Sesampai di rumah, Rexion menurunkan Sofie dari mobil. Awalnya Sofie kira Rexion akan kembali ke kantornya, seperti biasa. Namun, di luar dugaan, Rexion malah ikut turun dari mobil dan mengikuti Sofie, langkah demi langkah, naik ke atas tangga menuju kamarnya.
Sofie merasa bingung. Rexion seharusnya tidak perlu ikut sampai ke kamarnya, bukan? Apa dia masih khawatir padanya?
Tapi asumsi itu buru-buru ditepisnya. Tidak mungkin perasaan Rexion berubah secepat itu, kecuali Sofie sedang bermimpi, sekarang.
Sofie menduga mungkin ada sesuatu yang Rexion ingin ambil di kamarnya. Bagaimanapun, kamar mereka memang bersebelahan.
Ketika mereka berdiri samping-sampingan di kamar masing-masing, Rexion yang merasa sebal pada akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan apa yang terus mengganggunya sepanjang perjalanan pulang.
"Kenapa selama ini kau hanya diam diperlakukan hina oleh anak-anak seperti mereka?"
Sofie berhenti sejenak di depan pintu kamarnya, menoleh, menatap mata hitam Rexion yang selalu berhasil membuatnya seperti berhadapan dengan mimpi buruk.
"Aku ... hanya tidak mau membuat masalah dan membuat dad kecewa."
Tapi Rexion tampaknya tidak puas dengan jawaban itu, "Kau adalah bagian dari keluarga Winston. Membiarkan mereka memperlakukanmu seperti sampah adalah hal yang paling mengecewakan."
Sofie tersenyum tipis, ia merasa miris, karena tampaknya Rexion lupa bahwa 10 tahun yang lalu, Rexion lah yang paling mempermalukan dan memperlakukan Sofie seperti sampah. Tapi, mendengar Rexion menyebutnya sebagai bagian dari Winston, entah mengapa hal itu membuat hatinya berdesir seolah-olah dia telah diterima di antara mereka.
Pada akhirnya, Sofie pun hanya bisa meminta maaf, "Kedepannya aku tidak akan diam saja."
Tapi Rexion tahu hal ini tidak akan selesai hanya dengan kata maaf saja, "Aku dan dad tidak akan membiarkan mereka begitu saja."
Lalu Rexion memerintah Sofie menunjukkan semua luka dan lebam yang ada di tubuhnya karena Rexion akan menjadikan hal itu sebagai bukti jika perlu menyeret mereka ke pengadilan.
Sofie pun menunjukkan beberapa luka dan lebam di tangan dan kakinya.
Dalam keheningan, Rexion mengamati setiap luka dan lebam di tubuh Sofie. Matanya tajam dan dingin, tetapi di balik ekspresi dingin itu, ada perasaan yang bergejolak.
Mengejutkan, karena Rexion merasakan perasaan sedih dan marah merasuk ke dalam hatinya. Hatinya terasa berat melihat luka-luka yang memadati tubuh Sofie. Luka-luka itu adalah bukti fisik dari betapa kejamnya kehidupan sekolah yang dialami Sofie.
Di lubuk hatinya, Rexion merasa terkejut oleh kekuatan Sofie yang mampu bertahan dengan tubuh yang padahal terlihat lemah dan rapuh.
"Apa ada luka yang lain?"
Sofie terdiam cukup lama saat ia melihat tatapan tajam Rexion, sesuatu yang aneh mulai tumbuh dalam dirinya. Seolah-olah kepedulian dan dukungan Rexion telah membangkitkan perasaan yang lebih dalam, sesuatu yang ia tolak sejak lama. Ide gila mulai merasuki pikirannya, dan dia pun tersenyum, seolah merencakan siasat.
"Ada." jawab Sofie.
"Tunjukkan semuanya padaku."
Sofie tersenyum, merasa puas karena Rexion mengigit umpannya.
"Kalau begitu ..." di luar dugaan, Sofie membuka pintu kamarnya lalu tiba-tiba mendorong Rexion masuk ke dalam.
Rexion yang terkejut dengan tindakan itu kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh, terjembab ke lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Claiming You Back
Teen FictionSetelah kehilangan putrinya di kecelakaan kapal pesiar 3 tahun yang lalu, Anna Winston didiagnosa mengalami gangguan jiwa. Ia selalu kabur dari rumah untuk mencari putrinya yang hanyut. Di pesisir pantai saat matahari hampir terbenam, Anna bertemu d...