Keping sembilan • Dan terjadi lagi

34 4 0
                                    

Waktu,
Tak terasa ternyata engkau sudah jauh melaju;
Mengapa meninggalkanku?
Apakah memori kita tidak berlaku?

Waktu,
Mengapa begitu cepat?
Bisakah kau melambat?
Hanya sebentar untuk beristirahat
Cukup sekejap
Tolong! Saya sekarat, cepat!

(Lia Angelista)
....

Setahun tidak terasa, waktu seperti bergegas. Lia yang kini menginjakkan kakinya di kelas 11. Merasa pusing. Di depan kelas ketika perkenalan kembali teman sekelas yang berubah dan wali kelas yang berbeda. Lia sedang memperkenalkan dirinya. Tapi ia merasa pusing, keringat dingin mengalir di dahinya. Tangan dan kakinya terasa dingin dan lemas. Wajah Lia pucat.

Setelah bersusah payah menyampaikan siapa namanya dan sebagainya. Lia menyeret kakinya yang lemah ke tempat duduknya. Dengan terengah-engah, jantungnya berdetak kencang. Ia mencoba menekan detak jantungnya, mengatur napas. Setelah sekian menit yang menyesakkan, detak jantungnya berangsur normal.

Lia mendesah. Tangannya mengepal. Lia tidak tahu apa yang terjadi akhir-akhir ini. Tapi dia merasa lebih lemah dari sebelumnya. Dan mudah sekali lelah.

Ring...ring..

Bel berbunyi, Lia yang sedang menulis menjatuhkan penanya. Tangannya agak kebas, karena pelajaran sejarah merangkum banyak sekali materi. Ada halangan yang membuat Lia pusing merangkum sejarah, karena itu sejarah. Apa yang perlu di rangkum? Jadi Lia menulis semuanya, salin. Kadang di lewat juga sih. Jika dia lelah dan ingin cepat selesai.

Setelah selesai mencatat, Lia mengibaskan tangannya yang agak kebas, mengambil botol air yang ada di tas nya dan meminumnya. Hal itu dilakukan sekali jalan. Ketika dahaganya di tuntaskan.

Lia mulai merapihkan pena yang berserakan di meja. Menutup buku paket sejarahnya dan buku tulis, menyimpannya kembali ke dalam tas.

23.03

Lia melihat waktu di handphone.

'Dah malam ternyata', Lia bangkit dari posisi duduknya lantas naik ke tempat tidur. Menarik selimut sampai dada, Lia mencoba menutup matanya yang lelah.

Tapi anehnya meskipun Lia menutup matanya, pikirannya berkeliaran kemana-mana.

Tiba-tiba Lia merasa sedih, sangat sedih. Sampai air matanya mulai turun dari kelopak matanya. Lia mencoba menghilangkan segala kecamuk dalam pikirannya. Tapi semakin dia berusaha, semakin gila air mata Lia keluar.

Lia frustasi, dia akhirnya membuka matanya. Mengusap air mata yang masih tergantung di pipinya dengan lembut. Lia merenung.

'Mengapa? Kenapa?'

Terkadang Lia bingung dengan pikirannya sendiri. Mengapa Lia harus nangis hari ini? Ada apa? Bukannya Lia bahagia?

Lia memeluk guling kesayangannya. Mengambil ice bee dari nakas dan meletakkannya di sampingnya.

"Ice bee, kenapa Lia ngerasa sedih banget? Tapi Lia nda ngerasa ada yang salah hari ini," Lia mengusap pelan boneka di sampingnya.

" Apa Lia rindu mamah ya? Atau kak Frans? Atau Etra? Lahh napa ada Etra juga, gak mungkin lah," Lia menepuk-nepuk dahinya.

"Ice bee, di pikir-pikir kok Lia keseringan mikir ya? Jadi melow terus hidup Lia kan." Lia terkekeh pelan.

" Kak Frans kemana ya ice bee? Lia kangen, kenapa dia jarang datang? "

" Terus mamah, di surga sana lagi ngapain ya? Apa lagi liatin Lia? Atau ceramahin Lia yang suka jadi sadgirl? " Lia menatap langit langit kamarnya.

" Kadang Lia juga secapek itu, pengen hilang aja selamanya."

"Ice bee, " Lia memeluk bonekanya. " Kamu satu-satunya milik Lia, yang selalu dengerin Lia. Makasih ya." Lia tersenyum, memeluk bonekanya dengan erat.

°°°

8.00 am

"Mampus! Lia telat." Lia mengambil handuk di dekat nakas dan berlari ke kamar mandi.

5 menit kemudian Lia sudah perpajakan lengkap dan menuruni tangga dengan langkah cepat.

" Lia berangkat! " Lia berteriak sambil memakai sepatunya di depan pintu. Berjingkat-jingkat membenarkan sepatunya tanpa menoleh ke belakang.

Ayah Bram hanya melirik dan meminum kopinya. Sedangkan Ken dan ibunya mungkin sudah berangkat ke sekolahnya.

" Wah wah Lia telat. Omo omo gimana nih?, ehmm lewat mana ya? Apa coba naik pagar ya? Ok dah itu aja, " Lia berjingkat melihat situasi sekitar, mengendap-endap seperti pencuri. Berjalan ke timur gerbang sekolah, yang biasanya sepi.

"Lahh tinggi juga ya. " Lia melihat ke arah gerbang bercat hitam yang tingginya 2 meter, dan melihat kembali ke diri nya sendiri, yang tingginya hanya 145 cm.

" Gimana cara naiknya? Kok Lia jadi kesel. " Lia menghentakkan kakinya kesal.

Lia mengelilingi sekitar tembok, melihat apakah ada celah di sekitar. Celah yang bisa dia jadikan pijakan untuk naik ke atas.

Dan hasilnya nol.

"Gimana nih ga ada pijakan sama sekali lagi? Jam 8:25 lagi pasti dah ada guru. Gimana coba Lia Ya Allah. Tolong lah hambamu yang imut ini. " Lia mengatakan kedua tangannya, berdoa dengan wajah sedih.

" Eh ia, ngapain lo? " Tiba-tiba terdengar suara dibelakang Lia . Lia melihat ke belakang sambil tersenyum lebar.

" Wahh Edo! Tepat waktu banget hehe, " Lia tersenyum aneh.

"Loh napa? Kok gua ngeri ya liat ekspresi lo, " Edo mundur selangkah.

" Ihh Edo diem dulu. Kamu telat kan? " Lia mengedipkan mata polos. Edo mengangguk, lalu menggelengkan kepala.

" Lah? Napa gtu? Jadi gimana sih? Kok Lia nda paham, " Lia mengernyit.

"Gua sengaja telat. Lo kagak paham ya? Gaya badboy dong gua. Lihat pakaian yang gua pake, badboy banget kan?" Edo berpura-pura merapihkan kerah bajunya, menyisir rambutnya dengan jari dan tersenyum pede.

Lia memperhatikan Edo dengan seksama. Di lihatnya dari ujung rambut sampai sepatu yang di pakai Edo.

" Keren emang!" Lia mengacungkan jempol.

Senyum Edo semakin lebar, dengan narsisnya ia menyisir rambutnya ke belakang.

"Dan makin ganteng deh kalo mo bantuin Lia." Lia tersenyum lebih polos.

" Ok karena lo tau itu, lo mo apa gua bantuin." Edo cengengesan.

"Ok....... "Lia tersenyum lebar.

" Ok jongkok disini, " Lia menunjuk ke arah samping tembok. Edo mengikuti perintah Lia. Berjongkok dan bertanya balik.

"Mo ngapain gua gini?"

"Diem je. Ayo sekarang nunduk sikit. " Lia menyentuh tepi tembok. " Eh lo mo ngapain?" Edo mendongkak.

"Diem aja sih, nunduk Lia kata. "

"Oh ok. "

" Bentar ya, 1 2 3.." Lia menginjak bahu Edo dan melompat.

"Aww, njire sakit Lia. Parah gua dijadiin pijakan, " Edo meringis, menepuk-nepuk seragam yang kotor dan bangkit dari posisinya.

" Maaf Edo! Makasih dah bantuin Lia! Bye bye. " Teriak Lia.

"Gua ditipu sama tuh bocah, parah. " Edo pun memanjat tembok mengikuti jejak Lia yang sudah tak terlihat dimana.

[END] What's wrong with me?! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang