"Ke toko buku dulu ya" Aileen membelokkan sepeda motornya ke toko yang terlihat sederhana, bapak dengan rompi hijaunya beraksi tatkala kami datang ke kawasan yang dijaganya setiap hari. Keduanya menyukai buku meski kesukaan genrenya berbeda.
Pintu itu terbuka ulah tangan Aileen, sementara Ayska terus berdiri di belakangnya. Membeli buku bukan perkara mudah, sudah dua tahun tidak mendatangi toko buku, uang kami terkumpul selama dua tahun hingga akhirnya merasa cukup untuk bisa membeli buku walau hanya satu.
Tempat ini selalu menjadi tempat yang kurang dijamah para pengunjung, terutama anak muda yang memiliki pengaruh besar untuk masa depan negara ini. Rasa-rasanya usaha untuk meningkatkan kecintaan terhadap membaca masih belum menciptakan hasil yang signifikan, terlebih lagi digital mengharuskan generasi muda untuk lebih mendalami literasi.
Keduanya berada di rak yang berbeda, sibuk menimbang-nimbang buku mana yang akan dibeli.
"Permisi, gue mau lihat ini" mata Ayska seketika berhenti bergerak tatkala melihat sebuah tangan yang cukup kekar untuk seusianya. Ayska hampir tidak pernah melihatnya. Tidak salah ia mengurungkan niatnya untuk mengambil buku yang kini berada ditangan laki-laki tersebut. Di saat perempuan lain akan suka rela mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan sosok yang berada di sampingnya, Ayska masih dengan kebiasaan buruknya.
"Kira-kira menurut..." memperhatikan deretan nama yang melekat dibajunya, sebagian dari nama panjang itu tertutup jaket yang dikenakannya.
"Kira-kira menurut Sagara lebih menarik yang mana?" mendengar nama belakangnya disebut-sebut, ia mulai sadar akan sesuatu dan segera menutup seluruh namanya dengan jaket.
Sudah berulang kali Ayska membaca sinopsis dari keduanya, buku yang diinginkannya sejak beberapa tahun yang lalu. Keduanya menarik meski tentu ceritanya sangat berbeda. Ayska menunjuk asal, tidak nyaman mengarungi dirinya sehingga detik selanjutnya ia berlalu begitu saja.
"Thanks Gar!" ia bingung memanggil perempuan tadi dengan sebutan apa, toh Sagara masih tetap namanya. Sadar bahwa kehadirannya membuat Sagara tidak nyaman, tapi tak pernah terlintas bahwa ia akan berlalu begitu saja. Sepertinya ia tidak datang sendiri, terlihat menghampiri seseorang di rak yang tidak jauh dari sini. Mengabaikan tentang apa yang baru saja terjadi, ia memilih berjalan menuju kasir untuk mengadopsi buku yang dipilih perempuan tadi.
"Siapa namanya?" Aileen sudah menduga bahwa sahabatnya akan menghampiri sebelum akhirnya Ays memang menghampirinya dengan tergesa-gesa.
"Mana gue tahu" Ayska berbohong. Ia ingat betul deretan nama yang terpampang jelas di dada kanan milik laki-laki dengan rambutnya yang sedikit ikal menutupi sebagian dahinya. Meski ia mengenakan jaket, hal itu tidak menyulitkan Ayska untuk mengetahui namanya.
Aileen masih kebingungan tentang buku yang akan dipilihnya. Dengan mudahnya ia bisa melihat Ayska yang diam-diam mengarahkan pandangannya ke arah kasir. Sudut matanya sangat leluasa melihat tingkah Ays yang sepertinya mulai kembali merasakan sesuatu.
"Liatin aja terus Ays" sindirnya pelan. Ays mengerjapkan matanya. Ternyata Aileen memperhatikannya sejak tadi. Sesaat kemudian yang dipandangnya menghilang. Menyisakan Ayska yang seperti tengah kehabisan akal untuk menyembunyikan senyumnya, terlebih lagi Aileen yang tidak henti-hentinya terus memandang curiga ke arahnya.
Aileen Grania. Nama yang sangat anggun dan cantik, seketika langsung terbayang seorang perempuan berjalan bak model ternama, jalannya mengikuti garis lurus seperti sengaja digambar untuk menandakan ke mana ia harus berjalan. Rambutnya panjang dan memesona, menjulur menarik banyak mata untuk melihat ke arahnya.Tapi, Aileen yang sebenarnya adalah seorang perempuan dengan gaya jalannya yang biasa saja. Rambutnya yang hitam legam dan pendek menampilkan sebagian lehernya, sehingga membuatnya terkesan lebih tinggi dengan badanya yang sangat ramping. Poninya dibiarkan menutupi dahi, orang-orang menyebut dirinya tomboi meski setelah pandemik Aileen mulai memperhatikan penampilannya. Mulai dari memakai kalung, rutin memakai skincare, sampai cara berpakaiannya yang mulai bervariasi.
***
Adyrasha Atha M. Nama itu sangat melekat dalam ingatannya. Seperti enggan untuk melupakannya begitu saja. Senyumnya yang manis kentara sekali bahwa dirinya adalah laki-laki yang hangat kepada siapa pun, termasuk kepada Ayska yang baru saja ditemuinya. Itu tidak lantas membuat dirinya berpikir untuk membatasi sesuatu yang mulai dirasakannya kini. Kepalanya yang terus menunduk bukan berarti hatinya tidak tertuju pada sosok yang di hadapannya.
Tidak berlangsung lama hingga akhirnya Ayska memutuskan pergi begitu saja. Siapa pun pasti ingin selalu berada di sana, menikmati ciptaan tuhan yang begitu sempurna. Diam-diam kuamati sosoknya dari kejauhan, langkahnya panjang dan pasti. Ah dia tampak sempurna di mataku, belum lagi bukunya yang ditunjuk asal benar-benar diadopsi oleh Adyrasha.
Tunggu, Adyrasha kataku? Sejak kapan kita berkenalan? Ah sudahlah, sebut saja sudah, berkenalan tidak perlu harus berjabat tangan bukan. Masa harus kupanggil dengan sebutan pangeran berkuda putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYSKA & BOM WAKTU
Teen FictionJika belia belum cukup mampu merasakannya, maka kelak dewasanya akan menyimpan banyak luka. Bahkan lukanya lebih dari apa yang dibayangkan. Kelak kau akan mengerti. Ayska : Yang kurasakan sekarang ini apa namanya? Ini bukan duniaku, pasti ada dunia...