TAKUT

2 1 0
                                    

Tidak ada yang lebih tua daripada pohon tinggi menjulang yang menghuni taman ini sejak puluhan tahun yang lalu. Tidak ada yang lebih pandai mengatur suhu taman ini daripada pohon rimbun dengan ribuan juta helai daunnya, kesejukannya memeluk erat siapapun yang berada disekitarnya. Tidak ada yang lebih cantik daripada kembang-kembang yang bermekeran.

Lagi-lagi kesepian menjadi situasi yang paling diinginkan. Sebenarnya, tidak pernah ada yang benar-benar menginginkan kesepian, hanya saja dunia terlalu abstrak untuk diterjemahkan. Dunia terlalu tidak pantas untuk orang yang berkelainan, setiap hari dunia sama kuatnya dengan Ayska. Bedanya, dunia kuat sekali untuk mencaci Ayska, sampai-sampai setiap katanya yang menyakitkan seperti ledakan bom nuklir yang menghancurkan setiap sudut isi jiwanya. Sedangkan Ayska kuat sekali untuk meyakinkan bahwa dirinya bisa, sampai-sampai Ayska kehilangan cara untuk selalu meyakinkan dirinya.

Tidak ada yang bisa dilakukan Ayska melainkan hanya menatap sekeliling taman dengan nanar, berkali-kali menghela nafas berkali-kali juga ia mencoba untuk tidak khawatir atas kehidupannya yang membunuh jiwanya dengan perlahan. Nasib diary itu, Ayska sudah tidak tak tahu lagi.

“Ngapain lo di sini?” pertanyaan itu mampu membuat Ayska terkejut, pasalnya hanya ia seorang yang berada di taman ini. Kelas 12 IPA 3 jamnya kosong di saat kelas lain tengah mendumel tentang gurunya, Ayska hanya diam lantaran ia tahu siapa yang datang. “Gue nanya sama lo, ngapain di sini?” Kesabarannya yang benar-benar setipis tisu membuat Ayska berusaha mengontrol emosinya, Ayska bahkan tidak bisa menduga kapan emosinya akan meledak.

Memutuskan duduk di samping Ayska meski pertanyaannya lahir tanpa jawaban. Sementara Ays memilih tetap diam, kali ini mengeluarkan handphone untuk terlihat sibuk. Terdengar Atha menghela nafas, namun tidak menarik perhatian Ayska sedikit pun.

“Gue mau minta maaf atas perlakuan gue kemarin, gue harap lo mau maafin gue” Ayska tetap tidak bergeming, “Pedro  bilang kalau lo gak sengaja nabrak gue kemarin, dan seharusnya gue gak kaya gitu ke lo” kali ini Ayska memilih bangkit dan pergi meninggalkan taman.

Melihat itu Atha langsung ikut bangkit, dan “Gue gak tahu harus minta maaf dengan cara apa.” Pernyataan itu mampu menghentikan langkah Ayska yang hanya berjarak 5 langkah dari tempat Atha berdiri. “Gue adalah orang yang gak pernah minta maaf sama siapa pun, mau sesalah apapun gue. Tapi kali ini gue mau minta maaf sama lo, setidaknya lo hargain permintaan maaf gue” lagi-lagi membuat Ayska terdiam, sementara Atha menunggu sembari menduga-duga apa yang akan dikatakannya, dia pasti maafin gue begitu kata Atha dalam hati.

“Gue maafin” Ayska menjawab singkat sembari melihat ke belakang di mana Atha berdiri, tidak ada yang dikatakan lagi melainkan kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan taman dan Atha yang terdiam.

Pada akhirnya tidak ada jalan lagi selain memaafkan, meski rasa-rasanya tidak pernah mengerti arti memaafkan sesungguhnya seperti apa. Bagian mana yang bisa sembuh hanya dengan kata maaf, Ayska bahkan tidak tahu seberapa dalam lukanya.

Setelah Ayska hilang dipersimpangan jalan, Atha langsung mengeluarkan handphone dan mencari deretan nama yang dituju. Dirasa sudah menemukan, langsung saja mengklik dan menunggu suara diseberang telepon.

“Halo” Atha mendahului pembicaraan. “Gue udah minta maaf sama Ayska, dia maafin gue tapi gue rasa dia gak nyaman sama kehadiran gue.”

***

“Okey anak-anak, karena hari ini ibu memiliki keperluan mendadak sehingga ibu izin untuk tidak menemani kalian sampai jam pelajaran habis, tapi ibu ada tugas untuk kalian” baru saja seisi kelas merasa senang karena Ibu Linda tidak akan masuk kelas selama 2 jam pelajaran, seketika sirna dikala mendengar ia akan memberikan tugas. “Tugasnya adalah membaca puisi, ibu ingin minggu depan kalian sudah siap tampil di depan ya?” pertanyaan itu seketika mendapat jawaban “iya buu” dengan suara yang kurang antusias.

AYSKA & BOM WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang