PROLOG

10 1 0
                                    

Langit masih terus saja menampilkan warnanya yang biru, beberapa awan turut hadir meski hanya sebagian, panas menyengat seperti menyiksa siapa pun yang berada di bawahnya.

Rumah-rumah tetangga yang berdiri kokoh menggunakan semen dan bata merah, sebagian dari mereka menggunakan bata putih. Satu di antara mereka ada yang  menggunakan semen dan bata hanya setinggi lutut anak SD, kemudian dindingnya dari anyaman bambu.

Seorang laki-laki berbadan kurus dengan rambutnya yang tipis tengah menunduk, raut wajahnya merah padam sembari menggenggam sapu lidi yang diayunkan berkali-kali hingga membuat anak perempuan itu kesakitan.

“Sakit pak” ucapnya jujur sembari menangis kencang-kencang, menjerit berharap ada yang mendengar dan membawanya pergi dari sini.

“Kenapa kamu gak nurut sama bapak? Pulang sekolah harusnya langsung pulang, bukan keluyuran” melihat anaknya yang kesakitan membuat wajah merah padam itu berganti menjadi lebih sengit, urat tangannya bermunculan menandakan pukulan itu semakin keras.

Air matanya anak kecil tadi benar-benar luruh di saat mulai menyadari bahwa bapaknya betul-betul sedang marah, ia hanya sempat mengira bahwa bermain ke rumah nenek tidak akan membuat bapaknya marah seperti ini. Meski ia mengerti bahwa tidak boleh bermain tanpa pulang terlebih dahulu, bapaknya sudah beberapa kali mengingatkan.

Tangisnya dipaksa reda, mengatupkan bibir kuat-kuat sembari menahan sakit di kakinya akibat pukulan sapu lidi bapaknya tanpa memandang siapa yang di hadapannya. Menangis tidak akan membuat bapaknya berhenti apalagi merasa kasihan, mengingat laki-laki berbadan kurus itu masih terus saja memukulinya. Beberapa menit setelahnya, laki-laki itu menaruh sapu lidinya ke tempat semula kemudian akhirnya masuk ke dalam duduk di kursi sembari menghela napas, matanya menerawang jauh ke atas.

“Ngapain masih di situ? Sini masuk!” Langkah kakinya tidak berani melawan hingga akhirnya masuk ke dalam, langkahnya terdengar akibat lantai beralaskan tembok yang sudah mulai rusak beradu dengan sepatunya.

Takut kalau tetangganya keburu lewat dan melihat semua ini, laki-laki itu menyuruhnya untuk segera berganti baju, hanya mengangguk hingga akhirnya benar-benar masuk ke dalam kamar mengganti pakaian. Matanya sembab, berbagai pertanyaan mulai muncul dikepalanya tanpa kendali. Kaki mungil yang putih itu kini menjadi kemerah-merahan, rasa sakit menjalari kaki kecil miliknya. Bertahan untuk tidak menangis dan mengeluh sakit, kalau tidak bapaknya tidak akan segan-segan kembali memarahinya lagi. Gerakan tangannya pelan saat membuka androk merah kemudian menggantinya dengan celana panjang, ia meringis tanpa suara saat kain celananya bergesekan dengan kulit kaki yang merah akibat pukulan sapu lidi bapaknya.

AYSKA & BOM WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang