As Safe As Houses

14K 1.3K 504
                                    

Hestamma.



"Baru nyampe Jakarta, Hes?"

Gue mengedik ke arah koper yang gue letakkan di ruang tengah rumah Narendra, "Sampai nggak sempet mampir ke mana-mana. Rewel banget temen lo." Gue berdecak, menyusul duduk di sebelah Katon.

"Kangen, lah, sama kamu." Tubuh gue berjengit waktu menerima lemparan bola rugby yang mendadak datang ke arah gue dan Katon. "La, jangan mulai... Jangan nyalahin kalau nanti dilempar balik lebih keras, ya!" Gue terkekeh, melempar bola rugby lumayan keras ke arah Hatalla yang sedang bermain lempar bola rugby bersama Radhika dan Jatmika. "Dia juga kangen sama kamu, tuh," kata Katon menunjuk ke arah Hatalla.

"Lo nggak kangen gue gitu?" Gue sengaja mengedipkan salah satu mata waktu Katon menolehkan kepalanya ke arah gue.

Wajah Katon langsung berubah datar, "Kamu minta ditonjok?"

Gue mendengkus, menepuk bahu Katon keras sampai membuat sahabat gue satu itu berdecak keras. "How about you? Isn't it true that things are getting better?" Mengabaikan teriakan yang dibuat Hatalla karena mendapatkan lemparan bola rugby dari Jatmika dan Radhika secara bersamaan, gue menatap ke arah Katon yang duduk di samping gue—di salah satu kursi taman di taman belakang rumah Narendra.

"Ya, begitulah..." Katon mengedikkan bahu, meski begitu gue melihat senyum yang terulas di bibirnya. "And what about you? It's been a year since you returned to Indonesia, kan?" tanyanya balik, mengalihkan topik pembicaraan kami.

Jatmika di depan sana tertawa keras, menyoraki Radhika yang berhasil melempar bola rugby sampai membuat Hatalla kewalahan menangkapnya bola rugby terlempar jauh dari jangkauannya.

Kepala gue mengangguk sekali, "Udah setahunan ternyata. Nggak kerasa, ya?"

Memang setelah resmi pindah kerja ke Quick Guide London, gue sudah sangat jarang kembali ke Indonesia. Biasanya mereka—sahabat dan keluarga gue—yang mampir ke London, menghabiskan waktu liburan ke sana atau sekedar pergi transit untuk bertemu dengan gue sebentar.

Kalau ditanya alasan kenapa gue nggak balik ke Indonesia sama sekali selama 1 tahunan ini, karena fokus gue benar-benar tertuju ke pekerjaan yang sedang gue kerjakan sekarang. As Head of Actuarial, I have complete control over my schedule, which is exactly what I want.

It's a process I'm working on.

Fortunately, my family and those closest to me appreciated my decision; they weren't against it too much and attempted to comprehend my perspective. Selama setahun ini, gue nggak pernah menerima keluhan baik dari keluarga, sahabat gue, dan—

"Mas Estanya akuuuuu..."

Ini dia...

Senyum gue terulas lebar melihat sosok perempuan dengan balutan kebaya kutu baru berwarna hitam berdiri sambil merentangkan tangannya di depan pintu penghubung taman belakang dan area dapur rumah Narendra.

Di sela suara memekik yang dibuat Laras, gue mendengar suara decakan yang dibuat Katon yang nggak tau kenapa malah membuat gue merasa geli.

"Lah, kok, nggak ke sini?" tanya Laras, masih sambil merentangkan tangannya. Mungkin dia bertanya-tanya kenapa gue nggak menghampirinya.

Tangan gue melambai, menyuruh Laras untuk berjalan ke arah gue. "Kamu yang ke sini."

Meskipun jarak kami cukup jauh, gue bisa tau kalau Laras barusan berdecak sebelum memaksa dirinya berjalan ke arah gue.

"Centilnya dia nggak berubah sama sekali," komentar Katon sebelum dia beranjak dari kursi, ikut menangkap bola rugby yang baru saja dilempar Radhika.

Gue cuma bisa tertawa kecil menanggapi komentar Katon barusan. Kalau aja dia tahu, sosok yang dilihatnya sekarang pernah hilang, begitu sulit untuk kami—Laras sendiri cari—sebelum dia kembali lagi sekarang, setelah 1 tahun terlewati.

WEARING A CAT ON OUR HEADS (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang