On Top of the World

9.2K 1.3K 387
                                    

Laras.



Shouldn't I be happy right now?

Maksudnya, gue, 'kan, pada akhirnya mendapatkan keinginan yang gue mau dengan mudah. Bersama Hestamma—which should have been tough for me due to the many challenges that surround me—sekarang ada di depan mata.

But why am I feeling so conflicted?

Gue bahagia, tapi banyak sedihnya.

"Maaf, ya, Bu, saya baru sempat telpon Ibu balik." Suara Joey terdengar keras dari handphone yang gue letakkan di atas ranjang secara bersamaan. "Seharian ini Bapak full sekali jadwalnya. Ini Bapak baru sampai hotel, Bu. Rencananya nanti malam baru berangkat ke Nice," ujarnya, menjawab pertanyaan yang sempat belum gue tanyakan.

Well, sejak tahu kalau Hestamma akan menyusul ke Monaco, gue memang lebih sering menghubungi Joey untuk mengetahui jadwal dan segala hal yang bersangkutan dengan Hestamma daripada menanyakannya langsung ke pria itu.

"It's okay, Joey." Gue menjawab sambil masih menyisir rambut gue. "Sorry, ya, tadi telpon waktu kamu lagi sibuk."

"Bukan masalah besar, Bu." Joey menanggapi cepat sambil tertawa kecil. "Bapak tadi ada urusan sebentar di Paris, mau istirahat dulu di Maison Proust sebelum nanti malam balik ke airport," jelas wanita itu, kali ini jauh lebih detail daripada sebelumnya.

Semenjak Joey dan Jeremy menjadi asisten pribadi dari Hestamma, gue jadi lebih mudah untuk tahu keseharian pria itu. Jangan salah, ya, bukan berarti selama ini Hestamma sulit mengabari gue. Cuma dengan Joey dan Jeremy ini, gue nggak pernah sungkan untuk tanya-tanya begitu, loh.

Gue mengangguk-anggukan kepala di depan cermin, "Terus, nanti dari Nice ke Monaco mau naik apa?"

Setelah mengenal Hestamma, gue tau kalau dia punya pola hidup yang sangat teratur. Nggak jauh berbeda dari sahabat-sahabat dekatnya yang gue kenal juga. Melihat jadwal Hestamma yang sangat padat akhir-akhir ini—belum lagi dia yang harus menyelesaikan masalah gue—gue sangat tahu kalau Hestamma benar-benar butuh untuk beristirahat and thank God pria itu menyadari sendiri dengan memutuskan untuk beristirahat sebentar di Paris sekarang.

"Tadinya kita menyarankan untuk pakai private flight, tapi Bapak bilang maunya naik helikopter saja," jawab Joey.

Ya, kan? That was something I was expecting as well.

So there are numerous ways to get from Nice to Monaco. Salah satunya memang lewat jalur udara. Bisa menggunakan private flight—seperti apa yang gue, Mama, Ibu Kinara, dan Bapak Wiyasa naiki kemarin karena ingin menikmati pemandangan French Riviera lebih lama—dan lainnya menggunakan helikopter yang memang terjadwal rutin. Berbeda dengan jalur yang digunakan private flight, dengan helikopter waktu tempuh dari Nice ke Monaco hanya memakan waktu sekitar 7 menit.

"Kenapa nggak sekalian besok aja berangkatnya, Joey?" Itu, sih, yang sebenarnya jadi pertanyaan gue setelah mendengar detail perjalanan Hestamma dan para asisten pribadinya ke Monaco.

Nggak langsung menjawab, Joey malah tertawa pelan. "Saya dan Mas Jeremy awalnya juga menyarankan jadwal yang sama, Bu. Malam ini istirahat dulu di Maison Proust, baru besok pagi ambil flight untuk ke Nice supaya Bapak bisa istirahat lebih lama, nggak nanggung istilahnya." Gue ikut menganggukan kepala, setuju dengan apa yang dikatakan Joey. "Tapi, Bapak bilang lebih suka istirahat nanti di Monaco, Bu," lanjutnya.

"Ya, sudah, deh." Gue juga tau kalau Joey perlu istirahat, bisa jadi dia lebih sibuk daripada Hestamma saat ini. "Thanks informasinya, ya, Joey. Jangan kapok, ya, kalau nanti aku hubungin kamu terus." Di seberang sambungan, Joey tertawa lagi. "Oke, deh, kalau begitu. See you soon. Selamat istirahat, ya, Joey."

WEARING A CAT ON OUR HEADS (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang