[ Listen to November Ultra-come into my arms, while reading for better experience. ]
Pernah dengar kalau sebelum dilahirkan, kita diperlihatkan lebih dulu soal kehidupan semacam apa yang akan kita jalani nantinya sebelum akhirnya kita dibiarkan memutuskan mau menjalani kehidupan itu-dengan terlahir-atau tidak?
Ya, mungkin beberapa orang akan menganggap hal semacam ini sebagai sesuatu yang konyol dan mungkin yang lain akan beranggapan serius soal apa yang aku bicarakan sebelumnya.
Kalau aku sendiri... Bagaimana, ya, menjawabnya?
Kalau hal itu benar-benar terjadi-kalau aku diberikan pilihan untuk memutuskan menjalani kehidupan yang sekarang aku jalani atau tidak-berarti, aku membuat keputusan yang benar.
"Adek..."
"Iya, Pa..." Aku beranjak dari dapur, berjalan cepat menuju sofa tempat Papa duduk dengan raut wajahnya yang masih terlihat sangat khawatir. "Ada apa, Pa?" tanyaku begitu aku duduk di samping Papa.
"Belum dapat telpon dari Masmu?" Sebenarnya, sejak Mas Wani dan Mami pergi tadi pagi, Papa sudah mulai khawatir. Pria yang baru saja berulang tahun ke 82 itu kemarin, memaksa ikut pergi di saat keadaannya sebenarnya juga sedang tidak baik.
Untungnya, berkat bujukan Mas Wani dan Mami, Papa akhirnya mau menunggu di rumah bersamaku yang baru saja sampai di Jakarta kemarin sore.
Kekhawatiran yang aku lihat sekarang dari wajah Papa bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Selama 30 tahun ini, aku atau lebih tepatnya aku dan Mas Wani tau bagaimana sikap Papa akan berubah kalau Mami tidak ada di sekitarnya, seperti sekarang contohnya.
Aku menggeleng singkat, membuat Papa semakin gusar. "Mas Wani nggak angkat telpon? Mungkin sedang di perjalanan, ya? Atau masih di rumah sakit?"
"Coba Dahayu telpon dulu, ya?" Papa mengangguk, tapi dia buru-buru memegang lenganku saat aku akan beranjak dari sofa yang ada di sebelahnya. "Kenapa, Pa?" tanyaku, kembali duduk.
Wajah yang keliatan lelah itu menatapku dengan tatapan sendu, "Di sini saja, Dek, telponnya. Papa mau dengar." Tatapan memohon itu... Kalau saja Papa nggak sedang sakit juga, mungkin aku akan menuruti kemauan Papa.
Serius, aku takut Papa kepikiran kalau mendengar langsung penjelasan Mas Wani ditelpon nanti.
Aku mengangguk lagi, "Kalau gitu, Dahayu mau ke belakang sebentar, ya? Nanti telponnya bareng Papa."
Setelah mengatakan itu, Papa setuju. Aku pergi ke belakang, tepatnya ke area dapur sambil membawa handphone.
Beberapa kali aku mengintip ke arah ruang tengah, melihat keadaan Papa dari sini sambil menunggu Mas Wani mengangkat teleponku.
"Iya, Dek?"
Refleks, aku berjalan cepat menuju ke pojok dapur saat mendapati sambungan teleponku bersama Mas Wani tersambung. "Mas Wani di mana? Masih di rumah sakit?" tanyaku to the point.
Mas Wani tidak langsung menjawab, dia terdengar seperti sedang berbicara dengan seseorang sebelum menimpali pertanyaanku sebelumnya. "Ini masih nunggu Mami. Kenapa, Dek? Papa udah nanya-nanya?"
Tepat sasaran! Mas Wani seperti tahu betul alasan terbesarku menghubunginya sekarang karena Papa. Tanpa sadar, aku menganggukan kepala. "Papa nggak mau diajak istirahat, masih nunggu di ruang tengah, Mas. Tadi minta telpon ke Mas, mau nanyain Mami," jelas gue yang dibalas gumaman panjang Mas Wani di seberang sambungan.
"Bilang aja ini mau on the way pulang ke rumah."
Aku kembali memutar tubuh, menatap ke arah ruang tamu-melihat Papa yang masih menatap ke arah luar pintu. "Keadaannya Mami gimana, Mas? Pemeriksaannya lancar?" tanyaku ikut khawatir setelah tahu kalau Mas Wani dan Mami masih ada di rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEARING A CAT ON OUR HEADS (COMPLETED)
Chick-LitShimika Bowers once stated, "Do they love you or the mask you put on every day?" Smiles, warmth, and kindness are all traits that both of them must exhibit in public to keep their family's reputation intact. "Never take that mask off!" they said. Th...