Note : Don't Plagiat. Enjoy and Happy Reading.
.
.
.Sorai Ke-delapan belas
.“Yang fana itu bukan hanya dunia, namun juga dengan isinya.”
-Konser baru saja selesai dilaksanakan, namun Marvio sudah bergegas turun dari sana. Raganya berlari ke arah enam saudaranya yang terlihat kebingungan, enam? Tunggu, lima. Mereka hanya berlima, satu sosok yang tadi bersama mereka menikmati alunan melodi luka, hilang dari jangkauan mereka.
“Cenda?!” Nathan berteriak memanggil, sedang sang empu tak menyahuti sama sekali.
“Cari, keknya kepencar deh, kita mencar aja oke, aktifin data di hp kalian!” Marvio memerintah, di bawah gerimis Jogja malam itu, saat internet kembali mampu merasuki ponsel mereka, banyak panggilan dari masing-masing orang tua mereka, menanyakan kabar, berpuluh-puluh pesan dan panggilan.
Namun terlihat satu permintaan yang terlihat sama, sepertinya keenam orang itu memiliki pesan yang sama, ‘Selesai konser, langsung ke penginapan, gue mau ngomong serius.’
Isi pesan dari Joni tersebut sepertinya mampu membuat lega sedikit demi sedikit membanjiri tubuh mereka, mungkin saja Cendaka tadi pergi ke penginapan setelah menyalakan ponselnya. Kini, mereka harap Haikal juga ada disana, di penginapan bersama saudara kandung pertamanya.
“Kek nya Cenda ke penginapan, ayok nyusul sekarang, lo udah selesai disini kan Bang?” Jendral melontar tanya pada Marka yang dijawab tanpa suara.
Kini, kelima member Sorai itu segera bergegas menuju penginapan yang sudah mereka sewa, mengikuti jejak Cendaka yang tadi terlihat mendahului mereka.
•••
“Assalamualaikum” Marvio mengucap salam sebagai perwakilan, keempat lainnya hanya diam, mengucap salam dalam hati, merasa sedikit heran karena didepan penginapan mereka, berjejer banyak mobil, dan saat masuk, benar adanya tentang keberadaan hampir semua orang tersayang mereka.
“Loh? Ma? Pa? Ngapain nyusul kesini? Masa’ iri sih sama Vidio yang Nana kirim tadi? Pengen nonton Bang Marv ngonser juga? Sayang banget udah selesai Ma” Nathan dan Jendral mendekat pada kedua orang tua mereka yang duduk di sofa paling ujung.
“Bunda juga ngapain nyusul Jiko? Gak ada pasien emang di RS Bun?”
“Ayah juga ngapain kesini? Kemarin Rey tanya katanya ayah ga bisa nonton konser Abang?”
Masing-masing dari mereka semua bertanya, namun yang terlihat aneh adalah Marvio dan Cendaka, ntah mengapa mereka hanya memandang para orang tua yang ada disana tanpa mengucap satu patah kata pun.
“Yah, Cenda dari tadi tanya, Bang Haikal mana?” Cendaka membuka suara terlebih dahulu, membuat semua perhatian orang yang ada disana berfokus padanya.
“Cenda, sayang, dengerin ayah oke, kami semua kesini, pengen selesain ini semua,”
“Apa?! Emang kita ada masalah lagi Yah? Bahkan Cenda ga sadar sejak kapan Cenda jadi deket sama ayah tiri Cenda sendiri, Bunda mana? Papa mana?”
“Ayah tau kamu sakit Cenda, tapi gak gini, gak gini caranya sayang” Pangestu merengkuh tubuh Cendaka yang terlihat penuh tanda tanya itu kedalam dekapan hangat.
“Kak Yudi mana Yah? Kenapa Bang Joni daritadi diem?” Cendaka bertanya lagi, dengan suara yang teredam dalam pelukan Pangestu.
“Oh iya, lo ngapain minta kita semua kesini Bang?” Reynan bertanya hati-hati, sembari mengingat-ingat apa kesalahan yang sudah ia perbuat, hingga membuat sosok Joni terlihat menahan rasa marah?
“Bunda ada urusan apa kesini?” Jiko bertanya lirih disela-sela kesempatan, namun Rara, sang bunda, hanya diam dan mengelus kepalanya lembut.
“Bunda kenapa sih? Kalo ga penting Jiko mau keluar nih. Jiko tadi kehilangan Bang Ikal di konser, kirain udah balik kesini, ternyata ga ada juga” Jiko menatap iris wanita yang telah merawatnya itu dengan dalam, menelisik apa gerangan maksud kedatang Rara kesana.
“Haikal udah pulang” Joni berseru, menjawab pertanyaan tak langsung dari Jiko tentang keberadaan Haikal.
“Pulang? Serius lo Bang? Yang bener aja, naik apa bocah ege itu?” Jendral memastikan dengan tak percaya.
Joni hanya diam dan menatap respon Jendral dengan keterdiaman, lagi.
“Haikal udah pulang Jen, lo ga lupa kan? Waktu dimana dia udah g—” Joni terhenti berujar, kala dentuman lantai dan tubuh Marvio berbunyi kencang.
Dirgantara dan Reynan sontak mendekat, Dirgantara mengangkat tubuh Marvio dengan cepat, dan meminta Reynan agar kembali duduk saja, sedangkan yang lain hanya memandang, merasa sedikit shock melihat leader mereka pingsan.
“Saya tangani Marv dulu ya, silahkan dilanjut saja. Dan kamu sayang, bunda mohon, jangan terlalu lama berpura-pura, anak bunda harus belajar membedakan dimana waktu untuk berlanjut hidup, dan dimana waktu untuk menaruh harapan yang mustahil terwujud.” Rara bergegas menyusul Dirgantara ke dalam salah satu kamar disana.
“Hah? Maksud bunda apa sih? Gue nggak ngerti sumpah” Jiko bergumam dan menatap Caendaka yang terlihat kehilangan sinar dari matanya.
“Cen, Lo kenapa? Sakit juga? Sana ikut bunda biar di periksa” Cendaka berkedip perlahan dan mengeleng, merasakan perasaan tak nyaman saat beberapa hal datang kedalam kepalanya, mencoba menghancurkan dinding khayalan yang ia cipta.
“Bang, Haikal mana gue tanya? Beneran pulang? Sama Kak Yudi kah?” Nathan kini mengangkat suara, merasa tak tahan lagi memikirkannya keberadaan Haikal.
“Ikut gue semua lo. Jangan tanya dan jangan bantah.” Joni berucap tegas, dan mereka berlima tak merasa ingin menolak, sehingga kini bukan hanya mereka berlima, namun semua orang terkecuali Rara, Marvio, dan sang Ayah yang tinggal disana.
Kini si kembar lengkap dengan orang tuanya berada dalam mobil yang sama. Sedang Reynan bersama Jiko memilih ikut mobil yang berisikan Cendaka, Joni, dan Pangestu.
Kedua mobil dipimpin mobil Joni membelah jalanan malam dengan cepat, menuju sebuah tempat yang tak pernah mereka berlima sangka, ‘Kenapa kesini? Malam-malam? Mau uji nyali kah?’ mungkin seperti itu pikir Jiko dan Nathan.
Sedangkan Reynan, Jendral, dan Cendaka hanya memilih menahan diri, agar tak berpikir hal-hal aneh yang mencoba menerobos masuk kedalam pikiran mereka.
Kini, mereka sudah berada di tepi pantai, benar, Joni membawa mereka semua ke tepi pantai indah yang dingin itu.
“Ngapain malem-malem kesini Bang?” Nathan membuka suara, membuat kedua orang tuanya meraih pundak itu dan mendekat kearahnya.
Masing-masing dari raga kelimanya didekatkan pada raga yang lebih tua, dengan Joni yang membelakangi pantai dan menghadap kearah mereka.
“Orang bilang, pantai bisa ngasih efek healing, jadi gue bawa kalian kesini, biar otak lo semua berfungsi tolol.” Joni berucap penuh dengan perasaan emosi, membuat kelimanya bingung dan menerka sebenarnya apa salah mereka, dan mengapa orang tua mereka yang ada disana tak menegur Joni yang berkata kasar?
Benar-benar banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang ingin mereka tanyakan. Namun kalimat singkat dari Joni yang terucap dengan lancar membuat mereka mematung.
“Sadar bego, sadaarr. Haikal udah mati. Sampe kapan kalian mau halusinasi?!”
.
.
.to be continued
.
Hah? Hah? Hah?
Hahahaha..
Maaf sedikit telah, agak gak enak badan. Lagi-lagi aku ucapin terimakasih banyak untuk vote dan komentarnyaaa. Maaf kalau tulisan nya nggak rapi dan alurnya ga enak, but, semoga sukaa yaa.
.See u on next chapter guys
Btw mau double up ga?(´∩。• ᵕ •。∩')16 Agustus 2023
Revisi : 20 September 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorai
Teen FictionCompleted✓ [Part masih lengkap.] *Jangan lupa komentar dan votenya. Deskripsi : Kisah tujuh pemuda yang saling mencintai dalam lingkup saudara. Melewati banyak hal, hari-hari berat, dan masalah yang menumpuk dengan kebersamaan. Mereka tidak sedarah...