SELALU BERIRINGAN

2 1 0
                                    

3 Bulan yang lalu adalah hari yang paling memilukan untuk Arash tapi membahagiakan untuk Ayska, hari kematian Gema. Orang-orang sibuk menatap kasihan pada Ayska, sementara gadis menuju remaja itu tertawa riang bersama para sepupu. Tidak ada yang menaruh curiga padanya kecuali salah satu guru sekolah yang meyakini bahwa kehilangan seorang ayah adalah yang paling menyakitkan untuk putri sekecil Ayska, memeluk erat dengan sangat kasihan membuat Ayska kebingungan mencari cara agar pura-pura terlihat sedih. Ironisnya, Ayska tidak merasa ada sesuatu yang hilang.

“Ays” teriak seorang wanita tua sembari membuka pintu kamar Ayska. “Sudah makan?” Ayska hanya mengangguk, sedetik kemudian langsung berbalik sembari menutup pintu.

Ayska sering menyebutnya dengan sebutan Nenek, perempuan berusia 83 tahun yang masih kuat untuk berjalan adalah Ibu dari Gema. Hidup dari gaji  pensiunan suami yang sudah meninggal sejak 17 tahun yang lalu kemudian memiliki 10 keturunan dan hidup dengan keluarga dari salah satu anaknya, kini harus menjaga kedua anak yang sementara hidup tanpa kedua orang tua.

Merasa bosan terlalu lama berdiam diri di dalam kamar, Ayska memutuskan untuk menghabiskan hari Minggunya di ruang tamu, sungkan jika harus menyalakan televisi ia memilih memandang lingkungan luar dari balik jendela. Matanya terpaku melihat lalu lalang Ibu dan anak yang saling bercengkerama sembari berjalan melewati rumah nenek nya ini.

“Ays ada tamu, ke kamar dulu” seperti sebuah informasi, tapi nyatanya ini adalah perintah. Mendengar itu Ayska merasa tidak adil, dirinya lebih dulu menempati kursi ruang tamu tapi mengapa ia harus selalu mengalah. Enggan terus mengalah ia tetap tidak beranjak dari kursinya, tidak peduli dengan wajahnya yang merah padam dicampur malu karena ternyata tamunya melihat keberadaan Ayska.

“Hai, kamu adiknya Arash ya?” mendengar itu Ayska hanya mengangguk, melihat Arash yang susah payah menahan rasa malu seperti enam tahun yang lalu, Ayska memilih untuk pergi menutup pintu kamar keras-keras.

Terdengar perbincangan yang Ayska tidak mengerti, orang dewasa sulit dimengerti. Begitu kata Ayska ketika ia merasa bahwa Arash tidak peduli dengan perasaannya. Untuk mengusir rasa bosannya ia memainkan handphone yang diberikan Elmira saat menjemputnya dari bandara 2 bulan yang lalu, tidak begitu mengerti dengan sosial media ia memilih bermain game yang sudah diinstal oleh sepupunya, Ayska hanya tahu bermain sebab ini kali pertamanya mendapatkan benda pipih yang canggih. Sementara sepupunya dua tahun lebih dulu.
Tuk... Tuk... (suara pintu)

“Kakak boleh masuk? Mau kenalan sama anak cantik” mendengar suaranya yang lembut justru membuatnya takut, dengan mendengarnya saja ingatannya langsung berkelana, bagaimana kalau Bang Arash marah karena pintunya dibuka tapi bagaimana kalau lebih marah pintunya tidak dibuka, gumamnya pelan. Menimbang-nimbang dengan waktu yang cepat, ia memilih membuka pintunya perlahan kembali duduk di kasur melanjutkan bermain game.

“Boleh masuk?” Ayska hanya mengangguk, perempuan itu duduk di tepi kasur tersenyum melihat tingkah anak menuju remaja yang ada di hadapannya. “Kenalin, nama aku Anelis”, mendengar itu Ayska kehilangan awal katanya untuk menyebutkan namanya akibat gugup bertemu dengan orang baru.

“Ayska” akhirnya berhasil mengatakannya meski sebelumnya sempat kesusahan.

“Bang Arash lagi pergi kok” seperti tahu apa yang dipikirkan oleh gadis dihadapannya kini, Anelis berbohong tapi Ayska mempercayainya. “Sekarang Ayska kelas berapa?”

“Satu SMP” Ayska jawab singkat, Anelis mengangguk pelan.

“Kak An punya buku novel lho, Ayska mau baca gak?” tangannya merogoh tas kecil mengeluarkan buku novel yang tidak terlalu  tebal dan besar, sehingga bisa disimpan di tas sekecil itu. Melihat Ayska yang menggeleng pelan ia tak kehabisan akal untuk mendekati Ayska, “tapi ini seru lho, ceritanya soal persahabatan”

Mendengar itu Ayska langsung mengalihkan pandangannya dari handphone, Ayska tidak pernah membaca buku novel, tapi saat mendengar kata persahabatan ia langsung tergerak untuk mengambil bukunya. Anelis tersenyum melihat Ayska menatap lekat-lekat sampul buku yang menarik untuk anak seusia Ayska, matanya melihat ke sana kemari bukan melihat buku tapi seperti mencari ide.

“Kenapa?” Anelis menyadari perubahan Ayska, takut jikalau Ayska mengembalikan novelnya dan berpikir ulang untuk berteman dengannya.

“Mau pinjem bukunya boleh?” pertanyaan itu berhasil membuat napasnya menjadi lega, mengangguk kuat-kuat membuat Ayska tersenyum senang.

Sejak itu keduanya menjadi dekat tanpa sepengetahuan Arash, Ayska seperti menemukan sandaran yang baru karena berada di dekatnya ia merasa sangat nyaman dan berharga. Setiap malam ia selalu menceritakan bagaimana harinya berjalan, tentang banyak masa lalu yang isinya hanya tentang pembullyan, tentang isi kepala yang banyak pertanyaan mulai terjawab satu persatu melalui Anelis. Siapa yang dapat menduga bahwa Anelis dengan kedatangannya membawa warna, membawa cahaya di saat Ayska belum mengerti tentang cahaya, memberi kehangatan di saat Elmira belum mampu memberikannya karena keadaan.

***

Anelis kembali dengan dua ice cream di tangannya, matanya tak henti-henti mengingatkan Ayska tentang betapa penyayang sosok yang ada di depannya itu. Tak ingin menghabiskan waktu dengan mengingat masa lalu, ia ingin menghabiskan harinya dengan Anelis.

Di tempat yang berbeda, tidak jauh dari Anelis dan Ayska. Aileen menatap bahagia ke arah mereka, menurutnya Ayska seperti merasa hidup jika tengah bersama sosok yang bisa ia jadikan sandaran, setidaknya hari ini untuk hari-hari yang panjang.

Tak ada yang bisa mencegah rasa ingin membahagiakan seseorang di saat melihat air matanya jatuh, senyumnya hilang. Tak ada yang sanggup menahan diri melihat sahabatnya rapuh seorang diri. Aileen dengan segala caranya untuk membahagiakan Ayska.

“Jadi gimana ceritanya?” Ayska tidak sabar ingin tahu bagaimana Aileen merencanakan ini semua, tak pernah menyangka sahabat yang terlihat cuek itu memiliki ide segila ini, Ayska saja tidak pernah memiliki keberanian untuk melakukannya, mengingat masa sudah beralih dan tak sama lagi.

Anelis mulai menjelaskan dengan panjang lebar. Siapa yang tidak tahu instagram Anelis, meski begitu Aileen berhasil menemukannya dari daftar pengikut instagram Ayska. Enggan membuang waktu, ia langsung mengirim pesan singkat merencanakan pertemuan minggu depan di taman kota. Menurut Anelis, ia butuh untuk bertemu setidaknya satu hari untuk hari-hari yang panjang, mengingat kehidupannya yang tengah ia jalani sekarang tidak banyak memiliki waktu luang seperti kehidupan sebelumnya.

“Terus si kecil?” terlintas dibenaknya tentang sosok lain yang menyerupai sosok dihadapannya, pipinya tembam dengan mata yang bulat. Kedua sudut bibirnya selalu tergerak menciptakan lengkungan bibir tatkala melihat perkembangannya dari media sosial.

“Di rumah” jawabnya singkat, Anelis tidak pernah tahu bahwa Ayska sangat menyayanginya meski ia selalu kebingungan jika harus bermain dengan anak kecil. Semua orang akan mengatakan Ayska tidak menyukai anak kecil. Menurutnya, semua anak kecil butuh diajak bicara dan ia sulit melakukannya.

Keduanya tidak henti-hentinya tertawa, saling menceritakan kehidupan masing-masing. Mereka seperti di dalam gelembung waktu, menikmati waktu seolah tidak cepat berlalu, serasa dunia hanya milik kakak beradik itu. Tidak ada yang tahu pasti tentang kedalamannya, seberapa berharganya untuk satu sama lain.

***

“Kakak pulang dulu ya sayang, jaga dirimu baik-baik. Sekrang kan udah besar, kamu harus lebih dewasa menghadapi dunia yang keras ini. Kakak harap Ayska bisa menjadi anak yang baik, membanggakan untuk orang-orang tersayang Ayska.” Air mata ini kembali luruh, memeluk erat dirinya. Ingin sekali menceritakan bahwa dirinya tidak sekuat itu. Dunia ini terlalu keras untuk ia yang lemah. Terlalu sarkas untuk ia yang tidak pandai membendungnya dengan baik.

Menatap kepergiannya dengan sangat pilu, mengapa harus terjadi begitu cepat? Seperti tidak mengizinkan ia untuk bahagia sedikit lebih lama. Aileen datang dari belakang, merangkul pundak Ayska erat. Bersandar di pundaknya adalah pilihan yang baik untuk saat ini, ia hanya akan berhenti berpura-pura di hadapan Aileen. Memang benar, bahagia dan sedih selalu beriringan.

AYSKA & BOM WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang