Teruntuk kesedihan yang mengintai••••
"ADUUUUH."Adit hanya memandang, dengan kedua tangan yang menyilang. Kegaduhan di rumah sakit yang di ciptakan teman barunya itu membuat ia sendiri terkena batunya. Sudah terguling menubruk pembatas jalan, sekarang dirinya habis bertubrukan dengan brangkar yang di dorong cepat membawa pasien darurat.
"ADIT." Teriaknya. "TOLONGIN GUE ... SAKIT BANGET--ANJING." Gadis itu hampir setengah menangis dengan wajah yang memerah.
"Suruh siapa segala kabur, cuma ketemu dokter doang? Kena batunya, kan." Ucapnya seadanya.
Gadis itu memang mengalami cidera pada bagian kakinya, akibat berlari tertubruk brangkar dengan kencang, hingga tak sengaja membuat kakinya terlindas.
"Sakiiit." Gadis itu merengek pelan, menahan air matanya yang sudah berada di ujung.
Dokter beserta perawatnya sudah dua menit yang lalu meninggalkan Dita dan Adit di ruangan serba putih itu. Namun tak hentinya semacam anak kecil, Dita terus saja merengek sakit memegangi kakinya yang di perban.
"Dada lo aman kan?" Tanya Adit akhirnya, ingin memastikan.
"Lumayan, dada gue agak sesek. Soalnya kenceng banget tadi nabrak beton di jalanan." Adit merasa iba sekali melihatnya. Kepala Dita sedikit menoleh untuk akhirnya bertanya juga. "Lo sendiri? Aman kepalanya?"
Adit mengangguk. "Aman." Jawabnya, walau terdapat plester yang tertempel di dahi, akibat membentur jalan.
"Ngomong-ngomong, gue minta maaf udah bikin celaka." Ucap Dita sedikit menunduk, merasakan kembali denyutan sakit di kakinya.
"Emang harusnya lo belajar dulu naik sepeda, sebelum bawa motor." Dita menoleh menatap dengan cepat. "Gue juga kalo bisa suka bilangin Ika, adik gue, supaya jangan main-main sepeda. Kalo udah jatuh, bahaya."
"Gue kan bukan adik lo. Ngapain lo ngatur-ngatur gue. Suka-suka gue kalo mau langsung bawa motor." Ucapnya tak terima. "Lagian tadi gue langsung bisa. Emang cuma lagi sial aja makanya nabrak. Sama kalo tadi aja enggak ada lampu merah, gak bakal tuh ngerem ngedadak--" kesalnya.
"Dan tindakan lo yang otodidak buat langsung narik rem depan sekaligus, hampir bikin nyawa melayang. Bahaya itu, Dita." Peringat Adit.
"Gue kan reflek." Belanya tak mau di salahkan.
"Refleksi lo itu buruk." Balas Adit dengan segera, masih menyilangkan kedua tangannya, dan punggungnya menjauh dari sandaran kursi. "Coba aja motor kita lagi melaju di kecepatan normal, dengan cukup rem belakang doang, motor gak bakalan nabrak."
"Iya deh." Balas Dita tak berselera.
"Kita, sampe sekolah enggak, rumah sakit iya." Cibir Adit mengatai, kembali menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. "Untung masih bisa selamat." Lanjutnya mendapat lirikan tajam dari sang gadis.
"Lo tuh, banyak bacot." Ujar Dita dengan geram. "Pulang aja sana, gue bisa pulang sendiri. Gak usah lo nungguin gue." Napasnya terdengar sekali memburu, merasa kesal tiada tara.
"Gak baik marah-marah." Ucap Adit memperingatkan dengan nada lembut.
"Suka-suka gue--"Ucapan Dita terhenti paksa, saat tangan cowok itu mengisyaratkannya untuk diam sejenak.
"Hallo? Ada apa Ya." Ucap Adit membuka percakapan di telpon.
"Kakak dimana? Lia mau ngomong sesuatu sama kakak, tapi Lia cari-cari kakak gak ada."

KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Girl
أدب المراهقينGADIS RUSAK Gadis yang patah, dia duduk sendirian, Kenangan telah membanjiri, Dia ingin merangkak ke dalam lubang, Dia tidak tahu harus mulai dari mana. Dia menangis dalam hati, sedikit hancur lagi. Dia berusaha keras untuk bernapas. Dia merasakan a...