SI KECIL KEBINGUNGAN

3 1 0
                                    

“Ayska” menepuk pelan pundak seseorang yang sibuk memainkan benda dengan warnanya yang acak, sibuk memutar ke kanan kiri dan atas bawah, Ayska memiliki hobi memainkan rubik 3x3 sejak pandemik mulai menggelapkan harinya.

Yang dipanggil hanya bergumam pelan, “ke kantin yuk” Medina berharap setelahnya hubungan mereka akan mencair setelah beberapa jam yang lalu fokus dengan dirinya masing-masing. Ayska hanya menggeleng.

“Mau ke perpus” jawabnya singkat, meski suara Ayska seperti trompet yang bocor, tapi sejauh ini Medina masih mengerti tanpa harus Ayska mengulanginya lagi.

Mendengar itu harapannya pupus untuk bisa lebih dekat dengan Ayska, ia tahu betul ini bukan hal mudah. Medina hanya tersenyum kemudian berpamitan hingga akhirnya melenggang pergi.

Membiarkan Medina pergi seorang diri, Ayska tahu ia mudah bergaul dengan siapa pun, datang seorang diri ke kantin sudah bisa dipastikan kembali dengan teman di kanan kirinya. Merogoh tas mengeluarkan buku diary kesayangannya,  membiarkan rubik tersimpan di dalam tas. Segera pergi menuju perpustakaan, lagi.

Sepanjang koridor sekolah cukup lenggang karena mereka cepat beralih ke kantin, menyisakan beberapa orang yang tengah berbincang. Jalannya yang cepat seperti tidak mau kehabisan jam istirahat, sesampainya di depan perpustakaan ia langsung melepas sepatunya dan menaruhnya di rak yang telah disediakan.

Mengisi daftar pengunjung, rupanya sedikit sekali yang berkunjung ke perpustakaan hari ini. Namanya ia tulis di urutan ke 8, tidak peduli tentang berapa banyak pengunjung yang memilih datang ke sini. Ia menyusuri setiap rak buku mencari buku novel yang kiranya menarik untuk dibaca, setelah itu memilih duduk di sudut ruangan. Ayska merasa harus menjaga raut, tingkah, dan belum lagi harus tersenyum jika ia memilih duduk di tempat yang biasa orang-orang berlalu lalang. Ingin menikmati bukunya dengan kesendirian, dengan duduk di sudut ia tak perlu menjaga sesuatu yang bisa membuatnya cepat kehabisan energi sosial.

Di tengah-tengah bacaannya ia mulai teringat dengan buku diary yang sengaja dibawanya ke perpustakaan, ia menutup buku novelnya dan kemudian beralih membuka buku diary. Bukunya yang bersampul biru langit dengan hiasan awan seperti menggambarkan langit sungguhan, betapa Ayska menyukai langit biru dengan sedikit tambahan kapas di nuansa biru itu. Langit tidak pernah menjelaskan betapa tingginya ia sekarang tapi seisi dunia tahu bahwa dirinya begitu tinggi. Hujan, bintang, bulan, awan hitam atau putih, langit selalu kembali biru, ia harap-harap besar bisa menjadi manusia yang akan tetap tersenyum meski kehilangan membabi buta merenggut semuanya yang istimewa. Begitu kata Ayska pada buku diary nya di halaman pertama.

Membuka halaman selanjutnya dengan acak. Tiba-tiba saja secarik kertas terjatuh ke bawah meja, mengambilnya dengan penuh penasaran.
Mama ke mana? Kenapa setelah naik  mobil merah Mama tidak pernah kembali? Mama gak sayang lagi sama Ays ya, terus kenapa orang-orang selalu bilang supaya Ays selalu sabar?

***

2010

Di sebuah rumah yang masih beralaskan tanah cokelat dengan  permukaannya yang tidak rata, berdiri sebuah tas hitam panjang hasil pinjam dari saudara. Tas itu seperti sudah siap untuk dibawa entah ke mana, Bapak dan Mama yang saling berpelukan dengan air matanya yang mengalir deras tak tertahan, laki-laki berkulit cokelat dengan tubuhnya yang terbilang mungil masih berusia 11 tahun seperti tengah menatap nanar pasangan yang tengah mencurahkan kesedihannya dalam keheningan.

“Abang jagain Ays ya nak” tangisnya pecah tatkala Elmira memeluk anak sulungnya kuat-kuat, memberi segala nasihat yang baik untuk dirinya.
Beralih memeluk putri kecilnya yang berkulit putih dengan matanya yang sipit, Elmira seperti tengah berkaca ketika melihat wajahnya yang kebingungan. Hatinya tak kuasa ketika harus meninggalkan putri bungsu yang masih berusia  6 tahun, hatinya hancur melihat matanya yang bertanya-tanya mengapa ia dipeluk begitu erat. Hidungnya kembang kempis menahan isak tangisnya yang membuncah, tangannya semakin lemas tak tertahankan, langkahnya terasa berat ketika melihat suami dan kedua anaknya tengah berdiri menyaksikan kepergiannya yang disemogakan baik. Melambaikan tangan sebagai jeda dari pertemuan untuk dilanjutkan beberapa tahun ke depan.

Elmira masuk ke dalam mobil berwarna merah dengan stiker ukiran hitam sebagai variasi bagian samping mobil. Mobilnya menghilang di persimpangan jalan, Ayska mendongak ke arah Gema yang masih saja menitikkan air mata melepas kepergian sang kekasih yang merupakan teman hidupnya kini.

Gema mengajaknya untuk kembali ke rumah. Ayska berjongkok di halaman kecil depan rumahnya tanpa pagar yang langsung menembus ke jalan setapak, bermain tanah menjadi kebiasaannya setiap hari. Ia masih kebingungan tentang mengapa Elmira harus menaiki mobil merah itu, dadanya seperti sesak ditimpuk sesuatu.

“Eh Kang, Elmira sudah berangkat?” Bu Endah adalah tetangga kami, teman dekat Elmira. Memanggil Gema dengan sebutan Kang sudah menjadi kebiasaan di kampung mawardi, laki-laki memang sering disebut seperti itu.

“Sudah Teh” Gema menjawabnya dengan anggukan kepala sembari tersenyum sopan.

“Duh gapapa ya Ays Mama pergi, nanti pulang pasti bawa oleh-oleh yang banyak. Ays mau apa tinggal beli, sabar ya Ays” mendengar itu air matanya mulai keluar meski tertahan di kelopak mata, seperti mengerti bahwa Elmira akan pergi dengan waktu yang lumayan lama. Gema hanya terkekeh hingga akhirnya Bu Endah melenggang pergi, membiarkan Ayska yang masih terus bermain tanah dengan kepalanya yang menunduk.

Air matanya luruh ketika Gema mulai memasuki rumah, ia terdiam ketika tahu air matanya luruh juga. Merasa tidak ada yang harus ditangisi, mengerti Elmira pergi tidak membuatnya lantas merengek meminta penjelasan. Ia hanya diam.

***

“Ayska” ia terkejut dikala seseorang menepuk bahunya pelan, mendongak melihat siapa yang menghampirinya sampai ke sudut ruangan perpustakaan.

“Kenapa?” pertanyaan itu berhasil membuat Ayska mengerutkan dahinya, “kok nangis?” mendengar itu ia langsung menyentuh sudut matanya yang ternyata memang benar basah. Mengusapnya dengan cepat lalu menggeleng dengan cepat sebagai jawaban.

“Jangan sendirian terus, kumpul sama yang lain” Ayska hanya tersenyum. Dering telepon miliknya seperti berpihak kepada Ays, sesaat setelah melihat layar handphone ia langsung berpamitan dan melenggang pergi. Bergabung dengan temannya yang menunggu di luar perpustakaan.

“Udah ngembaliin bukunya?” tanya salah satu temannya, hanya mengangguk sebagai jawaban.

Rania Karlova, perempuan berkulit kecokelatan dengan rambutnya yang hanya menyentuh bahu. Tingginya 5 cm lebih tinggi dari Ayska, siswi terpintar di kelas 12 IPA 3. Tidak terlalu akrab dengan semua orang meski sebenarnya ia telah mengenali sebagian dari 12 IPA 3, karena hampir sebagian dari kami berasal dari lulusan yang sama seperti Rania. Mereka akan mengakrabkan diri dengan Rania agar mudah menyalin tugas, Rania yang sulit berkata tidak hanya bisa menyerahkan buku tugasnya dengan pasrah.

Ayska merasa harus segera pergi ke toilet umum yang berada di dalam perpustakaan, membasuh mukanya untuk menghilangkan jejak air mata yang mengering. Memandang ke arah cermin yang memantulkan dirinya, matanya sayu senyumnya sudah lama menghilang. Menatap dirinya kasihan karena seringnya dunia berlaku tidak adil, menatap dalam-dalam manik matanya mulai menampilkan dirinya yang begitu payah untuk menghadapi dunia yang fana ini.

Drrtttt, handphone nya bergetar. Ia sempat mengalihkan ke mode getar sebelum akhirnya masuk ke dalam perpustakaan agar tidak mengganggu orang lain. Menampilkan telepon dari Medina, kami sudah saling menyimpan nomor untuk memudahkan tugas kelompok yang mengharuskan membuat grup diskusi pada saat pandemik.

“Cepet, ada ibu Wuri dateng” suara itu terdengar dari seberang sana, merasa Medina tidak perlu jawaban. Ayska langsung menutupnya sepihak dan bergegas keluar dari toilet umum.
Melewati rak-rak buku yang begitu menggoda untuk dihampiri. Isi pikirannya mulai terbayang sosok Bu Wuri guru Sastra Inggris yang berada di dalam kelasnya, merasa harus cepat sampai daripada terus mengira-ngira hukuman apa yang akan diterima.

Tidak sempat memperhatikan keadaan sekitar, lajunya semakin cepat saat akan melewati pintu perpustakaan, sudah terbayang akan lari secepat mungkin setelah berhasil memakai sepatu. Tapi naas, dirinya jatuh tersungkur akibat beradu dengan laki-laki saat di ambang pintu. Tangan dengan kulitnya yang putih dengan jam tangan hitam melingkar pas di lengan kirinya yang terulur di depan wajah Ayska, melihat itu ia tidak menghiraukan uluran tangan laki-laki tersebut melainkan cepat bangkit dan melanjutkan langkahnya secepat yang ia bisa.

AYSKA & BOM WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang