TC 3

5K 553 42
                                    

Jaemin dan Jeno duduk di tepi jalan di sungai Han. Sementara Woobin asik bermain dengan tanaman di dekatnya dengan Jaemin yang terus memperhatikan putranya.

“Kenapa kau bicara seperti itu?” Jaemin mulai buka suara, ia rasa, ia menyimpan banyak pertanyaan terkait ungkapan Jeno tadi.

“Aku menyukaimu sejak lama. Tidak bisa di katakan pada pandangan pertama, meski tidak ada interaksi, tapi aku suka melihatmu di Cafe itu. Apalagi saat kau tersenyum sangat manis.” Jawab Jeno membuat Jaemin mengulum seringai kecut.

“Kenapa aku? Kau tidak tahu apa pun tentang aku, aku berbahaya.”

“Kenapa?” Jeno balas melempar tanya. “Aku tidak tahu mengapa aku menyukaimu. Aku banyak bertemu orang-orang cantik, tapi tidak pernah ada yang sampai menggetarkan hatiku. Meski kau hanya diam di tempatmu, aku jatuh cinta.” Jelasnya menoleh ke arah Jaemin.

Jaemin masih diam selepas mendengar penjelasan Jeno yang berisi rayuan tersirat. Entah dia harus bereaksi seperti apa. Dia baru saja gagal dalam berumah tangga, lalu tiba-tiba seseorang datang dan mengakui bahwa ia menyukai Jaemin.

Jaemin sendiri merasa ini masih terlalu dini untuk memulai lagi kisah percintaannya. Dia masih trauma, dia masih lelah. Dia hanya ingin hidup dengan tenang bersama Woobin.

“Tapi kau tidak tahu apa pun tentang aku, bagaimana kau begitu berani untuk menyukaiku, Jeno?”

“Kalau begitu, beri aku waktu untuk mengenalmu dan mendekatimu. Kau juga tak tahu apa pun tentang aku kan? Aku saling mengenal lebih dalam.”

“Ayah...”

Baik Jeno dan Jaemin menoleh saat mendengar suara Woobin, batita itu datang lalu menyerahkan setangkai bunga ke arah Jeno membuat Jeno menerimanya dengan senyum, maka Woobin ikut melempar senyum lalu dia melangkah meninggalkan kedua orang tuanya untuk bermain lagi.

“Woobin sepertinya menyukaiku.” Gumam Jeno seraya menyematkan bunga itu di telinga Jaemin membuat Jaemin tersentuh.

“Cantik.” Puji Jeno dengan senyum.

“Kenapa orang sehebat dirimu menyukai duda beranak satu yang hidup dalam kehancuran sepertiku?” Tanya Jaemin membuat Jeno terpaku.

“Jika bagimu aku begitu hebat, maka di mataku, kau berharga dan luar biasa.” Balas Jeno. “Pandangan kita tidak selalu sama, jadi jangan merendahkan dirimu sendiri karena kau berharga bagi orang lain.” Lanjutnya membuat Jaemin tersenyum haru.

Dia tak pernah mendengar kalimat seindah, setenang, dan semanis ini dari bibir mantan suaminya. Dia tak pernah di anggap dan di hargai oleh pria itu. Tapi Jeno menunjukkan betapa tulusnya dia. Betapa lembutnya ia memperlakukan dan bicara dengan Jaemin.

“Bagaimana? Kita mulai?” tanya Jeno.

“Apa kau yakin?” Tanya Jaemin dengan suara lembutnya. “Aku hanya lah seorang duda, kau bisa mendapat jejaka yang pantas bersanding denganmu.”

“Kau pantas, kenapa kau berpikir bahwa kau tidak pantas?” Tanya Jeno.

“Aku memiliki seorang anak, aku tak bisa memberi cinta untukmu, tak bisa memberi waktu untukmu. Aku hanya akan sibuk pada pekerjaan dan Woobin, kau tahu jika berkencan, ada waktu yang harus kuberi pada pasanganku.”

“Kenapa tidak kita coba dulu menjalaninya?”

“Bagaimana jika pada akhirnya, hanya menimbulkan luka bagi kita berdua? Aku juga belum siap terluka lagi.”

“Aku sudah siap, ada risiko yang harus aku terima dari keputusanku. Dan aku pun tidak ingin sampai melukaimu.”

Jaemin terdiam mendengar balasan terakhir Jeno, pria itu benar-benar terlalu berani dengan keputusannya. Entah Jaemin harus memberi apresiasi atau bagaimana, yang jelas, dia semakin bingung.

NOMIN STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang