Himalayan Blunder

10.8K 1.4K 500
                                    

Laras.



There. He. Is.

Gue melangkah dengan percaya diri, membelah beberapa kerumunan dengan senyuman anggun yang selalu berhasil mendapat pujian cantik dari orang-orang.

"You look lovely as usual."

Kebaya floy brokat model Mona Long berwarna putih yang baru dikirim dari Surabaya tadi pagi, memang gue pilih khusus untuk gue pakai hari ini—mendatangi Founder's day perusahaan keluarga Santoso di salah satu ballroom di InterContinental sore ini.

Tangan gue terulur, menyambut jabatan tangan Tyaga—anak tunggal keluarga Santoso—yang gue cari-cari begitu sampai di sini.

Masih mengulas senyum yang sama, gue menggelengkan kepala kecil. "And, as always, you're good at complimenting," timpal gue, membuat Tyaga tertawa.

"It looks like you came by yourself." Menyingsingkan lengan jasnya, Tyaga menoleh ke sembarang arah—seperti mencari seseorang. "Isn't that fantastic news? I'm available to accompany you this afternoon. How? Are you interested or not?" Ia lalu mengambil tangan gue untuk dilingkarkan ke lengannya.

Pay attention to this; gue dan Tyaga sudah bersahabat sejak kami masih berumur 6 tahun. Keluarga kami kenal dekat karena sebelum keluarga Tyaga fokus dengan perusahaan keluarganya—Bapak Yoseph—Ayah Tyaga—merupakan mantan politisi yang cukup terkenal di bawah jajaran pemerintahan Bapak Galasi Gautama—Ayah dari Mas Algis.

Well, soal ucapan Tyaga sebelumnya—sama seperti apa yang pernah gue dengar dari beberapa orang yang tulus dekat dengan gue, dia juga tidak begitu menyukai ide pertunangan antara gue dan Johan.

Selain karena peringai dan tingkah laku Johan, Tyaga juga tidak menyukai bagaimana keluarga pria itu terlalu ikut campur dalam masalah perpolitikan di negara. Mungkin ini ada kaitannya dengan Ayahnya yang pensiun cepat dari dunia politik saat itu. Ada beberapa rumor yang mengatakan kalau mundurnya Bapak Yoseph waktu itu ada campur tangan keluarga Prastajaja di dalamnya.

Gue mendengkus, menatap kerlingan yang dibuat Tyaga saat kami melangkah berdampingan. "What about your partner? Is it all right with her to watch us together like this?" Sama seperti gue, Tyaga juga baru saja dijodohkan dengan wanita lain—anak dari teman dekat Ayahnya.

"Sintya?" Ah, ya, itu namanya. "Nggak usah dibahas dulu, deh. I don't want to think about someone who isn't here," lanjutnya dengan raut yang berubah masam.

Gue sempat memperhatikan wajah Tyaga, membayangkan—do I appear like that when people mention Johan? Mungkin, lebih buruk lagi, 'kan, ya?

"Kita mau ke mana?" tanya gue, sepenuhnya mengalihkan topik pembicaraan kami sebelumnya.

Menuruti langkah Tyaga, gue hanya bisa sesekali menyapa dan tersenyum singkat kepada orang-orang yang menyapa gue di sepanjang Tyaga menyeret gue untuk mengikutinya.

"Someone is making a lot of noise about wanting to meet you when he knows you also come here," jawabnya, masih memegangi lengan gue.

Siapa memangnya? Ibu Kinara? Setau gue, beliau nggak datang ke acara ini. Orang tua Tyaga? Gue udah bertemu mereka lebih dulu malah.

Langkah kami terhenti di depan meja—

—KUMALA?

"Hi, Mbak Laras!" Senyum lebar wanita itu terulas ketika gue menyambutnya dengan pelukan. "I'm really moved that you still remember me!" ucapnya sambil menempelkan pipinya bergantian di pipi gue.

How could I forget it when Kumala caught me at Hestamma's place that night, just when I thought I was done?

Sebuah tawa kecil gue paksakan keluar saat Tyaga menatap gue dan Kumala penasaran, "Kalian bisa kenal dari mana?"

WEARING A CAT ON OUR HEADS (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang