Napasnya terengah sesaat. Sebelum akhirnya ia telah sampai di depan pagar sekolah. Detik berikutnya sensasi dingin menyengat isi kerongkongannya. Belum lagi irama jantung yang ikut berdetak hebat. Jarak antara pintu kelas dengan pagar sekolah bukanlah jarak yang dekat untuk ditempuh dengan jalan yang cepat. Menekan lehernya kuat-kuat agar sensasi dingin setidaknya sedikit mereda, meski terasa sia-sia tapi ia sendiri tidak mengerti harus melakukan apa.
Irama jantungnya mulai stabil setelah sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.
“Siap?” Aileen selalu menjemputnya saat pulang sekolah. Seperti sekarang ini. Sepeda motornya melaju dengan baik, berada di antara puluhan sepeda motor lainnya. Kami satu kelas saat masa-masa putih biru sebelum akhirnya sekarang kami memiliki tujuan yang berbeda untuk menempuh masa putih abu.
“Sampe kapan lo kaya tadi?” Aileen sedikit berteriak. Ia tahu bahwa Ays memiliki kebiasaan buruk.
“Maksud lo?” banyak pasang mata mengarah kepadanya. Keadaan jalan yang padat dapat mengikis jarak antara satu pengendara dengan pengendara yang lain. Hal ini memudahkan banyak telinga mendengar suaranya, suara yang bahkan dirinya saja tidak ingin dengar.
“Gue liat kali lo tadi lari-lari” Ays kalah cepat untuk sampai di depan pagar, ia bahkan sudah melihat pagar sebelum sesaat kemudian Ayska sampai dengan napasnya yang terengah-engah. Jalanan yang padat seakan menerangkan tentang Ayska yang belum juga menghilangkan kebiasaan buruknya.
“Lo tahu jawabannya” meski sebenarnya ingin sekali ia menggerakkan banyak kepala untuk berhenti melihat ke arah dirinya, melihat dengan tatapan aneh lebih tepatnya.
“Terserah deh” seperti kehabisan akal untuk menasihati Ayska. Sampai akhirnya ia pasrah dan fokus mengendarai sepeda motor.
***
Matahari setengah dari sinarnya yang tertutup oleh kapas putih seakan menyambut Ayska yang baru saja muncul dari balik pintu kelas. Ayska menjadi orang pertama yang berjalan keluar. Beberapa di antaranya masih terlibat perbincangan yang panjang. Sibuk berkutat dengan tugasnya yang tak kunjung selesai. Bu Indri selaku guru mata pelajaran matematika tidak masuk di jam-jam terakhir sekolah. Dengan segala kesibukan yang lainnya tidak lekas mengubah kebiasaannya untuk memberi tugas.
Sepanjang koridor hanya baru beberapa orang yang hendak pulang, lantaran jam pulang masih sangat awal. Seringnya mereka mengulur waktu. Langkahnya cepat dan kecil, suara sepatunya mendominasi anak tangga. Kebiasaannya sejak kecil tidak pernah hilang, menundukkan kepala sembari mengikis jarak dengan lajunya yang diusahakan cepat. Napasnya terengah mengingat semakin lajunya ia berjalan, sesaat setelah akhirnya satu persatu dari mereka mulai memutuskan pulang dan mengisi sepanjang koridor. Kegelisahan mulai menguasai sebagian dirinya, mengepalkan tangannya kuat-kuat. Menghindari kontak mata dengan siapa pun, terlebih lagi jika harus bertegur sapa. Itu hanya akan mengundang prasangka buruk, prasangka yang seharusnya mulai berangsur membaik seiring berjalannya waktu.
Sebelum bel berbunyi, handphone nya sudah lebih dulu berdering pelan. Menampilkan sebuah pesan dari Aileen yang mengajaknya pulang bersama. Selalu begitu setelah akhirnya pandemik covid-19 dinyatakan sudah berakhir mengingat dua tahun lamanya virus tersebut telah memenjarakan kami. Meski sebenarnya sekolah selalu di adakan saat kelas 11 semester akhir dengan diberlakukannya sesi, tapi Aileen baru berani untuk memutuskan pulang bersama karena kami takut membawa virus untuk satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYSKA & BOM WAKTU
Teen FictionJika belia belum cukup mampu merasakannya, maka kelak dewasanya akan menyimpan banyak luka. Bahkan lukanya lebih dari apa yang dibayangkan. Kelak kau akan mengerti. Ayska : Yang kurasakan sekarang ini apa namanya? Ini bukan duniaku, pasti ada dunia...