Keping satu • Tears

75 9 0
                                    

Gelak tawa yang semakin terdengar,
Iringan rasa ceria terasa mendalam.
Tapi mengapa hati ini terasa terbakar?

Rasanya ini terlalu meyakitkan.
Ada tapi tiada.
Bolehkah aku egois?
Membakar semua nadi yang kian teriris.

Apa aku terlalu kejam?
Aku hanya tak ingin semuanya kelam.
Berikan aku kasih sayang!
Aku tak butuh tatapan kasihan.

(Lia Angelista)

°°°°

Derai tawa terdengar membahana, sebuah keluarga kecil terlihat bercanda ria. Bercengkrama di meja makan dengan hagatnya.

Di sisi lain, seorang gadis mungil hanya menjadi pengamat di ujung tempat tergelap.

Senyum miris senantiasa terkembang, membayang diantara wajahnya yang seputih pualam.

Kau tahu? ia ingin sekali berada di posisi itu. Tertawa dan senantiasa di manja, tapi apalah daya ia hanya bisa diam dan bermimpi itu bisa dilakukannya.

"Mah maaf Lia ngak bisa jaga kakak. " Senyum sendu merekah, derai air mata mengalir resah.

Lia menatap ujung langit sana, lambaian tangan sang ibu mengayun rendah.

"Lia boleh ikut mamah kan? Disini Lia sendirian." Lia tersenyum getir, menahan sesak di dada, ia menelungkupkan kepala.

Kedua tangannya terkepal erat. Kuku panjang meresap padanan epidermis, merobek selaput tipis dan aliran darah bebas, mengalir pelan menelusuri garis tangannya.

Tanpa menghiraukan luka di tangannya, Lia mempererat kepalan tangannya. Ia mencengkram boneka yang selalu setia menemaninya ketika berduka.

"Ice bee, apa salah Lia?" Air mata kembali mengalir.

Di pandangi bonekanya dengan sendu, ia mengharapkan sebuah jawaban. Ice bee tetap tak bergeming, tatapan matanya kosong.

Ice bee tak hidup, dia tak bisa menjawab pertanyaan Lia dengan ucapan persuasif untuk tidak bersedih.

Mendengar pikirannya sendiri membuatnya tertawa terbahak-bahak. Ia membanting boneka yang di cengkramnya, terdengar suara berdebum keras ketika boneka itu menghantam dinding dengan keras.

Lia memandang kosong ke arah dinding. Tak bergeming, hanya memandang lurus.

Otaknya terasa berhenti bekerja dan entah mengapa ia suka situasi ini. Terasa damai dan tentram.

Sejenak ruangan terasa hening tanpa raungan tangis, Lia masih terfokus pada dinding di depannya. Detik dan menit berlalu, akhirnya tangisnya luruh kembali.

Lia kembali menyisipkan kedua tangan dan menangis sesegukan.

Kedua lututnya di dekap dengan erat, seakan-akan hal itu bisa membunuh sesak yang menyelimuti dadanya. Atau hanya sekedar penghibur bahwa raganya masih di sisinya, senantiasa menemani. Walaupun jiwanya rapuh, retak tak berbentuk.

Ia menyalurkan semua yang sedang ia rasakan lewat tangisan, malam itu adalah terakhir kalinya Lia akan menangis, gadis itu bertekad dalam hati.

Tak terasa mata Lia memberat, tak kuasa menahan kantuk ia tertidur. Tubuh dan pikirannya lelah, Lia kalah.

Memejamkan mata dan larut ke dalam alam mimpi, buaian kebahagian sudah menanti.

Terkadang Lia tak ingin bangun lagi, ia senang tak ada yang berani menyakitinya disini.

Kedua sudut bibirnya tersenyum, rasa lega terus terhimpun. Lia merasa aman di alam mimpi yang penuh ilusi ini.

°°°°

[END] What's wrong with me?! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang