M-01

1.3K 275 15
                                    

“Hahaha Woo-bin tidak punya Papa.”

“Orang tuamu tidak lengkap. Tidak punya Papa.”

“Kasian, pasti tidak pernah tidur di bacakan dongeng dan di peluk.”

“Woobin tidak punya Papa wleee.”

“DIAM!”

Seorang pria yang tengah memandangi murid-muridnya bermain di lapangan taman kanak-kanak, menoleh saat mendengar suara teriakan. Di sisi kanan searah pukul dua, dia mendapati salah satu muridnya tengah di rundung.

Dengan panik, ia pun bergegas menghampiri bocah-bocah itu.

“Anak-anak, ada apa?” tanyanya merengkuh satu bocah yang menjadi korban perundungan, dia menatap murid-murid yang mengerubungi anak laki-laki itu.

“Guru, mereka bilang orang tuaku tidak lengkap karena aku tidak punya Papa.”

Sang guru jelas terkejut mendengar apa yang di adukan oleh murid bernama Woo-bin itu. Dia menatap muridnya yang hanya diam.

“Anak-anak, benarkah itu?” suara lembutnya bertanya.

“Benar Guru, kata Papaku, Woo-bin sudah tidak punya Papa.” Salah satu anak menyahut dengan lantang.

Sang Guru, menoleh dengan iba ke arah bocah itu. Dia langsung memeluk bocah yang jelas menunjukkan kesedihan itu.

“Anak-anak, kalian tidak boleh seperti itu. Meski pun tidak ada Papanya, Woobin sama seperti kalian semua. Dia anak yang baik, tidak boleh memilih teman. Mengerti?” pria itu menjelaskan sesederhana mungkin dengan senyum yang tak luntur.

“Sekarang, ayo minta maaf karena kalian telah melukai perasaan Woobin dan saling berjabat tangan.” Lagi, ia tersenyum dan memerintah muridnya.

Senyumnya kian lebar melihat satu persatu muridnya mengulurkan tangan ke arah Woobin dan bocah malang itu menerimanya dengan polos.

Ia menghela nafas lega karena mengira masalah telah berakhir.

Namun berlanjut ke esokan harinya, dia berlari dengan wajah memerah saat melihat Woo-bin mengamuk seraya menyerang teman-temannya, dia dengan perasaan kalut, berusaha memisahkan Woo-bin.

Dia lihat bocah itu terengah-engah dengan wajah marah serta tangan kecil yang mengepal erat, ada luka goresan di pipi tembamnya. Jangan lupakan tatapan matanya yang tajam ke arah teman-temannya.

“Woo-bin, apa yang terjadi?” Tanya Jaemin panik.

“Bukankah guru sudah mengatakan berhenti mengejekku?” Tanya Woobin lantang membuat Jaemin tercekat.

Ternyata masih masalah yang kemarin. Dia menghela nafas dengan kepala tertunduk.


***


“Jadi, dengan menggunakan artis yang sedang naik daun...”

Seorang pria yang tengah memimpin rapat, terkejut saat mendengar ponselnya berdenting, dia tersenyum sungkan pada seluruh karyawannya lalu merogoh saku jas dan menerima sebuah pesan masuk dari nomor tak di kenal.

“Selamat siang Tuan Lee. Saya Jaemin, wali kelas Lee Woobin. Putra Anda bertengkar dan menyerang teman-temannya. Di mohon hadir ke sekolah karena orang tua murid lain sudah menunggu.”

Bola mata pria bernama Lee Jeno itu membulat saat membaca pesan yang masuk.

“Maaf semua. Rapat terpaksa kita tunda. Aku ada urusan mendesak.”

Jeno memasukkan ponselnya ke saku jas dan keluar dari ruang rapat dengan tergesa, menyisakan para karyawan yang saling berbisik bingung.

Pria itu berlari lari dari ruang rapat, bergegas untuk turun menghampiri mobilnya dan memacu mobilnya menuju sekolah sang putra.

NOMIN STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang