Anelis

2 1 0
                                    

Langit hitam nan gelap tanpa kelap-kelip bintang seperti tengah bercengkerama dengan Ayska yang juga melihat ke arahnya sembari duduk di lantai beralaskan kayu jati, udara dingin menusuk-nusuk pipinya yang sudah tidak setembam dulu. Ayska menggulung tubuhnya dengan selimut yang disiapkan Aileen, sementara di samping ada secangkir kopi yang serupa dengannya bersamaan dengan selimut, sang pemilik tengah mengambil sesuatu ke dalam rumahnya.

“Gue bawain cemilan nih” Aileen datang dengan beberapa makanan sembari menunduk, pasalnya atap rumah pohon miliknya tidak dibuat tinggi.

Besok adalah hari minggu, Ayska ingin melewati malam minggunya dengan suasana berbeda seperti sekarang ini. Ini adalah pertama kalinya Ayska menginap dan pertama kalinya juga Elmira mengizinkan. Asal jangan macam-macam ya. Itu kata Elmira saat putri kecilnya meminta izin, tidak perlu persetujuan Arash karena menurutnya yang bijak yang berhak menentukan kehidupannya.

“Tumben nyokap lo izinin” Ayska hanya mengangkat bahu acuh, tidak tahan membiarkan cemilan nganggur ia melahapnya dengan nikmat.

“Bang Arash izinin?” Aileen penasaran, sementara yang ditanya tidak berkutik karena sibuk dengan cemilan yang sengaja ia bawakan.

“Emang perlu izin Bang Arash?” mendengar itu Aileen hanya menarik napas dalam-dalam, tidak ingin melanjutkan rasa penasarannya kemudian memilih ikut menyerbu cemilan.

Aileen berencana untuk mengajak Ayska bermain di taman kota besok pagi, tidak ada penolakan sebab Ayska akan dengan senang hati mengiyakannya untuk berkelana kemana pun. Menurutnya, di luar rumah selalu menjadi hal yang paling menyenangkan ketimbang diam di dalam rumah. Senyum Aileen mengembang mendengar persetujuan Ayska.

“Lo tahu kabar Helen?” entah apa yang mendorong Ayska untuk menyebut nama itu lagi, setelah dua tahun lamanya Helen tidak pernah ada lagi di kehidupan Ayska.

“Dia baik” berbeda dengan Aileen, ia tahu bagaimana kabar Helen sekarang. Mereka berdua masih berteman baik meski hanya sesekali saling bertukar kabar. “Kenapa?” sambungnya lagi.
Ayska hanya menggeleng pelan, masih terus lekat diingatannya tentang Helen. Setengah dari masa SMP ia habiskan dengan bersahabat bersama Helen, sangat dekat sampai Ayska merasa bahwa Helen hanya boleh bersahabat dengannya seorang. Menurutnya, dengan Helen ia bisa mengobati semua rasa kehilangan dan mampu mengobatinya dari haus kasih sayang seorang ibu.

“Gue punya nomor Helen” mendengar itu Ayska hanya terkekeh pelan, menggelengkan kepala sebagai jawaban.

“Gue udah ngabisin waktu dua tahun buat sembuhin semuanya, lo tahu itu Leen” Aileen melihat lekat-lekat sorot mata Ayska, ia tahu betul semuanya belum berakhir. Ayska masih terus saja susah payah menetralisir semua yang sudah terjadi, menurutnya perselisihan Helen dengan sahabatnya tidak berkaitan dengan pertemanannya dengan Helen.

***

“Siap?” Ayska mengangguk dengan penuh semangat, menghirup dalam-dalam udara yang dingin di pagi ini.

Kami menerjang jalanan kota dengan wajah yang berseri-seri, sepeda motor matic putih melaju dengan kecepatan rata-rata. Ayska selalu menjadikan baligo yang banyak terpanjang di setiap sisi jalanan sebagai bahan bercandanya, seperti baligo seorang ibu mengangkat bayinya dengan gembira

“Baligo itu kayaknya udah ada setahun gak sih?” Aileen hanya mengangkat bahu tidak tahu, “kuat juga ibu-ibu itu angkat bayi segitu lamanya” Ayska langsung saja tertawa terbahak-bahak seperti diberi pertunjukan lucu di depan matanya. Aileen hanya diam tidak tergerak untuk tertawa, menggelengkan kepala merasa aneh mengapa sahabatnya bisa tertawa, terbahak-bahak pula.

Sepanjang perjalanan terus saja begitu, Ayska sibuk menertawakan setiap baligo yang dilewatinya sementara Aileen sibuk mencari tahu di mana letak lucunya.

AYSKA & BOM WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang