contains mature content appropriate for readers aged 21 and up. Please be wise and read books suited for your age. Thank you for your time.
Hestamma.
"Kamu yang buat, Mas?"
Toh, pada akhirnya bakal ketauan juga, 'kan? Bahkan, tanpa perlu gue sembunyikan, Ayah bakal tetap mengarahkan semuanya—apa yang sedang ramai beberapa jam lalu di seluruh pemberitaan media itu—ke gue.
Ayah keliatan menganggukan kepalanya sambil menghela napas panjang, ia berdiri dari kursinya—berjalan pelan dengan raut wajah khawatir yang baru aja gue liat pertama kalinya seumur hidup gue mengenalnya.
"Kamu serius?" Ayah berhenti melangkah, dia memutar tubuh sampai menatap gue yang duduk di salah satu single sofa yang ada di ruangan kerjanya.
Setelah memastikan semuanya beres—termasuk menemui Laras—gue memutuskan untuk pergi ke rumah orang tua gue, meski Ayah atau Ibu belum menyuruh gue untuk pulang. Kalau bisa, gue yang menjelaskan lebih dulu ke mereka daripada mereka tahu sendiri nantinya.
Kepala gue mengangguk, "Persis seperti apa yang Ayah lihat di situ." Tatapan gue terarah ke iPad gue yang kini tergeletak di atas meja kerja Ayah.
Apa gue merencanakan semuanya secara diam-diam? Mana bisa? Yang gue minta tolongi—semuanya—merupakan rekanan baik orang tua gue, tanpa memberitahu Ayah dan Ibu soal rencana gue, gue nggak akan bisa ada di sini untuk menunjukkan hasil dari usaha gue selama beberapa bulan ini.
Ayah lagi-lagi membuang napasnya kasar, "Kamu... Seserius itu, Mas?"
Memangnya gue keliatan kayak bercanda, ya, waktu meminta izin dari Ayah untuk meminta bantuan ke beberapa rekanan kerjanya?
Ayah mungkin lebih ke nggak percaya aja, sih, kalau gue akan sebegini nekatnya. Karena gue masih ingat tentang bagaimana respons Ayah waktu itu, dia seakan cuma mengiyakan—berpikir kalau gue cuma membual doang.
Lagi-lagi, gue cuma bisa menganggukan kepala sebagai jawaban.
"Kamu tahu, 'kan, kalau semuanya nggak akan selesai begitu aja?" Ayah lalu berjalan menuju sofa yang ada di hadapan sofa yang sedang gue duduki sekarang. "How much support did you get for getting this kind of news out?" tanyanya ketika dia sudah duduk berhadapan dengan gue.
"Lots. and they all hail from powerful families—some even have more influence than the Prastajajas." Akan sangat memakan waktu kalau gue harus menyebutkan kalau gue mendapatkan bantuan dari keluarga Hartadinata, Prabaswara, Adiwangsa, Gunawan, Cokroatmojo, Brawijaya, dan juga keluarga Kawiswara yang memperkenalkan gue ke relasi terdekatnya, seperti keluarga Adiguna, Santoso, Nareswara, Sutedja, Mahendra, termasuk keluarga Werni yang menyambut permintaan gue dengan senang hati.
Mendengar pengakuan barusan, bukannya terlihat lega—Ayah malah memijat sisi pelipis kepalanya. Sepertinya ucapan gue sebegitu mengejutkannya bagi Ayah. "You brought all of that... only for one woman?"
Iya. Gue melakukan ini semua hanya untuk satu wanita. Laras.
"If I have to risk a lot of things in order to get her, I'm willing to do everything that's considered impossible, like what I'm doing now."
Masih sambil memijat pelipisnya, Ayah melirik singkat ke arah gue. "Kenapa baru sekarang, sih, Mas? Kalau mau buat masalah seperti ini, kenapa kamu nggak gerak dari dulu? Kenapa timingnya harus pas sama rencana pernikahan Laras dan Johan? Yang kamu bikin geger itu—" Ucapan Ayah terputus, dan disambung dengan gelengan kepalanya yang cukup menjelaskan lanjutan kalimatnya tadi.
Bukan cuma Ayah, gue juga menerima pertanyaan yang kurang lebih sama dari beberapa orang yang gue mintai tolong.
Kenapa baru sekarang? Apa gue sengaja mengulur waktu sampai selama ini untuk mendapatkan Laras.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEARING A CAT ON OUR HEADS (COMPLETED)
ChickLitShimika Bowers once stated, "Do they love you or the mask you put on every day?" Smiles, warmth, and kindness are all traits that both of them must exhibit in public to keep their family's reputation intact. "Never take that mask off!" they said. Th...