Laras.
"Jadi, masalahnya itu rubrik yang kita buat kemarin di portal Kementerian dibilang terlalu mendasar untuk mencakup semua perencanaan soal pengembangan pemberdayaan masyarakat di luar negeri. Kajiannya dibilang monoton, cara penulisan artikel yang membosankan juga ikut dikritik."
Didn't I tell them about this before?
Bisa bayangin nggak kalau gue harus datang sepagi ini—jam 7 pagi—ke kantor hanya untuk merundingkan masalah salah satu rubrik kami di portal Kementerian yang harus dikaji ulang, sementara kejadian semacam ini terus-terusan terjadi akhir-akhir ini hanya karena mereka—yang mengaku senior—yang mengaku lebih berpengalaman—nggak mau menerima saran.
Hanya karena satu rubrik itu, kami dibuat keteteran semacam ini! Kalau aja mereka mau dengar, at the very least, they can try studying the revisions I've been working on so we don't have to have these spontaneous meetings anymore due to criticism.
Sayangnya, mereka nggak mau dengar. And this kind of thing has to happen for the umpteenth time.
Saking bosannya, gue harus menahan kantuk di kursi gue sekarang sambil menatap wajah super tegang beberapa staf dan Bu Nias yang wajahnya terlihat pucat pagi-pagi begini.
Nggak capek apa mereka harus tegang begini setiap kami upload rubrik ke portal Kementerian?
"Mirisnya, kesalahan kita kali ini jadi tersebar dan melebar ke mana-mana—termasuk ke beberapa platform sosial media." Mas Tara, salah satu penasihat komunikasi Bu Nias mendadak menatap ke arah gue. "Mungkin karena atensi masyarakat juga lagi terarah ke Laras yang memang kerja di sini, jadi masyarakat luas juga mencoba mencari-cari kesalahan kecil dari sini."
Sebentar, apa barusan gue ikut disalahkan? Apa gue barusan dapat limpahan kesalahan yang sama sekali nggak gue lakukan?
"Maaf." Gila kali kalau gue diem aja! Meski mendapat pelototan tajam dari Bu Nias, gue menginterupsi pembicaraan Mas Tara. "Ini, 'kan, kita lagi membahas soal pekerjaan—soal kesalahan dan kekurangan rubrik kita di portal Kementerian? Bisa nggak kita fokus ke sana dulu, tanpa harus mencampur-adukkan ini dengan hal pribadi saya yang sama sekali nggak ada relevansinya di sini?" Ini gue masih mencoba bicara baik-baik, ya...
Sialnya, gue malah mendengar Mas Tara berdecak keras. Dia yang memang tadi berdiri di sebelah Bu Nias langsung mengarahkan posisi tubuhnya agar bisa menghadap gue yang duduk di kursi paling pojok dari sisi meja. "What makes it irrelevant, Ras? Kamu sudah liat berita soal keluargamu belum? You and your family are the focus of numerous media outlets, and your presence here plainly draws their attention to looking for something from here—di tempatmu bekerja," katanya sambil melemparkan tatapan tajam ke arah gue.
Tau nggak yang lebih menyebalkannya lagi, beberapa orang di sini seakan ikut membenarkan apa yang dikatakan Mas Tara dengan menganggukan kepala mereka.
Hei, kenapa masalah gue ikut kebawa-bawa, sih?
Ras, take a breath, and then exhale...
Lo butuh pikiran dan hati yang tenang untuk melawan orang-orang semacam Tara dan lainnya...
Gue menarik napas, lalu membuangnya perlahan. Suasana di dalam ruang meeting berubah hening untuk beberapa saat, sementara itu tatapan dan fokus semua orang yang ada di sini mengarah lurus ke gue.
"Gimana kalau kita balik, deh, posisinya." Mas Tara mengerutkan keningnya, antara malas mendengarkan ucapan gue dan merasa heran karena gue masih mau membantah perkataannya. "Kenapa nggak kita balik bahas soal rubrik kita di portal Kementerian dulu. Kalau misal nggak ada kesalahan di sana, apa kita bakal ngumpul di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
WEARING A CAT ON OUR HEADS (COMPLETED)
ChickLitShimika Bowers once stated, "Do they love you or the mask you put on every day?" Smiles, warmth, and kindness are all traits that both of them must exhibit in public to keep their family's reputation intact. "Never take that mask off!" they said. Th...