Grasping at Straws

8.6K 1.2K 207
                                    

Laras.



This hurts...

"Maaf, ya, Dek Ayu. Tunggu sebentar lagi. Kamu harus bertahan, ya. If all goes as planned, kamu harus datang ke aku dengan sosokmu yang dulu—yang menyebalkan itu. I'll wait for you for as long as it takes, so take it slowly, okay?"

It hurts and suffocates... It feels so heavy...

Sekuat apa pun gue berusaha menahan sesak, gue masih tetap kesulitan untuk bernapas. Sambil terlentang di atas ranjang, serentetan kalimat yang gue dengar dari Hestamma—dari kedatangannya ke apartemen secara diam-diam—memenuhi benak gue.

It's been two weeks, yet the feelings of sadness and tightness haven't gone away. Di balik kesibukan gue, dari semua masalah-masalah berat yang harus gue selesaikan, kalimat yang gue dengar dari Hestamma semacam menghantui.

Sebenarnya malam itu, gue ingin membuka mata—melihat sosok Hestamma—menatap keseluruhannya yang begitu gue rindukan. But, at the same time, I also didn't have the courage to look directly at Hestamma, which suddenly seemed so far away—impossible.

Dari semua ketidakpastian yang gue lewati, dan masalah-masalah lain yang menunggu untuk gue selesaikan, gue nggak mau terlena. Gue sudah berjanji ke Hestamma untuk memulai semuanya dengan cara benar, kalau gue akan menemuinya dengan sosok gue yang memang pantas untuk mendampinginya. Bukan cuma untuk Hestamma, tapi untuk diri gue sendiri juga.

Gue juga butuh membuktikan kalau apa yang selama ini gue usahakan 'sendiri,' memang ada nilainya. Gue butuh kepercayaan diri gue yang dulu kembali lagi. Gue butuh sorot mata yang dulu gue punya. Gue butuh keseluruhan diri gue yang dulu untuk kembali—or at least better than before. Gue butuh untuk bertemu dengan sosok gue yang dulu itu—sosok yang pernah begitu membanggakan untuk diri gue, juga—mungkin—yang dicintai sosok Hestamma.

Gue perlu menemuinya.

And it turns out that not everything is so simple for me.

Belum cukup gue harus menerima fakta kalau pada kenyataannya Papa sama sekali nggak berubah, tentang bagaimana cara mereka—yang menyebut dirinya sebagai keluarga—menggunakan gue untuk keuntungan mereka, gue juga harus berhadapan dengan kenyataan lain soal keluarga Prastajaja—keluarga Johan—yang nggak dengan mudah melepaskan keluarga kami begitu saja setelah keluarga mereka tersandung banyak masalah besar yang menyita perhatian seluruh masyarakat.

Setelah Papa dijadikan tersangka di salah satu kasus penyuapan bisnis keluarga Prastajaja—di mana sebenarnya Papa cuma menerima perintah dari Pak Adi—Ayah Johan—untuk mengurusi sementara salah satu bisnis keluarga Prastajaja itu. Well, tahu sendiri gimana Papa merasa begitu bersemangat rather than suspicious about the offer that came from one of our country's most powerful political families. (ini sesuai dengan apa yang dikatakan Papa dan Mbak Ajeng, ya.)

Nggak lama setelah putusan itu, gue dan Mama mendapat kabar yang nggak kalah mengejutkan lagi waktu tau nama Mbak Ajeng juga terseret ke salah satu kasus korupsi di partai di mana dia bekerja—partai milik keluarga Johan.

"Dek..."

Gue buru-buru mengangkat tubuh dari atas ranjang, "Iya, Ma?" Pintu kamar gue terbuka sedikit, memperlihatkan Mama yang tampak mengintip dari arah luar pintu. "Kenapa?" tanya gue, bangkit dari ranjang dan berjalan menghampirinya.

"Kamu tidur?"

Menarik pintu kamar agar terbuka lebar, gue menggelengkan kepala. "Belum. Kenapa memangnya, Ma?" Gue mengerutkan kening ketika mendapati wajah Mama yang entah kenapa keliatan sedikit tegang.

WEARING A CAT ON OUR HEADS (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang