Setelah kurang lebih dua tahun para medis berjuang di garda terdepan. Mengorbankan waktu milik keluarganya demi pasien yang terdampak. Kami seperti dipenjara sebegitu lamanya oleh virus yang menyebar dengan sangat cepat. Aktivitas perjalanan kini berangsur-angsur mulai kembali normal, meski tetap berjaga dengan sebisa mungkin menghindari kerumunan. Masih diberlakukan penggunaan masker menyulitkan kami untuk saling mengingat wajah. Hanya dengan nama kami dipaksa saling mengingat.
Setelah beberapa bulan ia menjalani masa sekolahnya menjadi anak kelas 11, meski seringnya pembelajaran dilakukan secara daring. Menikmati libur panjang semester akhir, meski rasanya tidak ada bedanya dengan pandemik kemarin. Tibalah tahun ke-3 masa putih abu kini dimulai. Masa di mana dunia tidak seketat sebelumnya, masa di mana virus sudah hampir dinyatakan berakhir. Walaupun masih muncul berita tentang jumlah yang terdampak cukup berada diangka yang masih terbilang tinggi.
Mengecek handphone, takut jikalau ia salah masuk ruangan kelas, mengingat kelasnya baru dan posisi gedungnya berbeda saat ia duduk dikelas 11. Sesaat kemudian akhirnya ia berhasil menemukan ruang kelasnya yang berada di lantai dua. Pagi-pagi buta ia pergi ke sekolah bersama Arash menggunakan sepeda motor, masih terasa sangat sepi di sekitar sekolah terlebih lagi di ruangannya kini. Dengan suka hati ia duduk di mana saja, sebab hanya dirinya yang baru sampai dan berada di kelas.
Hatinya mencelos tatkala Aileen menyebut dirinya dengan sebutan ‘Ra’. Pikirannya menerawang kepada sosok kecil yang jarang ia ajak bicara. Kali ini Aileen seperti menyemangati sosok kecil yang ada dalam dirinya. Matanya selalu berkaca-kaca jika bersangkutan dengan nama itu. Tak jarang ia merasa bersalah kepada sosok kecilnya, karena telah gagal menjaganya dari ketidak adilan dunia. Membiarkannya terluka menjerit kesakitan. Meraung-raung minta keadilan, berlari ke sana kemari mencari jalan pulang. Titik puncaknya adalah ketika anak kecil yang seharusnya merengek ketika banyak luka yang memenuhi tubuhnya, tapi ia hanya terdiam seperti kehabisan akal untuk menyembuhkannya.Aileen hanya termenung melihat room chat bersama sahabatnya itu. Ia tahu betul apa yang dirasakan Ayska. tak banyak yang bisa ia lakukan untuk sahabatnya. Di beberapa waktu selalu terselip rasa bersalah, tapi ia sadar bahwa Ayska bukan tanggungjawab Aileen sepenuhnya.
Ayska tidak membalas pesan dari Aileen, tertegun dengan apa yang dibacanya baru saja, diam-diam membenarkan kata-kata sahabatnya. Ayska pernah melewati masa yang paling berat, masa di mana ia inginnya menyerah saja. Tapi tuhan, rasanya ini jauh lebih berat dari kemarin.
“Selamat pagi” seseorang datang dengan senyumnya yang canggung, Ayska hanya tersenyum sesaat kemudian mengalihkan pandangan secepat yang ia tahu. Tidak ada niat hati untuk menawarkannya duduk bersama, terus begitu sampai kelas benar-benar penuh. Tinggal tersisa beberapa orang lagi yang belum datang, lantaran masih ada yang duduk seorang diri termasuk Ayska.“Permisi, aku boleh duduk di sini gak?” suara itu terdengar samar, merasa bukan dirinya yang diajak bicara, Ayska tetap fokus pada layar yang berada ditangannya. Sempat berpikir salah satu di antara kami memutuskan pindah sekolah atau mungkin berhenti. Karena sedari tadi hanya kursi Ayska yang dihuni seorang diri.
“Permisi” kali ini menepuk bahu Ayska pelan.
“Ya?”
Ayska singkat.
“Boleh aku duduk di sini?” Ternyata yang dipikirkannya tidak benar, salah satu diantara kami hanya mengalami keterlambatan datang. Medina, kulitnya sedikit kecokelatan, pipinya tembam dengan kacamatanya yang bisa berubah menjadi hitam bila terkena sinar matahari. Ayska hanya mengangguk dengan sedikit menyunggingkan senyum. Jantungnya bergetar hebat, tangannya sedikit lemas saat berjabat tangan. Saling memperkenalkan diri meski sudah tahu nama masing-masing. Bukan tanpa sebab, pasalnya di masa-masa terakhir kelas 11 masih menerapkan sosial distancing yang mengharuskan kami duduk sendiri-sendiri, maka diberlakukan juga sesi pagi dan siang untuk jam pelajaran, karena satu kelas hanya ada 18 kursi.Tidak ada yang menarik setelahnya, kami sibuk dengan isi kepala masing-masing. Ayska sibuk dengan pikirannya yang berharap waktu cepat berlalu, segera pulang lebih tepatnya. Medina sibuk mencari cara untuk mencairkan suasana, ia tahu Ayska sosok yang sangat pendiam. Tahu betul kenapa dia seperti itu, tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana rasanya menjadi Ayska. Duduk satu bangku dengannya bukanlah sebuah keterpaksaan, jikalau tidak terlambat ia akan tetap memutuskan duduk sebangku dengan Ayska.
“Selamat pagi anak-anak” suaranya yang khas tidak lain dan tidak bukan ia adalah Pak Bastian, seringnya dipanggil Pak Bas. Parasnya yang menawan menjadikan dirinya banyak digemari kaum hawa. Kulitnya sedikit kecokelatan, hidungnya mancung, rambut-rambut pendek menghiasi rahang dan dagunya. Semua para siswi akan histeris tatkala melihat tawanya yang sungguh manis, dan lihat ahh matanya sangat menusuk hati dengan kecepatan yang super kilat.
“Selamat pagi pak” sahutan yang terdengar gembira, kelas 12 IPA 3 hampir seluruhnya perempuan dan hanya 12 orang laki-laki. Tak heran sahutan melengking itu sangat mendominasi seisi ruangan.
“Baik, datang di SMA Garuda.” Ayska tidak merasa bahwa bincang basa-basi yang masih akan berlangsung beberapa menit ke depan itu tidak penting, melainkan ia sibuk dengan rasa takut yang sedari tadi menyerang isi kepalanya, menyulitkan ia untuk tetap mendengarnya dengan tenang. Pendengarannya mulai berfungsi dengan baik saat Pak Bas menginginkan kami memperkenalkan diri kembali, mengingat kali ini kami mulai tidak memakai masker, agar kami mudah untuk saling mengingatnya kembali. Ia sempat berpikir untuk membalikkan namanya menjadi Sora Ayska Sagara, supaya gilirannya masih lama.
“Ayska Sora Sagara” entah antusias dari mana, dirinya langsung saja berdiri padahal hati menginginkan sebaliknya.
“Hai...” tangannya melambai kikuk, semua terdiam menunggu Ayska melanjutkan kata-kata. Sementara yang tengah berdiri di depan sempat kehilangan ingatannya, tentang siapa namanya dan di mana ia tinggal.
“Mel’enal’an nama saya Aysh’a Shola Shajalla” ingatannya menerawang jauh, matanya nanar menatap atap putih kelas ini. Air matanya mengalir tatkala mendengar gelak tawa yang mendominasi isi telinganya, mereka seperti berlomba-lomba meniru suara Ayska. Mencengkeram androk abu miliknya kuat-kuat, lidahnya kelu dan rasanya bumi berhenti berputar, tidak sanggup untuk melanjutkan perkenalannya tentang di mana ia tinggal. Kakinya berlari ke arah bangku untuk kembali duduk, menenggelamkan kepalanya dalam-dalam.
“Ayska” suara itu terdengar samar
“Asyka” kali ini Ayska tersadar, melihat ke sumber suara. “Sekarang giliranmu ke depan” otaknya seperti berhenti bekerja, mengerjapkan mata berkali-kali. Dahinya berkerut hebat, lantas tadi apa? Benarkah yang tadi itu bukan apa-apa? Apakah ini yang dikatakan ilusi? Ayska tidak berhenti bertanya-tanya dalam dirinya.Seisi kelas riuh dengan saling bercengkerama satu sama lain, berlomba-lomba menceritakan cerita semasa libur yang terbilang panjang itu. Sementara isi kepalanya riuh dengan pertanyaan yang tidak pernah ada jawaban, tentang apa yang terjadi baru saja? Benarkah cerita tadi hanya ada peran utama dan yang lainnya hanya imajinasi?
“Ayo Ayska” kali ini Pak Bas ikut menyadarkan Ayska, kepalang malu ia langsung saja berjalan ke depan kelas. Melupakan sebentar tentang pertanyaannya itu, memperkenalkan diri, berusaha melawan sesuatu yang terus menerus menyerang isi kepalanya dan berhenti bertanya-tanya untuk beberapa saat ke depan, setidaknya sampai perkenalannya benar-benar selesai.
***
“Dan ternyata lo bisa Ays” Aileen tersenyum bangga, Ayska hanya tersenyum nanar kepadanya yang tengah membelakangi pagar balkon membiarkan sikutnya bertumpu pada pagar hitam itu.
Meski benar yang dikatakan Aileen, namun perasaan malu masih menghantui isi kepalanya. Usianya yang sudah bukan lagi anak kecil harusnya bisa memperkenalkan diri dengan ceria dan berani, tapi apalah daya Ayska hanya bisa merutuki apa yang telah terjadi tanpa tindak nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYSKA & BOM WAKTU
Teen FictionJika belia belum cukup mampu merasakannya, maka kelak dewasanya akan menyimpan banyak luka. Bahkan lukanya lebih dari apa yang dibayangkan. Kelak kau akan mengerti. Ayska : Yang kurasakan sekarang ini apa namanya? Ini bukan duniaku, pasti ada dunia...