Drrtttt
Tiba-tiba handphone milik Ayska bergetar menampilkan deretan aksara, Zira. Menarik nafas dalam-dalam, berusaha meredakan emosinya dengan sedemikian cara. Menatap cermin dan mencoba tersenyum.
“Halo” Ayska mendahului percakapan telepon dengan suara yang dipaksakan.
“Udah baca pengumuman di mading?” Mendengar itu Ayska tidak memiliki perasangka apapun mengenai mading.
“Belum, kenapa?” Jawabnya pelan, tidak ingin Zira mengetahui tentang keadaannya saat ini.
“Aku bikin poster soal kehilangan buku kamu Sa” mendengar itu Ayska tidak pernah menyangka Zira akan melakukan ini, pasalnya ia hanya hanya manusia biasa, rasa-rasanya ini terlalu berlebihan.
“Serius? Sampe segitunya?” di seberang sana Zira terkekeh pelan, “kenapa?” lanjut Ayska masih dengan suara yang sedikit dipaksakan, diary miliknya hanya sebuah buku dengan kisahnya yang tidak penting untuk siapapun termasuk zira, melainkan hanya penting baginya. Tapi, Zira menganggap penting sama seperti dirinya.
“Kok kenapa? Biar cepet ketemu dong buku diary nya Sa” Zira sedikit geram mendengar pertanyaan Ayska yang mengisyaratkan bahwa dirinya merasa tidak pantas.
“Hehe, makasih ya Ra” tidak mau memperpanjang, Ayska mencoba mengakhirinya lebih dulu, ia akan melanjutkannya nanti saat jauh sudah lebih tenang.
“Are you okay?” Zira menyadari sesuatu yang tidak biasa saat mendengar suaranya, tanpa menunggu jawabannya ia sudah tahu Ayska tidak baik-baik saja. “Di mana?” berkali-kali bertanya di mana keberadaan temannya itu, Ayska menjawabnya dengan pasrah.
Zira dengan kakinya yang panjang menyusuri lorong-lorong yang mulai kehilangan penghuninya, kekhawatiran itu tergambar jelas di wajahnya. Orang-orang akan memuji parasnya yang cantik, terlebih lagi dagunya yang terbelah menjadi sesuatu yang jarang orang lain miliki. Alisnya yang tebal, senyumnya yang tipis. Laki-laki mana yang akan memalingkan matanya, mereka hanya akan banting setir ketika bertemu tembok yang dibangun sedemikian rupa oleh Zira.
Ketika melihat sahabatnya yang terus menerus melihat ke arah cermin, semakin dekat ia semakin bisa merasakan kesedihan Ayska yang begitu mendalam. Air matanya menitik jatuh dari gumpalan pipi di wajahnya, tanpa menunggu waktu lama ia memeluk Ayska tanpa diminta.
“Uuuu Sayang” bukannya mereda, tangisnya semakin bersuara, air matanya semakin deras, beralih memeluk Zira dan membenamkan sebagian kepalanya di dalam sana.
Rasanya seperti ingin teriak, mencari-cari di belahan dunia mana ia bisa menumpahkan semuanya tanpa tersisa. Di belahan dunia mana pula ia berhenti merasakan sakit dan hidup tenang. Memeluk Zira yang semakin lama semakin dalam dan erat, Ayska seperti anak kecil yang tengah mengadu sambil merengek kuat-kuat. Zira mengusap kepalanya, bagian kepala yang sedari tadi dipukulnya tanpa ampun.
***
“Dia beneran numpahin es krim di sepatu kamu Sa?” Ayska hanya mengangguk, sementara Zira sedikit geram mendengarnya.
“Tapi kan emang salah aku Ra” Ayska masih tetap dengan rasa bersalahnya.
“Gak bisa gitu dong Sa”
“Hem” jika boleh, Ayska ingin mengatakan hal yang sama tapi ini memang salahnya, “soal mading, thanks ya Ra”
“Iya sama-sama, aku juga mau diary itu cepet ketemu Sa” ucapnya sembari mengusap pelan bahu Ayska, sang empu hanya tersenyum dan bersyukur memiliki teman sebaik Zira.

KAMU SEDANG MEMBACA
AYSKA & BOM WAKTU
Novela JuvenilJika belia belum cukup mampu merasakannya, maka kelak dewasanya akan menyimpan banyak luka. Bahkan lukanya lebih dari apa yang dibayangkan. Kelak kau akan mengerti. Ayska : Yang kurasakan sekarang ini apa namanya? Ini bukan duniaku, pasti ada dunia...