M&M. Dita & Adit

9 0 0
                                    

“Boleh gue liat senyuman lo yang manis?”

°°°°

"Hidup enggak mudah buat orang-orang dengan pikiran yang terlalu banyak berpikir dan hati yang sensitif."

Adit memilih membiarkan mobilnya diam sejenak di tepi jalanan. Membiarkan Dita untuk bercerita malam ini. Memberikan ruang agar semua keluh kesahnya tertampung.

"Kesedihan emang perasaan manusia yang paling murni."

"Gue gak sedih, gue tersesat--" balas Dita dengan kedua kakinya yang terangkat di tekuk di atas kursi yang di duduki. "Terkadang gue bertanya sama diri sendiri, apa tujuan hidup gue? Gue bertanya pada diri sendiri mau jadi apa atau di mana gue mau ngeliat diri gue di masa depan? Sejujurnya gue ngerasa banyak tekanan karena ngelihat orang lain ngejar tujuan mereka dan ngewujudin impian mereka sendiri, itu ngebuat gue ngerasa bener-bener kecewa sama diri sendiri."

Dita, gadis itu mulai merubah posisi untuk bersila dan menghadap Adit sepenuhnya.

"Lo tahu gak sih Dit rasanya, gue masih belum bisa mikirin apa yang mau gue lakuin dalam hidup? Beberapa orang sibuk bekerja keras buat hal-hal yang mereka miliki, sementara gue?" Gadis itu menggeleng pelan. "Selama gue di sini, gue cuma berusaha bergerak ngikutin arus kehidupan. Gue masih belum tahu gimana caranya ngebuat diri gue bangga suatu hari nanti." Tambahnya.

Adit mengerti kegaduhan yang sedang gadis itu hadapi. Tidak mudah untuk semua remaja beranjak dewasa, menghadapi dunia yang sebenarnya.

"Terkadang, gue gak bisa nahan diri buat bilang sama diri gue sendiri kalo gue gak berharga. Gue ngerasa iri, mereka yang perlahan-lahan mencapai impiannya. Gue bahkan enggak tahu ke mana tujuan gue dalam perjalanan ini, Dit?"

Adit yang tadi hanya diam, kini membuka suaranya ketika gadis itu tertunduk. "Gue berharap gue juga bisa segera tahu mau jadi apa. Gue berharap suatu hari nanti gue gak perlu lagi bekerja keras buat sesuatu yang enggak gue sukai. Meski gue ngerasa semesta meninggalkan gue, gue masih berkata pada diri gue sendiri kalo mungkin waktu yang tepat masih bakal datang buat gue. Mungkin di saat yang tepat, gue bakal wujudkan passion gue atau segala hal yang gue sukai buat jadi sukses dalam hidup. Setidaknya itulah yang terjadi."

Dita menatap wajah Adit.

"Apa yang gue bilang, itu buat ngehibur diri gue sendiri. Bahwa enggak apa-apa terjebak dalam situasi ini selama gue bersabar. Enggak apa-apa kalo gue ngerasa tertunda dalam meraih kesuksesan selama gue terus melangkah. Suatu hari, gue tahu bahwa gue bakal baik-baik aja." Ucap Adit, sukses membuat Dita mau tersenyum.

"Lo bener." Ucap Dita merasa malu.

"Dan mungkin, di waktu yang tepat dan ada ridha Tuhan, gue juga bakal menjalani hidup yang penuh kebahagiaan, harapan, kesuksesan dan semua impian gue bakal terwujud selama gue gak pernah kehilangan harapan dan kepercayaan pada Tuhan, semua akan baik-baik aja pada diri gue pada waktu yang tepat." Tambah cowok itu masih memperhatikan Dita.

Dita mendengus keras. "Apa cuma gue atau apa 2023 emang ngerasa gak enak? Segalanya membosankan, cuacanya aneh, musim panas terasa tidak enak. Dunia tidak menyenangkan lagi. Melanggar aturan adalah untuk kesenangan. Orang-orang kasar dan egois. Setiap orang kehilangan teman, hubungan berantakan. Sepertinya kita semua terjebak. Tidak ada emosi lagi. Tahun 2023 memang aneh, tapi tahun 2022 terasa sangat menyedihkan." Adit hanya mampu menahan tawa saat mendengar kalimat dari perkataan temannya itu bilang.

"Kita semua tumbuh dewasa dan melupakannya." Ucap cowok itu. "Suatu hari nanti, seseorang bakal ngelihat lo dengan cahaya di matanya yang belum pernah lo lihat, mereka bakal ngelihat lo seolah lo adalah segalanya yang mereka cari dalam sepanjang hidup mereka. Menunggu untuk itu." Seakan terhipnotis akan kata-katanya, Dita menatap Adit begitu lekat.

"Tapi lo gak pernah sadar betapa kesepiannya gue sampai hari itu tiba, dan gue punya banyak hal untuk dibicarakan tapi gak ada orang yang bisa diajak bicara." Ucap Dita masih menatapnya.

Kedua tangan yang bertumbuh kekar itu terangkat untuk memegang bahu seseorang di depannya agar tetap tegap. "Itu adalah jenis rasa sakit yang berbeda ketika hati lo nangis tetapi mata lo enggak." Ucapnya membalas menatap lekat-lekat.

"Dan gue benci betapa cepetnya mata gue berkaca-kaca setiap kali gue terluka atau marah." Sambung Dita terlihat menyunggingkan senyum miringnya.

“Jangan pernah berhenti tersenyum, bahkan ketika lo lagi sedih, seseorang mungkin bakal jatuh cinta sama senyuman lo.” Aditia Putra Hallen. Cowok itu benar-benar mengatakannya. "Boleh gue liat senyuman lo yang manis?" Pintanya, justru membuat sang lawan bicara tertawa.

Adit melepaskan tangan di bahunya Dita. Ia hanya ikut menyunggingkan senyum malunya karna sudah mengatakan itu.

"Lo, bener-bener udah hibur gue banget Dit." Ucap Dita saat ia sudah berhenti tertawa. "Makasih udah mau dengerin curhatan gue." Ucapnya benar tulus.

Adit mulai menyalakan mesin mobil. Kembali memasang sabuk pengamannya yang sempat ia lepas untuk bercerita. "Setidaknya satu menit hari ini berjalanlah di luar, berdiri dalam diam, menatap ke langit, dan merenungkan betapa menakjubkannya hidup ini." Ucapnya pada gadis yang sekarang sedang menyengir dan merubah posisinya untuk menghadap depan, walau dengan kaki yang masih bersila.

“Lo tahu?" Ucap Dita membuat Adit menoleh sekilas padanya. "Bertemu sama lo adalah salah satu saat terbaik dalam hidup gue." Ucapnya tersenyum lebar.

"Oh ya?" Tanya Adit menatap Dita dari samping, tersenyum senang.

Gadis itu mengangguk. "Heem. Gue juga suka ngabisin waktu sama lo. Lo adalah guru pelajaran terbaik buat gue." Ucapnya, kali ini membuat Adit tertawa.

“Lo tahu, pengalaman adalah jenis guru yang paling sulit. Itu ngasih lo ujian terlebih dahulu dan pelajaran sesudahnya." Ucap Adit di sela menjalankan mobilnya untuk pulang. "Dan lo tahu, menjadi bodoh, egois, dan memiliki kesehatan yang baik adalah tiga syarat kebahagiaan, meskipun jika kebodohan gak ada, maka hilanglah segalanya." Ia memberitahu.

"Gue gak ngerti." Dita justru menggeleng.

"Suatu hari lo bakal melihat ke belakang dan menyadari bahwa lo khawatir tentang hal-hal yang enggak terlalu penting." Adit masih berbicara. "Orang-orang yang memperhatikan badai di mata lo, kesunyian dalam suara lo, dan beban di hati lo adalah orang-orang yang harus lo biarin masuk."

"Kaya lo, misalnya?" Tanya Dita memperhatikan cowok itu dari samping.

"Maybe." Jawabnya.

"Lo mau gitu, masuk kedalam hidup gue yang suram nan gelap ini?"

"Maybe."

"Mungkin apa?"

"Mungkin semua orang ingin menjadi matahari untuk mencerahkan hidup seseorang, tapi kenapa enggak jadi bulan yang menyinari saat tergelap seseorang?"

Skat. Dita terdiam dengan jawaban yang cowok itu berikan. Adit seolah mengerti dengan apa yang kini ia butuhkan.

••∞••

PART VIVETHEEN

"Mungkin apa?"

"Mungkin semua orang ingin menjadi matahari untuk mencerahkan hidup seseorang, tapi kenapa enggak menjadi bulan yang menyinari saat tergelap seseorang?"

Broken Girl Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang