Hestamma.
Alunan Chopin: Nocturne Op 9 No. 2 dari duet piano dan biola yang dimainkan Ibu dan Anggar terdengar mengalun merdu mengiringi acara soirée yang digelar Ibu hari ini. Dari arah halaman belakang, gue masih bisa menikmati permainan Ibu yang nggak pernah menghilangkan rasa kagum gue dari kemampuan bermain pianonya itu.
Sebenarnya, semalam Ibu mengungkapkan niatnya untuk mengajak gue melakukan duet di acara soirée hari ini. Dia bilang ingin memainkan Beethoven Sonata for Piano & Cello in G minor Op.5 No.2, Kempff, Fournier—yang tentunya hanya bisa Ibu mainkan bersama gue. Tapi, mendadak rencana Ibu berubah waktu tahu kalau Anggar—adik gue—bisa pulang ke Jakarta dan memastikan kedatangannya ke acara soirée hari ini.
Dibanding gue yang masih sering bolak-balik pulang dari Singapore ke Jakarta, Anggar yang sekarang menjadi konduktor LightHouses Orchestra dan sedang menjalankan tur dunianya memang jarang pulang dan berkumpul bersama kami. Karena kesempatan ini hanya bisa datang sesekali, Ibu—yang gue yakin lebih rindu mendengarkan permainan biola Anggar—akhirnya memutuskan untuk melakukan duet dengan Anggar sebelum pria berumur 30 tahun itu harus berangkat ke Australia tengah malam nanti.
"Ayah pikir kamu bakal bawa seseorang buat datang hari ini."
Gue mengisap rokok gue dengan tenang, despite the fact that Ayah's query just now nearly caused me to have a heart attack. Bukanya gimana-gimana, tapi setahu gue Ayah bukan orang yang ingin tahu atau ikut campur soal masalah-masalah beginian.
Asap rokok keluar dari sela bibir gue, "I brought myself, as usual," jawab gue sambil melirik ke arah Ayah yang berdiri bersebelahan dengan gue, memilih melihat penampilan Ibu dan Anggar dari halaman belakang rumah.
"Berarti rumornya nggak bener..."
"What rumors?" Gue menjauhkan batang rokok gue dari bibir, sedikit merasa tertarik dengan ucapan Ayah barusan.
Ayah mengedikkan bahunya ke arah dalam rumah, tepatnya ke satu sosok yang sedang asyik mengobrol dengan beberapa rekan Ibu yang diundang di acara ini juga. "Jatmika bilang kamu sudah punya pacar, anak QuickGuide juga. Tapi, sengaja kamu sembunyikan," jelasnya, menatap Jatmika yang kini melambaikan tangan ke arah gue dan Ayah.
Ah, memang Ayah bisa tau dari siapa lagi kalau bukan dia orangnya?
Gue masih heran soal dari mana Jatmika bisa dapat rumor-rumor nggak bener semacam ini, dan dengan pedenya dia ngasih tau ke orang lain—atau lebih detailnya ke orang tua gue.
"Berarti rumornya nggak bener, Mas?" tanya Ayah lagi, mungkin untuk memastikan.
Kepala gue mengangguk singkat, "Belum ada, Yah." Ayah ikut menganggukan kepalanya begitu mendengar jawaban gue barusan.
Seperti apa yang sudah gue duga, selanjutnya Ayah cuma diam karena gue tau dia nggak begitu peduli. He had more important things on his mind, dan hal itu sudah bisa dipastikan lebih penting daripada mengurusi masalah percintaan anak-anaknya.
Lagipula, gue juga nggak punya alasan kenapa gue sampai harus menyembunyikan hubungan gue—similar to what Jatmika mentioned before—di saat gue bener-bener perlu menunjukkan pasangan gue ke keluarga dan orang lain yang mulai berpikiran yang nggak-nggak tentang gue.
Tau, lah, selentingan semacam apa yang sering gue dengar dari orang-orang bermulut usil di luar sana. Di umur gue yang menginjak 39 tahun ini, banyak orang yang mempertanyakan status single yang gue punya. Awalnya, gue mungkin bisa diemin, tapi lama-kelamaan risih juga karena orang-orang makin nggak tau diri dengan ngomong langsung di depan gue.
"Selamat sore, Mas Tama, Pak Wiyasa."
Gue hampir aja tersedak asap rokok gue sendiri waktu mendengar sapaan yang dibuat Werni ketika menghampiri gue dan Ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEARING A CAT ON OUR HEADS (COMPLETED)
Literatura FemininaShimika Bowers once stated, "Do they love you or the mask you put on every day?" Smiles, warmth, and kindness are all traits that both of them must exhibit in public to keep their family's reputation intact. "Never take that mask off!" they said. Th...