Pintu dari kayu yang telah usang itu kini terbuka lebar, setiap pergerakan pintunya mengeluarkan suara disusul dengan suara langkah yang tidak begitu kentara, menampilkan Sean dengan seragamnya yang tak karuan, ujung lengan bajunya sengaja digulung. Laut yang dalam begitu pas menggambarkan raut wajahnya, tidak ada yang bisa menebaknya akan pasang atau surut, tidak ada yang bisa menebak kedalamannya dengan sekali lihat. Tidak ada yang tertarik untuk sekedar menyelam melihat keindahan batu karang, sebab di keramaian ia seperti pasir di tepi pantai yang tidak memiliki kedalaman. Pasir yang terdiri dari serpihan buliran yang semakin hari semakin menampakkan warnanya, entah terseret ombak atau tidak orang-orang hanya melihat bahwa pasir di tepi pantai masih terus saja setia berada di sana bahkan seringnya hanya sebagai tempat berpijak sedang yang dinikmati adalah air yang nan jauh di sana, tanpa peduli kedalamannya yang menakutkan itu. Sedangkan temannya berjalan mengikuti Sean dari belakang. Sumringah terpancar sembari menatap punggung Sean yang terus berjalan menghampiri motor matic-nya dengan langkah yang tenang, menyunggingkan sebagian bibirnya ketika Sean melihat ke arahnya.
***
"Telus 'enapa masyih ni sini?" Ia tahu betul bahwa Atha tidak sakit seperti dirinya, UKS memiliki aturan yang tidak bisa dilanggar begitu saja. Bekal dari Atha sudah dihabiskan tanpa tersisa oleh Ayska, Ia tak mengira Atha pintar masak dan selalu membawa makan setiap hari.
"Nemenin lo" manik matanya yang berwarna hitam pekat masih terus sibuk membaca buku novel sedari tadi, "lo bener Ays" lanjutnya lagi tanpa mengalihkan pandangannya.
Sementara yang diajak bicara hanya mengerutkan kening, Atha kini beralih menatap perempuan yang tengah di hadapannya.
"Lo pernah bilang, kalo novel ini menarik" ujarnya sembari mengangkat buku novel yang Ia baca, "gue sampe baca tiga kali dan sekarang untuk ke empat kalinya" kali ini ia menampilkan deretan giginya, tapi Ayska menerawang jauh tentang buku yang digenggamnya.
"Kira-kira menurut Sagara lebih menarik yang mana?"Ayska menunjuknya asal.
"Nan lo pangil ngue Syangala" kali ini Ayska membalaskan dendamnya, menyentil dahi Atha kuat-kuat membuat sang empu meringis kesakitan.
"Sorry, gue gak tau nama lo" ujarnya sembari mengusap dahinya yang masih terasa sakit, diam-diam ingatannya menyusuri hari itu. 'Ayska S. Sagara' nama yang ia lihat kala itu, sedetik kemudian terbesit sebuah ide di kepalanya, "gimana kalo lo nanti temenin gue ke toko buku?" alisnya terangkat sebagian, siapapun yang melihatnya kentara sekali kalau Atha berharap Ayska tidak menolaknya.
"Manfaatin ngue celitanya'?" mendengar itu Atha menggeleng pelan.
"Pokoknya lo harus temenin gue, dan gue gak peduli pikiran buruk lo tentang gue" Ayska hanya diam, padahal Ia hanya ingin tahu mengapa Atha ingin mengajaknya. Ia ingin dirayu seperti cerita-cerita di novel.
Detik berikutnya, keduanya sama-sama hening, tidak ada pembicaraan melainkan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Atha dengan imajinasinya bersama buku novel pilihan Ayska, sementara Ayska sibuk menimbang-nimbang tentang pertanyaannya yang berenang dikepala sejak kemarin. Berkali-kali melirik laki-laki dengan rambut ikal di sampingnya itu sembari berpura-pura sibuk dengan benda ditangannya, Atha melarangnya untuk memainkan gawai untuk mengurangi rasa pusingnya sebagai gantinya Ia diberikan balpoin untuk dimainkan.
"Mau tanya syesyuatu' nong, boleh?" mendengar itu, Atha hanya berdehem pelan tanpa mengalihkan pandangannya. "Lo emang syu'a bena ngitu ya antala ngomong langsung nan ngomong lewat telepon?" kedua alisnya terangkat tanpa melihat sosok yang di sampingnya kini, pertanyaan Ayska keluar dengan terbata-bata, pasalnya Ia ragu untuk mengatakannya dan benar saja Ia merasa menyesal telah melakukannya ketika menyadari senyum Atha di bibirnya yang sulit diartikan meski matanya masih tertuju pada novel. Lesung pipitnya menggoda Ayska untuk ikut tersenyum, sejujurnya Ia merasa tergelitik dengan pertanyaan konyol itu, namun Ia tak suka menjalani hari dengan rasa penasaran.
"Kalo lo temenin gue ke toko buku, lo akan tahu jawabannya" lagi-lagi tanpa mengalihkan pandangan, Atha masih saja terus mengulum senyum. Tidak tahan dengan pemandangan tersebut, sebelum jantungnya benar-benar melepaskan diri, Ayska menyentil dahi Atha untuk kedua kalinya.
Sontak saja manik matanya beralih kepada perempuan di depannya, matanya membesar tidak percaya dengan apa yang dilakukan padanya baru saja. "Melhenti senyum-senyum" begitu katanya, Atha menantap Ayska membuat tawanya terhenti mengambang di udara. Dahinya lagi-lagi mengerut dengan bingung, menduga-duga bahwa Atha akan melakukan sesuatu padanya, detik berikutnya Atha mengulum senyum. Menyadari itu Ayska akan hendak menimpuk wajah tampan miliknya, tapi Atha berhasil menahan tangan mungil Ayska untuk melancarkan aksinya.
Atha beranjak dari duduknya, menghentikan kegiatan membacanya dengan menaruh novel di atas nakas. Sementara tangannya yang lain masih menahan tangan Ayska, Ayska seperti kambing yang dicocok hidungnya. Atha bangkit menyesuaikan Ayska, manik matanya masih terus saja memandang manik mata Ayska yang hitam kecokelatan itu. "Salting lo jelek" mendengar itu Ayska langsung saja menghempaskan tangannya dari genggaman Atha, "mialin" ujarnya sembari menjulurkan lidah, melihat itu Atha menggeleng pelan. Menurutnya, Ia seperti berbincang dengan anak kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYSKA & BOM WAKTU
Teen FictionJika belia belum cukup mampu merasakannya, maka kelak dewasanya akan menyimpan banyak luka. Bahkan lukanya lebih dari apa yang dibayangkan. Kelak kau akan mengerti. Ayska : Yang kurasakan sekarang ini apa namanya? Ini bukan duniaku, pasti ada dunia...