A New Leaf

7.9K 1.2K 147
                                    

Laras.



"Mbak Laras, ngomong sebentar, dong!"

"Tanggapannya dong, Mbak, soal kasus korupsi Bapak Hisyam dan Mbak Ajeng. Sebagai keluarga, perasaan Mbak Laras gimana?"

What type of ridiculous question did I just hear?

"Mbak komentarnya soal kasus narkoba yang dihadapi Mas Johan, dong? Sedikit aja, Mbak!"

"Rencana pernikahan yang dibatalkan itu apa karena ada kaitannya dengan kasus besar yang dihadapi keluarga Prastajaja sekarang, ya, Mbak?"

"Mbak, mau tanya soal kebenaran rumor kucuran uang dari keluarga Prastajaja di bisnis yang dijalankan Mbak Laras. Apa benar, Mbak?"

"Bagi cerita sedikit soal pemeriksaan tadi dong, Mbak!"

Stop...

You're all making a lot of noise-too loud...

Memangnya ada banyak wartawan yang datang sekarang? Berita soal pemeriksaan gue hari ini menyebar cukup cepat ternyata.

"Sorry, ya, Mas, Mbak..." Untungnya, sejak keluar dari kantor kepolisian, 6 orang dari tim pengacara Pak Edgar melindungi gue dengan berdiri memutari tubuh gue setelah melihat kerumunan wartawan yang sigap menunggu gue di luar pintu utama. "Nanti akan ada konferensi pers-nya, jadi ditunggu, ya."

Beberapa polisi juga ikut berjaga di sekitar kami, membantu gue dan tim pengacara membelah jalanan yang dipenuhi pihak wartawan untuk menuju tempat parkir mobil.

Salah satu tim pengacara yang berdiri di sebelah gue juga sigap membantu menutupi wajah gue yang sebenarnya sudah tertutupi dengan masker dengan kertas map di tangannya, menghindarkan sorotan kamera wartawan yang mencoba untuk menyorot wajah gue.

Yang bisa gue lihat dari sini hanya banyak sepatu dan langkahku sendiri yang terlihat lambat.

Seingat gue, dulu gue begitu percaya diri di depan kamera wartawan. Senyum gue selalu terulas lebar, tutur kata gue selalu tersusun untuk menjawab setiap pertanyaan yang diberikan wartawan.

Doesn't time make a huge difference?

Sekarang gue cuma bisa menundukkan kepala, merasa takut dan was-was di hadapan banyak kamera. Nggak ada satu katapun yang bisa keluar dari bibir gue yang tertutup masker, I couldn't think of an appropriate response to the journalist's questions right now.

"Ini Mbak Laras mau langsung pulang ke apartemen atau mau mampir ke tempat lain dulu?" Mas Darius-salah satu tim lawyer yang membantu gue-yang juga menjadi supir dadakan yang mengantar gue hari ini--menyahut dari bangku depan mobil.

Lamunan gue buyar, seketika kepala gue menghadap ke depan-tepat ke arah beberapa wartawan yang berdiri menghadang mobil yang sedang gue tumpangi.

"Kalau mampir dulu ke tempat lain, apa nggak merepotkan, ya, Mas?" Harusnya gue tau diri nggak, sih? Kepala gue buru-buru menggeleng. "Drop aja di tempat yang agak sepian aja, deh, Mas, biar saya berangkat sendiri," kata gue melanjutkan dengan perasaan segan.

Lewat rear-vision mirror, gue bisa melihat Mas Darius menatap gue. "It's okay, sekalian aja. Mbak Laras mau ke mana memangnya?" tanyanya, kali ini kepalanya menoleh ke belakang-menghadap gue.

"Ke Pullman. Bisa nggak, ya, Mas?"

Setelah melempar pertanyaan barusan, gue bisa merasakan kalau mobil yang kami tumpangi mulai melaju meski sangat pelan. Beberapa aparat kepolisian membantu untuk mengendalikan beberapa wartawan yang mencoba mendekati mobil, sementara Mas Darius di belakang kemudi terlihat menekan klakson beberapa kali dengan harapan beberapa wartawan akan menyingkir dari depan dan samping mobil.

WEARING A CAT ON OUR HEADS (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang