Di lihatnya jam dinding yang terpajang di kamar birunya menunjukkan pukul 19.35 WIB. Tak lagi mengenakan pakaian sekolah melainkan pakaian untuk tidur, menatap langit-langit kamar yang semakin lama semakin kabur. Mengapa bahagia dan sedih harus terganti dengan cepat. Memejamkan mata berharap saat membukanya dunia menjadi sedikit lebih ramah, tapi ternyata tidak begitu. Tetiba terlintas dalam benaknya untuk mengabadikan hari ini di buku diary miliknya, ide yang bagus. Begitu katanya pelan. Menurutnya hanya buku diary yang mampu membantu mengingatnya kembali untuk esok, lusa dan hari dimana ia hanya diberi kesempatan untuk mengingat saja bukan mengulang.
Diraih tas yang selalu digunakannya untuk pergi ke sekolah. Mencari-carinya sampai ke sela-sela yang paling terdalam, nihil buku diary seperti menghilang begitu saja, beralih ke meja belajar, laci, dan bawah kasur. Kemana diary itu pergi? Mustahil jika diary itu berjalan sendiri. Berulang kali mencari, berulang kali juga ia menyelahkan dirinya sendiri. Tidak peduli sudah berapa kali mengulangnya ke tempat yang sama. Hasilnya tetap nihil.
Di mana kamu? Bukankah aku selalu membawamu kemana pun kupergi? Bagaimana jika orang lain menemukan diary-ku, lalu membacanya satu persatu? Habislah aku. Seperti berteriak diruang hampa yang hanya ada ia di dalamnya. Memang bodoh. Begitu katanya. Memukul kepala berulang kali berharap dapat mengingatnya di mana diary itu terakhir ditaruh. Tidak ada satu rahasia pun yang tidak diceritakan di sana. Berulang kali menyalahkan diri sendiri, memilih hukuman yang setimpal untuk diri sendiri atas hilangnya barang berharga. Menjedugkan kepala berulang ke tembok tanpa ampun, ini bukan tentang Ayska yang kehilangan diary nya, ini tentang sosok kecilnya yang tengah menghukum raganya yang semakin hari semakin bertumbuh.
“Permisi pak, saya boleh liat cctv perpustakaan tidak?” seseorang dihadapannya kini sudah berjam-jam duduk berdua dengan komputer dihadapannya, penjaga perpustakaan yang masih muda namun tidak terlalu menarik perhatian karena tidak ramah. Dahinya mengerut mencoba mencerna apa yang baru saja didengar, Ayska mengulangnya lagi sampai sosoknya benar-benar mengerti.
Disinilah ia berdiri, dihadapan laki-laki beberapa saat yang lalu telah menganggukan kepalanya mengizinkan Ayska untuk melihat cctv. Meski ia harus menjelaskan panjang lebar tentang kehilangan bukunya itu, tak apa ini demi buku kesayangannya. Harap-harap cemas karena telah beberapa kali menyusuri setiap sudut ruangan perpustakaan, melihat jejeran buku di setiap rak barangkali yang menemukan menyimpannya di sana, tapi nihil. Ia sama sekali tidak menemukan apa-apa, kali ini hanya cctv yang bisa diharapkan.
“Maaf Ayska, ternyata cctv mati sejak dua hari yang lalu. Saya pun baru mengetahui kalau cctv mati, memang sejak kapan diary itu hilang?” seperti hantaman keras yang menembak kepalanya, ketakutannya semakin bertambah seiring dengan waktu yang berdetik seperti lebih lambat dari biasanya. Mencoba mengulang apa yang didengarnya, merekam di dalam otaknya. Wajahnya pucat, tangannya mengepal tanpa diminta, jika ia seorang diri di ruangan penuh buku rasanya ingin memporak porandakan benda apapun yang berada di ruangan ini.
“Sejak kemarin siang pak” kehabisan suara, untungnya kali ini Pak Anton dapat memahaminya.
“Wah, baru kali ini saya mendengar kehilangan barang namun belum kembali sampai hari ini. Karena biasanya kehilangan barang apapun satu atau dua jam kemudian selalu kembali ke tangannya, yang menemukan selalu melapor. Uang atau perhiasan sekali pun.” memang benar.
Ayska hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih yang diiringi gerakan tangan, tidak peduli bahwa Pak Anton mengerti atau tidak. Tanpa menunggu persetujuan ia membalikkan badan meninggalkan Pak Anton, duduk di sudut perpustakaan berharap bisa meredam emosinya meski ia sekalipun ragu tentang emosinya yang akan mereda.
Siapa yang menemukan diary Ayska?
Ruangan tiba-tiba saja menjadi gelap, hanya ada sedikit penerangan di sudut ruangan kecil dengan lampu yang nyala hidup bergantian. Tidak ada pencahayaan sedikit pun dari luar yang diyakininnya masih siang hari, sepertinya terhalang gedung-gedung pencakar langit, benar-benar tidak ada cahaya, bahkan jendela sekalipun. Sosok gadis kecil yang sedari tadi dilihatnya sejak pertama kali masuk ke dalam ruangan kecil masih saja terus membenamkan kepalanya diantara kedua lututnya, di sudut ruangan. Ayska memberanikan diri berjalan perlahan ke arahnya, sedikit demi sedikit mengikis jarak antara keduanya. Belum sampai, namun kepalanya tiba-tiba mendongak ke arah Ayska seperti mengetahui keberadaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYSKA & BOM WAKTU
Teen FictionJika belia belum cukup mampu merasakannya, maka kelak dewasanya akan menyimpan banyak luka. Bahkan lukanya lebih dari apa yang dibayangkan. Kelak kau akan mengerti. Ayska : Yang kurasakan sekarang ini apa namanya? Ini bukan duniaku, pasti ada dunia...