TAK SAMA LAGI

1 1 0
                                    

Jarum yang terus berputar itu menunjukkan pukul 7 malam. Ayska tengah duduk di sisi kasur menghadap jendela yang sengaja ia buka lebar-lebar, membiarkan udara malam masuk lebih banyak menerpa tubuhnnya yang ringkih nan lemah. Jarak antara panjang kasur dengan jendelanya hanya 1 meter. Meskipun sebagian besar yang ia lihat adalah rumah tetangga, namun ia masih bisa melihat langit malam dengan sedikit bintang yang tengah menari riang di atas sana.

Jika biasanya ia tengah menulis diary, kini hanya memandang langit malam sembari memikirkan nasib bukunya.
“Nak. Yuk makan dulu sayang” terlihat seorang wanita paruh baya menyembulkan kepalanya di ambang pintu, melihat putri bungsunya tengah membelakanginya menghadap jendela.

Mendengar itu, segera ia merubah ekspresi wajahnya dengan seperkian detik yang semula sendu beralih bahagia. Lebih tepatnya pura-pura bahagia. “Iya Mah” membalikkan badan ke belakang masih dengan posisi duduk, menjawab ajakan Elmira sembari menampilkan deretan gigi.

Segera menutup jendela rapat-rapat, menutupnya dengan selembar kain berwarna biru muda. Berjalan ke ruang tengah untuk memenuhi ajakan Elmira.
Satu lembar karpet menjadi alas duduk keluarga Sagara, Elmira dan anak sulungnya menunggu Ayska berkumpul bersama keduanya.

Paruh baya itu berkulit putih dengan hidungnya yang mancung meski dirinya selalu menganggap sebaliknya, tubuhnya pendek hanya 5 cm lebih tinggi dari Ayska. Elmira Trivania, meski namanya tersemat 'tri' yang selalu menandakan anak ketiga, tapi Elmira merupakan anak perempuan pertama dikeluarganya. Hari-harinya dihabiskan dengan menjual makanan box untuk menjamu sebuah acara, mungkin bisa dibilang usaha catering kecil-kecilan. Seperti sekarang, mereka tengah makan dengan ayam goreng, tahu, tempe, sambel, dan lalapannya. Sisa dari pesanan hari ini.

Sementara di sampingnya adalah Arash Savian Sagara. Laki-laki berkulit kecokelatan, menurut Ayska wajah kakaknya sangat mirip dengan Elvira versi laki-laki, meski tidak jarang orang-orang selalu mengatakan dirinya lebih mirip dengan almarhum Gema. Tubuhnya yang selalu disebut-sebut tinggi oleh Elvira jika dibanding dirinya, Arash memang jauh lebih tinggi. Namun menurut Ayska, Arash adalah laki-laki yang cukup pendek jika dibandingkan dengan teman sebayanya. Arash merupakan sarjana pendidikan bahasa inggris, hari-harinya ia habiskan dengan mengajar anak-anak di sekolah. Ia sangat berharap untuk menjadi sipir, meski pernah mencobanya namun gagal, rasanya ia akan mencobanya lagi nanti.

“Hari ini yang pesan makanan banyak Ma?” Arash memecah keheningan yang tercipta sejak beberapa menit yang lalu.

“Alhamdulillah banyak Kak” perasaan syukur selalu melekat pada hatinya, meski terkadang air matanya luruh juga.

“Kalau Kakak sudah PNS, Mama gak perlu capek-capek jualan lagi. Ayska juga nanti kalau masuk kuliah tidak perlu khawatir tentang uang jajan ya” perkataan yang selalu Arash ucapkan, Elvira hanya tersenyum diam-diam mengamini. Meski Elvira tersadar bahwa kesehariannya menjual makanan box masih menjadi hari-hari yang panjang

Menurut Ayska, Elmira adalah ibu paling hebat yang pernah ia temui. Meski ia pernah diam-diam membenci sosok yang telah melahirkannya itu, tidak berlangsung lama sampai akhirnya ia tersadar bahwa Elmira menjalani hidup dengan peluh dan lelahnya yang tidak pernah usai. Karenanya Arash dan Ayska bisa berada di dalam rumah yang disekat oleh tembok, bukan lagi anyaman dan tembok yang setinggi lutut anak kecil.

Siapa sangka lulusan SD bisa melahirkan sarjana, itulah Mamaku, begitu kata Ayska ketika memuji ibunya di depan teman-temannya. Tidak malu-malu ia mengatakan bahwa ibunya adalah perempuan tercantik di dunia, perempuan yang paling hebat dihidupnya. Ia bahkan tidak malu-malu untuk memeluk dirinya di depan sanak saudara atau saat berdua sekalipun, tidak peduli mereka akan bilang bahwa Ayska adalah anak yang manja, ia hanya ingin mengungkapkan perasaan sayang yang begitu dalam dengan caranya sendiri.

“Sekolah aman?” Cukup pertanyaan langka yang bisa keluar dari mulut Arash, menurutnya ia hanya bertanya tidak akan bertindak apapun.

“Aman” Ayska tidak terlalu menganggap pertanyaan Arash begitu penting, ia menanggapi sewajarnya saja.

Arash hanya mengangguk mengiyakan, ia mulai kebingungan dengan sikap Ayska yang semakin hari semakin dingin, padahal Ayska adalah adik Arash yang paling jahil sampai emosi Arash tak terkendali.

“Sasa kenapa?” Ayska cukup terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Arash, Kakaknya.

“Gapapa, emang kenapa?” Menurutnya, Arash seperti merasa aneh dengan sikapnya yang sekarang.

“Ada masalah?” Ayska hanya menggeleng, “ceritalah kalo ada masalah bukan diem.” Terselip sebuah penekanan di akhir kalimatnya, Ayska hanya tersenyum miris.

Padahal, ia tak pernah absen mengenai kebiasaannya. ‘Bukan cuman kamu yang punya masalah di sini, so merasa paling sedih aja sih kamu. Coba kalo di posisi Kakak, kamu belum tentu bisa kalo cuman gitu aja udah  nangis.’ Begitu kata Arash ketika Ayska tidak bisa menahan air matanya lagi, selalu begitu ketika ia tidak sengaja melihat adiknya mendekam di kamar menangis pelan.

Entah apa yang dipikirkan Arash, Ayska tidak mengerti dengan jalan pikirannya.

AYSKA & BOM WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang