SATU WINDU

3 1 0
                                    

“Selalu membutuhkan waktu untuk mengerti sesuatu, mungkin tidak sekarang. Esok atau lusa, aku akan mengerti tentang semua ini, tentang mengapa duniaku tidak seberuntung dunia mereka”


Juli 2011...

Hari yang menyenangkan untuk Ayska si putri kecil Gema Sagara, perawakannya yang kurus. Kulit kepalanya hampir kentara akibat rambutnya yang semakin tua semakin menipis. Meski sebenarnya baru berusia 41 tahun. Sudah siap dengan jaketnya yang terbilang besar, menghadirkan kesan gemuk menyamarkan bentuk tubuh yang sesungguhnya.

Gema terbilang keras untuk mendidik kedua buah hatinya. Terlampau keras untuk dunia anak kecil. Semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, tapi seringnya yang terbaik seperti menghukum dunianya. Meski tidak selamanya Gema bersikap keras, ada kalanya ia terlampau baik sampai keduanya merasa bahwa ayahnya sosok yang lembut.

Gema mengikat rambut Ayska dengan susah payah, ia dengan suara pelan meminta Gema untuk mengikatnya seperti buntut kuda. Takut kalau permintaannya akan mengubah paginya menjadi awal hari yang buruk. Sampai pada akhirnya Gema berhasil meski sebenarnya tidak terlalu begitu beraturan. Ia tidak pandai melakukannya dengan baik.

Hari pertama sekolah dengan seragam putih merah. Khayalannya terlampau liar untuk seorang Ayska yang masih berusia dini. Isi kepala kecilnya penuh dengan kosa kata yang acak untuk menggambarkan kegiatan sekolah pertamanya. Cermin di hadapannya memantulkan sosok yang sangat mirip dengan mamanya, bagai pinang dibelah dua. Ayska terlalu sering mendengarnya dari ibu-ibu yang merasa gemas padanya, sampai hapal di luar kepala.

“Ayo Pak kita berangkat” menarik tangan Gema kuat-kuat, yang ditarik hanya mengangguk lalu segera mengunci rumahnya. Dari sekian banyaknya rumah yang berjejer, rumahnyalah yang paling sederhana, hanya dari anyaman bambu dengan bata dilapisi tembok setinggi lutut Ayska. Meski begitu, Ayska tidak pernah malu untuk mengajak teman-teman bermain di rumahnya. Kami belum memiliki kendaraan sepeda motor, jarak dari rumah menuju sekolah kira-kira 400 meter masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 5 menit.

“Nanti kalo di sekolah harus dengerin apa kata guru, Ays harus baik sama teman-teman. Ays harus pintar” Ays asal mengangguk, pikirannya masih berkelana menduga-duga akan seindah apa hari ini. Pasti banyak teman yang mau berteman dengannya, seperti film kartun yang selalu ia tonton setiap pagi saat libur sekolah. Masa-masa sekolah pasti menyenangkan.

Sekolah ini dapat dikatakan kecil jika dibandingkan sekolah yang berada di pinggiran kota, meski keduanya sama-sama berstatus negeri. Hanya terdiri 6 kelas, 1 perpustakaan kecil, dan 1 ruangan komputer yang isinya hanya 1 komputer dan 1 lemari kecil. Tidak lupa diadakannya mushola kecil yang tentu saja tidak bisa menampung semua anak di sini, dengan beberapa toilet yang selalu dibersihkan oleh penjaga sekolah.

Hari pertama selalu diawali dengan mengulur-ulur waktu. Para orang tua dibuat menunggu untuk bisa mengantarkan buah hatinya masing-masing ke dalam kelas. Ibu-ibu sibuk saling berkenalan atau melanjutkan obrolan yang belum tuntas kemarin pagi, saat tengah berbelanja sayuran, seperti kebiasaan yang sudah turun temurun. Sementara anak-anaknya belum memiliki keberanian untuk sekedar menyapa. Terlebih lagi Gema yang lebih memilih diam di sudut lapangan, merokok dengan bebas dan menjauhi keramaian.

Masih dengan energinya yang membuncah, hatinya tak sabar ingin segera masuk ke dalam kelas. Matanya membulat sempurna ketika melihat sekolah yang jauh lebih besar dibandingkan Taman Kanak-kanak, tempat sekolah yang sebelumnya.

Ekonomi yang sangat jauh dari kata stabil membuat putri kecilnya banyak kehilangan momen bersama ibunya. Seperti hari ini. Elvira, ibu dari anak-anak Gema. Sudah 6 bulan sejak kepergiannya ada banyak hal yang baru ia sadari. Tentang anaknya yang hari ini datang tanpa ibunya. Seragamnya yang tidak serapih anak-anak yang lain. Meski begitu, menurutnya putri kecil dihadapannya belum begitu memiliki kesadaran penuh tentang banyak hal yang berbeda antara dirinya dengan anak yang lain. Tapi melihat senyumnya, itu cukup menerangkan bahwa putri kecilnya baik-baik saja. Ia akan mengerti saat dewasa kelak. Begitu kata Gema tentang Ayska.

Gema tidak pernah menyadari atau bahkan enggan menyadari tentang semua insan memiliki kepura-puraan, terlepas masih belum memiliki kesadaran penuh atau belum. Mengerti makna kepura-puraan atau tidak. Usianya yang masih belia atau dewasa. Siapa pun mereka, hatinya akan tetap teriris dan senyumnya akan selalu melengkung. Barang siapa yang memiliki hati, luka dan sejenisnya akan tetap bisa dirasakan. Jika belia belum cukup mampu merasakannya, maka kelak dewasanya akan menyimpan banyak luka. Bahkan lukanya lebih dari apa yang dibayangkan. Kelak kau akan mengerti.

***

“Oke anak-anak, selamat datang di SDN Mutiara. Dan perkenalkan nama Ibu adalah Ibu Hana.” Perempuan paruh baya itu memperkenalkan dirinya, kami berada di sebuah ruangan kelas yang terbilang kecil untuk orang dewasa tapi ini sangat cukup untuk anak-anak seusia kami.

“Halo Ibu Hana” serentak kami menyahutinya dengan gembira, kebanyakan dari kami terlihat antusias beberapa diantaranya terlihat malas. Dan di sana, lihat. Di dekat jendela, ibunya masih senantiasa di samping putri kecilnya, matanya sembab karena sedari awal masuk kelas ia sudah meronta-ronta tidak ingin ibunya keluar meninggalkannya seorang.

Ibu Hana terbilang sudah tua, mungkin 50 tahun. Meskipun begitu, semangatnya masih bisa dirasakan oleh Ayska. Semangatnya lagi-lagi bertambah berkat dirinya.

“Baiklah, kalian juga harus memperkenalkan namanya ya” tidak semua anak mendengarkan, mayoritas mengobrol setelah akhirnya mulai berani untuk saling berkenalan, dan ada juga yang diam seribu bahasa. Ibu Hana tengah memilih langsung sembari melihat wajahnya satu persatu.

“Kamu, ayo ke depan. Dan kamu” tunjuknya kepada teman yang berada di samping Ays dan juga Ays. Keduanya harus saling memperkenalkan diri di depan kelas. Sama seperti adegan di kartun kesukaannya, memperkenalkan diri sebagai wujud menyambut dunia baru. Satu persatu bayangannya mulai terwujud. Putih merah memang menyenangkan untuk Ays.

“Halo nama aku Resya Kanaya, di panggilnya Resya” menatap malu ke arah Ibu Hana. Teman-teman berlomba untuk memberi tepuk tangannya yang terbaik. Lagi-lagi ini sangat menyenangkan.

“Sekarang kamu” Ays mengangguk kuat-kuat, nampaknya hanya Ayska seorang yang memiliki percaya diri sebesar dirinya.

“Halo nama aku Ayska Sora Sagara, di panggilnya Ays” tersenyum mantap di akhir kalimat. Perkenalannya itu disambut tawa yang meriah dari teman-temannya. Ays terdiam bingung saat melihat apa yang terjadi di depannya. Melihat Ibu Hana yang tengah menatapnya kasihan, berusaha meredam riuh tawa dari seisi kelas.
Sampai akhirnya ia dibuat bingung setelah 1 minggu sudah ia menjalani sekolah di tempat barunya. Tentang mengapa orang-orang selalu menertawakannya, tidak jarang Ays selalu mendengar kata “cadel” disetiap ucapan semua orang. Mulai meragukan apa-apa yang telah ia lihat dari kehidupan sekolah pada kartun favoritnya. Ia hanya akan diajak bicara jika mengenai bagaimana caranya menghitung, apa yang dijawabnya pada soal yang diberikan Bu Hana.

Yang kurasakan sekarang ini apa namanya? Rasanya itu napasku menjadi sedikit lebih sulit. Mataku seringnya terasa perih, padahal tidak ada benda kecil yang mengganggu mataku. Kenapa setiap hari aku selalu merasa bingung? Mengadu kepada ayah katanya tidak perlu didengarkan. Lalu apa fungsi dari telinga selain untuk mendengar? Sebenarnya, ada apa dengan aku? Mengapa teman-teman begitu sering teriak saat aku ada di sekitarnya? Apakah aku mengganggu mereka? Kenapa rasanya aku menjadi kurang nyaman di depan banyak orang? Lalu kenapa kakak seperti malu memiliki adik seperti aku? Kami berbeda 5 tahun. Kalau liat hero di televisi mereka selalu melindungi siapa pun, tapi kenapa hero yang aku miliki tidak sama seperti di televisi? Kalau aku boleh minta apa saja, aku mau hero seperti yang sering aku tonton ditelevisi. Aku mau satu, boleh?

***

“Woy” Aileen menyadari sesuatu, matanya sama sekali tidak berkedip. Hanya diam entah sedang memandang apa.

“Ays!!!” kali ini berusaha lebih keras, sebelum akhirnya lamunannya semakin dalam.

“Astaga. Ayska Sora Sagara!” kesadarannya mulai kembali, dengan cepat ia menguasai dirinya. Mengedipkan mata berkali-kali. Aileen sedikit dibuat kesal olehnya.

“Kenapa?” tanya Ays pelan. Berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, namun telinganya terasa sedikit sumbang.

“Lagian lo ngelamun mulu, ngelamunin apaan si?” Aileen duduk sebelum menyuguhkan teh hangat untuk Ayska. Sedangkan yang dijamu tengah menatap langit jingga bercampur keunguan. Tidak lama lagi hari akan berakhir, lagi.

“Kepo bange si lo” Aileen hanya terdiam melihat Ayska yang mulai meminum teh hangat buatannya.

“Ngelamun bisa bikin haus ya. Sekalian aja minum punya gue, kali aja kurang” Ayska meminumnya sampai habis tak tersisa.

“Boleh?” Ayska menggodanya

“Of course, gapapa. Gue bisa minum air kolam kok” senyum Aileen terlihat mengerikan, Ayska sampai bergidik ngeri melihatnya.

“Ada kopi?” mendengar itu, Aileen menatap lekat-lekat sahabatnya itu.

“Ada. Kenape? Galau lo?” sahutnya menyelidiki, Ayska sudah menduganya terlebih dahulu.

“Nggak, lagi kepingin aja” Ayska berbohong, sama sekali tidak berani menatap manik mata sahabatnya itu. Rasanya seperti ditatap oleh nenek tua.

“Kita sahabatan dari SMP Ays, bukan hanya karena kita gak satu sekolah gak lantas itu membuat gue lupa tentang lo. Asam lambung lo bakal naik kalo minum kopi, dan lo bakal nekat kalo lagi galau. Cerita dong sama gue, lo kenapa? Ada masalah di sekolah?” Aileen adalah satu-satunnya orang yang tidak bisa ia bohongi. Semuanya seakan telanjang jika didepan sahabatnya itu.

“Gue keinget waktu dulu” Aileen sudah hapal betul tentang bagaimana ceritanya.

Aileen memandang Ayska dengan bingung, sebisanya ia harus mengendalikan dirinya agar tidak terlihat mengasihani Ayska. Tidak ada manusia mana pun yang ingin ditatap kasihan, begitu juga dengan Ayska. Matanya mulai kelelahan, butuh waktu yang cukup panjang untuk Ayska hingga akhirnya bisa menerimanya kelak. Tidak ada yang bisa menduga kapan waktunya, begitupun dengan dirinya.

Ingin menjelaskan tentang betapa menderitanya ia sekarang. Tentang betapa sulitnya ia berdamai dengan segala sesuatu yang sangat mengiris-iris hatinya. Meluluh lantahkan apa-apa yang sudah tertata rapi dalam ruang harapannya. Kemana mereka pergi sekarang? Tidak ingatkah mereka tentang anak kecil yang selalu di olok-oloknya setiap hari? Pertanyaan itu jelas sudah ada jawabannya. Mereka tidak pergi, mereka ada sedang menjalani harinya dengan baik. Tapi naas, mereka tidak ingat tentang perempuan kecil tadi. Mereka lupa bahwa mereka telah menghapus seribu khayalannya, mereka hanya ingat dan tahu bahwa Ayska masih hidup.

Tak jarang Ayska menyalahkan betapa lemahnya ia mengahadapi mereka. Seandainya sejak dulu Ayska lihai mengendalikan perasaannya, cerdas mengatur isi kepalanya, mungkin hari ini ia sudah berdamai dengan segala lukanya. Mengingat 1 windu bukanlah waktu yang sebentar ia bertarung dengan dirinya sendiri, sampai akhirnya baru menyadari bahwa 1.440 hari berjalan tanpa perubahan yang pasti.

AYSKA & BOM WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang