. Gue juga yakin itu mereka beneran bukan editan."

"Lagian siapa juga yang punya niat sejauh itu mau editin muka mereka ya, kan? Untungnya apa coba?"

"Tapi gila sih, Tamara mulus banget. Gue yang cewek aja suka sama body nya anjir."

"Nah, sama. Gue kira cuma gue doang yang fokus ke Tamara."

"Asli sih, dia kurang apa sih? Cantik, mulus sebadan penuh begitu. Gak ada cacat sama sekali. Pintar. Kesayangan bos."

"Gak ada manusia sempurna. Tapi Tamara udah sempurna menurut gue."

"Iya, kan? Gila banget pak bos bisa begituan sama Tamara."

"Pantes sih gayanya Tamara makin-makin aja tiap hari. Gue ngerasa nih cewek ada kerja sampingan apa gimana."

"Sama! Dulu inget banget kan dia gak kayak sekarang. Bermerek sih dulu yang dia pakai. Tapi gak yang waw banget kayak sekarang."

"Gue kalau jadi Tamara juga bakal jual diri kayak gitu anjir. Siapa yang gak mau coba. Dapetnya enak-enak. Kenikmatan semua."

Aku mengencangkan kepalan tanganku mendengar banyaknya suara yang saling bersahutan di luar sana. Sejak setengah jam lalu aku duduk di closet ini menunggu staf lain pergi. Tapi semakin lama malah semakin banyak suara yang aku dengar.

Saat langkah kaki itu mulai terdengar menjauh, aku segera menghela napas panjang. Sial. Rasanya sangat sesak sekali menahan kekesalan setengah jam lamanya. Aku tidak tahu seperti apa ekspresi mereka saat membicarakanku tadi. Sepertinya mereka begitu semangat dan terhibur di tengah masalah yang kuhadapi.

"Lo pikir enaknya doang. Gak mikir resiko yang gue ambil."

Aku berdecak saat keluar dari bilik toilet dan menatap pantulan diriku di cermin panjang depan wastafel. Sial. Wajahku berantakan sekali. Belum lagi mata sembabku sehabis menangis sejak tadi malam. Untungnya saat aku datang tadi pagi belum banyak staf dan tidak ada yang menyadari kondisi kacauku hari ini.

Sambil menghela napas berulang kali demi menenangkan diri, aku terus mensugestikan benakku untuk tetap tenang jika bertemu dengan staf lainnya. Aku yakin sekarang semua orang terang-terangan menceritakanku. Apalagi mengenai video sialan itu.

Usai merasa cukup tenang, aku segera keluar dari toilet dan kembali ke ruang kerjaku. Saat aku datang semua orang yang tadinya tengah mengobrol mendadak diam dan pura-pura sibuk dengan pekerjaan mereka.

Oke, Tamara, tenang.

"Tamara, dipanggil Pak Tommy ke ruangannya. Sekarang."

Baru saja aku merasa lega. Kini rasanya kembali sesak lagi saat bisik-bisik terdengar jelas. Sialan. Tidak bisakah Tommy itu melihat situasi saat ini? Semua orang sudah melihat dengan jelas bagaimana tubuh telanjang kami berdua. Dan dia masih sempat-sempatnya menyuruh sekretarisnya untuk memanggilku terang-terangan begini.

Aku beranjak dengan tenang meski rasanya ingin menghilang sekarang juga. Langkah kakiku mengikuti langkah tegas sekretaris Tommy. Laki-laki di depanku ini tak jauh berbeda dengan bosnya. Kaku dan dingin.

Aku masuk ke dalam ruangan bertuliskan CEO di pintunya. Tak lama saat aku menutup pintu, benda itu berbunyi otomatis dan artinya sudah terkunci. Aku menelan ludah menatap pria yang kini duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.

"Kamu gak usah dengar apa kata orang. Videonya udah aku take down juga. Tapi kemungkinan besar ada beberapa yang udah simpan. Untuk jaga-jaga, aku juga udah menegaskan ke tim Humas untuk tetap waspada dan ngasih sanksi berat ke orang yang ketahuan posting ulang atau menyebarkannya."

"Itu ulah kamu?"

Aku mendengkus melihat eskpresi terkejut di wajah tampannya. Aku yakin ini semua ulahnya.

"Kenapa bisa nuduh aku begitu?"

Aku mengedikkan bahu, lalu duduk di sofa yang bersebrangan dengannya. Aku menyilangkan kakiku dengan elegan dan kedua tangan yang juga terlipat di dada.

"Kamu mau balas dendam? Norak."

"Gak banget sih nuduh aku begitu. Buat apa?"

"Biar semua orang tahu kalau aku semurahan itu."

Tommy tertawa. "Kamu yang berasumsi sendiri."

"Aku serius, Tommy!"

"Makanya nurut, Tamara! Kamu bebal kalau dibilangin. Jangan pernah langgar perintah aku atau kamu bakalan tahu akibatnya."

Aku mengeraskan rahangku. Seharusnya sejak awal aku tahu kalau dia benar-benar licik. Setelah menikmati tubuhku sesuka hatinya, sekarang dia menyebarluaskan aib kami. Gila.

"Video itu sebagai peringatan buat kamu. Sekali lagi aku lihat kamu dekat dengan laki-laki lain, habis kamu."

"You're okay with people seeing my body, but you can't accept me chatting with my friends. You're really out of your mind."

Aku benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. Dia posesif. Sangat-sangat posesif. Jangankan bersentuhan, berbicara dengan lawan jenis saja dia marah. Tapi saat video itu tersebar, dia tidak masalah semua orang lihat apa yang ada di tubuhku.

"They can only see, while I touch everything to my heart's content. I'm okay with that as long as they don't touch you. Mine."

"Inget, kita sepakat cuma sampai akhir tahun ini. Setelah itu, kamu harus kasih aku kebebasan sesuai dengan janji kamu."

"Oke."

Hanya 'oke' yang keluar dari mulut sialan itu. Dia benar-benar tampak sangat tenang seolah tidak pernah terjadi apa pun sebelumnya.

"Jadi..."

Dia beranjak dari duduknya dan aku menatap tajam padanya. Aku tahu apa yang akan dia lakukan dan aku segera menggeleng.

"Tolong sedikit waras di kondisi seperti ini, Tom."

"Sumber kegilaan aku itu kamu. Jadi, wajar kalau aku selalu gak waras setiap sama kamu."

"Mulut bajingan."

Tommy terbahak dan tanpa menunggu lama dia mendorong tubuhku terbaring ke sofa. Dia menindih dan menyesap bibir merah mudaku. Bahkan saat seperti ini saja aku tidak punya kuasa untuk menolaknya. Entah apa yang Tommy lakukan padaku sampai aku mudah terlena seperti ini.

'Lo juga murahan, Tamara!' teriak batinku.

Sentuhan Tommy tidak pernah salah sasaran. Semuanya dia hafal dan tentu saja mudah baginya untuk merangsang gairahku. Bahkan kini bisa aku rasakan intiku basah dan berdenyut geli di bawah sana. Dia siap disentuh dan dimasuki oleh Tommy.

"Kamu tahu, staf kamu bilang aku sempurna. Bahkan kamu beruntung bisa nyoba tubuh aku."

Tommy tersenyum disela bibirnya yang mengecup pipi dan rahangku.

"I know. I'm lucky and always will be."

Bibir Tommy mulai turun ke area dadaku. Dia sudah lebih dulu membuka akses di sana. Bahkan aku tidak sadar sejak kapan semua kancing kemeja itu sudah lepas. Kini hanya payudara yang dibungkus bra terpampang di depan matanya.

"It's getting chewy and tempting."

"Jangan digigit lagi, Tom. Sakit. Kamu gak ngotak kalau nyusu."

Tommy terkekeh geli dan menggeleng. "Gak janji, Sayang."

Dasar kepala batu.

***

600 yah baru lanjut. Naik dikit targetnya biar agak lama leha-lehanya🫠

Btw, promo berlangsung sampai tgl 16 bulan ini yak!

Untuk short story 2023 belum ada promo karena harganya terbilang murah kok. Bahkan gak promo aja per volume ada 60 dan 70 ribu🫠

Yg mahal itu volume di 2021-2022. Per volume ada yg 200an. Skrg jadi 70ribu aja!

Ada keluhan di bab ini?🌚

SHORT STORY NEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang