Set Everything Right

8.6K 1.2K 199
                                    

Laras.



I believed I was being overly naive because I assumed everything would be simple for me to pass. I believe I only need to remain apathetic, and then all will be done—I will be able to live blissfully, as I have always desired.

Ternyata, semuanya nggak semudah apa yang selama ini gue skenario-kan di pikiran gue. Everything seemed to be beyond my control, di luar apa yang selama ini coba gue prediksikan. Gue pikir meninggalkan semuanya—keluarga gue—who definitely does not care about my well-being—akan jadi momen paling melegakan yang akan pernah gue rasakan, tapi kenyataannya semuanya nggak bertahan lama.

Kebahagiaan dan kelegaan yang gue rasakan di awal berubah menjadi kebimbangan dan ketakutan dengan cepat. Gue merasa bersalah, menyadari kalau apa yang gue lakukan—something I previously welcomed with such joy—ternyata membawa kesengsaraan untuk orang-orang yang sayangnya masih gue pedulikan.

Gue bahkan nggak benar-benar bisa menggambarkan perasaan apa yang gue rasakan sekarang.

For a little while, it appears as if someone is attempting to force you under the water, then lifts you up, allowing you to take a small breath of air, then lowers you back into the water, and repeats.

"Keluarga Gumilar bersedia membantu." Suara Papa yang terdengar dari sambungan telepon bersama Mama hanya bisa membuat gue menatap kosong ke arah Mama yang balik menatap gue dengan sorot yang nggak bisa gue deskripsikan. "Kami sudah ketemu beberapa hari lalu di rumah mereka. Pak Wiyasa menjanjikan bantuan untuk masalah pencucian uang yang melibatkan keluarga kita."

It is not our problem, but yours.

Gue bisa melihat Mama menggeleng-gelengkan kepala di sofa yang didudukinya—di ruang tengah apartemen Mama—saat Papa bicara barusan.

"Kamu bisa pulang sekarang." Mama mendengkus, "Ajak Laras sekalian. Bujuk dia buat pulang ke rumah," lanjutnya yang refleks membuat gue mendengkus.

Mama sempat menatap ke arah gue sebentar, sebelum menatap handphone miliknya yang tergeletak di atas meja ruang tengah. "Kamu pikir Laras masih mau pulang?" Nada Mama terdengar meninggi. "Do you think I don't know what you're up to? Aku tahu dari lama kalau kamu memang gila, tapi aku sama sekali nggak berpikiran kalau kamu bisa sampai sebegini sintingnya!" Mama berteriak dengan keras, mengambil handphone dari meja dan berdiri dari sofa yang didudukinya.

Have you ever had the same experience? Perasaan yang saking sedihnya, lo sampai nggak bisa ngapa-ngapain, nangis pun kayak yang capek banget gitu, loh? That's how I'm feeling right now. Bahkan, merasa sedih aja gue udah nggak mampu.

Sekelebatan ingatan tentang apa yang gue dan Mama dapatkan semalam membuat sesak itu kembali muncul. Kepala gue tertunduk dalam, mencoba menahan tangis ketika mendengar suara keras yang dibuat Mama dan Papa bersahutan.

"Maksud kamu apa ngomong begitu, Ya? Aku sama Ajeng di sini susah-susah cari jalan keluar buat masalah keluarga kita, sementara kamu—kamu ngapain aja? Bukannya bantu, kamu malah ngomong sembarangan gitu!"

Suara helaan napas berat Mama terdengar cukup jelas sebelum ia menimpali perkataan Papa, "Ngapain? Kamu tanya, aku ngapain selama kamu kesulitan?" Mama mengulang kembali beberapa ucapan Papa dengan nada yang cukup keras. "Stop bilang kalau apa yang kamu hadapi sekarang itu masalah keluarga kita! Kita mana yang kamu bahas? Keluarga mana yang kamu maksud? Kamu sama Ajeng maksudnya?" Berbanding terbalik dengan nada keras yang dibuat Mama, suaranya malah makin terdengar kecil di telinga gue.

Dari sofa yang gue duduki, mata gue mengikuti langkah Mama yang bergerak menuju arah pintu balkon—berdiri di depannya dengan salah satu tangan terlipat di sisi pinggang.

WEARING A CAT ON OUR HEADS (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang