"Kenapa lo?" Pertanyaan itu selancar tangannya yang bergerak menyentuh dahi Ayska, membandingkannya dengan suhu dahi miliknya.
Sudut bibirnya tidak tahan untuk tersenyum, demi menjaga harga diri, ia berhasil menahannya. Ayska segera menghempaskan tangannya demi menyelamatkan irama jantungnya yang semakin detik semakin tidak karuan, darahnya seperti mengalir lebih kencang. Ayska terbangun dari tidurnya, menyambar gelas yang berada di nakas.
"Haus?" Ayska tidak menghiraukan pertanyaan itu, "tapi itu punya gue Ays" Ayska tersedak, matanya melotot melihat gelas yang baru saja ia minum. Ia hampir lupa tentang gelasnya, padahal milik Ayska menggunakan cangkir bukan gelas plastik dan sedotan seperti yang ia genggam saat ini, ia teringat sesuatu.
"Kenapa gak bilang?" Alih-alih meminta maaf, Ayska malah memarahi Atha atas kecerobohannya.
"Lo gak bilang mau minum."
"Tapi kan lo bisa jauhin gelas punya lo dari gelas punya gue"
"Emang kenapa si kalo lo minum punya gue?" Mendengar itu, pipi tembamnya berubah menjadi kemerah-merahan. Melihat reaksi Ayska yang menggelitik isi perut Atha, ia tertawa seperti paham apa yang Ayska pikirkan.
"Yaelah pikiran lo kotor juga ternyata, gak nyangka gue. Kirain Ayska itu polos" telunjuknya menyentuh hidung Ayska, perbincangannya terhenti di saat mata keduanya saling bertemu. Sudut bibir Ayska tidak tertahankan lagi, ia tersenyum ketika melihat bibir Atha tersenyum lebih dulu.
Ayska memutuskan pandangannya, ia merasa sangat kebingungan tentang sesuatu yang baru saja terjadi. Pasalnya, ia tidak pernah melihat mata laki-laki sedekat itu. Sementara, Atha masih saja terus tersenyum melihat Ayska yang mulai kebingungan, ia begitu yakin Ayska yang dihadapannya adalah perempuan yang belum sadar akan sesuatu yang menarik dari dirinya.
"Udah, gak usah bingung. Gue bawa makanan buat lo, dimakan ya" Atha membawa makanan yang ia buat sendiri. Membuka makanannya sembari melirik ke arah Ayska yang tengah memperhatikan pergerakan Atha.
"Nih, tapi lo gausah berharap disuapin kaya di film-film, lo punya tangan sayang kalo gak digunain" lanjutnya lagi berhasil membuat kening Ayska mengerut.
"Dih, siapa yang berharap begitu" Atha lagi-lagi dibuat tertawa melihat mata Ayska yang menatapnya dengan tajam. Tidak peduli dengan perkataan Atha, Ayska melahapnya dengan sangat nikmat.
Atha terkekeh pasalnya ketika melihat Ayska ia seperti melihat anak kecil, mengusap kepalanya pelan. Entah dari mana datangnya perlakuan yang ia berikan kepada Ayska, padahal ia adalah kakak laki-laki yang dibenci oleh adik perempuannya.
Sementara Ayska terdiam, melihat ke arah Atha yang terus saja mengusap kepalanya dengan tatapan yang kosong. Senyumnya mulai hilang, mulai redup seperti tertiup angin kutub utara. Entah benar atau hanya sekedar khayalan semata, Ayska merasa bahwa Atha sama seperti dirinya.
"Mau?" Ayska mengalihkan lamunannya, Atha menggelengkan kepala sembari tersenyum tipis. Beralih meminum kembali minuman yang ia beli di kantin, leluasa ia tadi memilih warung serasa kantin miliknya seorang, pasalnya semua murid sedang berada di dalam kelas melakukan kegiatan belajar.
Melihat Atha dengan santainya menyeruput minuman yang ia beli dari kantin, pergerakan makan Ayska terhenti. Mengerti apa yang dipikirkan Ayska, "Astaga, masih diinget aja Ays. Sedotannya pajang di rumah bagus kali ya, kasih keterangan di bawahnya. Perpaduan Taska, alias Atha dan Ayska" kedua tangannya mengambang di udara, membayangkan ia benar-benar memajang di tembok rumah dengan piguranya.
Mendengar itu, Ayska langsung saja mencubit pinggang Atha kuat-kuat. Tidak peduli Atha kesakitan, berani-beraninya ia membuat Ayska malu sekaligus diam-diam membayangkan juga.
***
Seseorang membuka pintu gudang yang berada di belakang sekolah, ruangan yang gelap seketika terang benderang ketika pintu itu terbuka dan menghasilkan bayang-bayang dirinya dengan tangannya membawa buku yang kira-kira berukuran A5. Mendapati kursi dan meja yang sudah tidak layak pakai, tidak perlu susah payah mencari sakelar lampu, Ia hapal betul isi ruangan ini. Menutup pintu rapat-rapat, berjalan pasti sembari membuka kacamata yang sedari tadi bertengger di pangkal hidungnya.
Kulitnya kuning langsat, rambutnya terpapas rapi, hidungnya mancung dan tidak terlalu besar, cukup sebagai penyangga kacamata yang baru saja dilepasnya. Ia tidak berbadan kekar, cenderung ramping karena efek seragamnya yang besar. Punggungnya yang sedikit terbungkuk kemudian berubah menjadi seseorang yang percaya diri dengan punggungnya yang tegap, matanya yang menandakan ketakutan kini menjadi sangar bahkan mematikan.
Memilih bangku yang dirasanya paling kuat sebagai penahan beban badannya yang tidak terlalu berat, bibirnya tersenyum sebagian ketika melihat buku bernuansakan biru itu.
"About Me", "Ayska yang malang" begitu katanya sembari meneliti setiap detail gambar buku tersebut.
Dibukanya buku itu, sudah diberi penanda menjadikannya tidak perlu susah payah mencari halaman yang ia cari. "Gue baru baca sampai halaman ini".
Yang aku rasain sekarang adalah seperti banyak hal yang harus dijadikan pertimbangan.
Kamu tahu? Ternyata seperti ini rasanya mengharapkan sesuatu, tuhan mengabulkannya di waktu yang tidak pernah kuharapkan lagi dengan perasaan dan keadaan yang sudah tidak sama lagi. Lika-liku kuhadapi saat itu, dengan balasan yang sangat tidak diinginkan, seseorang itu kembali lagi dengan sikap yang sama seperti kuharapkan dulu.
Kamu tahu? Aku bingung, entah bahagia atau sebaliknya, entah sepi atau ramai, bahkan lika-liku atau hanya sekedar lurus. Katanya, sejauh-jauhnya pasti rumah jadi tempat kembali, dia seolah mengatakan bahwa aku adalah rumahnya. Mulai dari sama-sama merasakan kehilangan, sama-sama saling merindu. Aku bahkan tidak pernah menyangka bahwa akan sejauh ini, aku tahu ini akan selalu berakhir menyakitkan tapi aku selalu merasa ini belum selesai.
Helen, aku berharap kita selalu menjadi baik kedepannya, memulai semuanya dari nol.
Drrttt
"Halo" di seberang telepon memulai percakapannya lebih dulu.
"Hmm" ia masih terfokus membolak-balikkan sebelum akhirnya menandai halama yang baru selesai dibacanya itu.
"Di mana lo?"
"Kenapa?"
"Sini dah, lo udah lama gak olah raga" mendengar itu, yang di ajak bicara bangkit dari duduknya.
Memasang kembali kacamatanya di pangkal hidung yang cukup untuk menahan si perak miliknya, tak lupa melapisi buku biru dengan sampul hitam yang sengaja dibuatnya. Beranjak pergi meninggalkan gudang yang dibiarkan tidak terawat selama 1 tahun terakhir.
"Heh cupu! Mau ke mana loh?" merasa terpanggil, Sean memenuhi panggilan dengan raut wajahnya yang penuh ketakutan.
"Ke toilet Bang" Sean tidak berani menatap seseorang yang merupakan kakak kelasnya itu, bekali-kali membenarkan kacamatanya yang tidak melorot sama sekali.
"Jangan lupa kerjain tugas gue, besok harus selesai dan lo anterin ke kelas gue. Ngerti?!" mendengar itu, Sean langsung mengangguk mengerti. Laki-laki di hadapannya menepuk pipi Sean pelan, berlalu pergi menyisakan Sean tanpa eskpresi, ketakutannya seolah luruh bersamaan dengan kepergian laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYSKA & BOM WAKTU
JugendliteraturJika belia belum cukup mampu merasakannya, maka kelak dewasanya akan menyimpan banyak luka. Bahkan lukanya lebih dari apa yang dibayangkan. Kelak kau akan mengerti. Ayska : Yang kurasakan sekarang ini apa namanya? Ini bukan duniaku, pasti ada dunia...