Chapter 19 Hero and Demon King

441 47 8
                                    

Benar-benar yang terburuk.

Semuanya selalu menjadi mimpi buruk...

Apa yang kuinginkan sama sekali tak pernah kudapatkan. Mataku terbelalak melihat dia, telinga ku serasa meledak mendengar kata-katanya.

Namun yang lebih penting lagi, hatiku terasa sangat sesak. Seakan bocor dan tak bisa ditambal lagi. Padahal aku tak punya asma namun nafasku terengah. Aku jadi tau bagaimana rasanya saat dia kambuh.

Disaat aku dan dia berada diruangan yang sama. Senantiasa menunggu dirinya yang selalu terbaring tidak berdaya. 

Dengan segala kabel yang menancap pada tubuhnya itu, aku hanya bisa menunduk dan menggenggam tangannya.

Momen dimana... 

Aku takut kehilangannya...

Tuhan benar-benar jahil...

Padahal aku dan dia terlahir bersama, kami sepasang kembar yang selalu memiliki hal yang sama...

Namun mengapa hanya Riku saja yang harus menderita?

Andai terbagi menjadi dua...

Semua rasa sakit bahkan penderitaanya juga terbagi dua... kenapa tidak kau berikan setengahnya untukku?

Dengan begitu semua rasa sakit Riku akan terbagi dua, juga-

"Tenn-nii? Apa kau menangis?"

Suara lirih itu, membuat diriku yang berjanji tidak meneteskan air mata, malah kembali berlinangan. Suara isakan mulai terdengar disaat aku menggenggam tangannya erat.

"...A-aku.. tidak menangis..."

Tetap saja tak bisa kubendung.

"...aku tak boleh menangis... disaat Riku berusaha tegar untuk berjuang... aku tak boleh memperlihatkan sisi lemahku..." isakan itu semakin nyaring

"Kenapa?"

Dapat kurasa, tangan mungil yang lemah itu menyentuh pipiku.

"Memangnya menangis tidak boleh?"

Riku malah tersenyum lembut, membelai pipiku.

"Terimakasih karena telah menangis untukku! Tenn-nii sungguh baik... aku menyangimu Tenn-nii...."

Wajahku berlinangan air mata, saat jari jemari kami bertautan.

"...aku juga menyayangimu..."

****

****

Sebuah memori lama seakan kembali muncul ke permukaan. Disaat jantungnya sempat berhenti mendengarkan satu kalimat yang diucapkan sosok didepannya.

Benar sekali, tidak ada satu pun yang bersuara. Satu panggung tiba-tiba hening bagaikan hutan dimalam hari.

Tapi Riku tetap tersenyum lembut dan melanjutkan.

"...mungkin sesuai dengan teori kalian... bisa dibilang... tubuhku mencapai batasannya..."

Terlihat semua orang masih tetap mendengar, mata mereka terbelalak.

"Tapi tolong jangan salahkan siapapun... ini bukan salah agensi, maupun manajerku yang memaksa... ini keputusanku sendiri..."

"Karena diriku lah yang mengerti tubuhku dengan baik..."

Hening lagi, masih tak ada yang bereaksi.

"'Maaf' mungkin bukan kata yang tepat... tapi... aku menyadari bahwa batasanku sampai disini... mungkin aku mengkhianati ekspektasi kalian, mungkin aku mengingkari janji kita, mungkin aku akan disebut pembohong..."

A Certain Future with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang