Beri Penghargaan Kepada Penerjemah dengan klik tanda ⭐ Sebelum Membaca! Terimakasih.
“A...Apa ini…Anakku. Anakku yang berharga…”
Kerajaan pada saat itu.
“Hi...Hiris adalah…Hiris adalah…”
Bunyiㅡ
"Ibu!"
Saat Ratu pingsan saat melihat putranya yang meninggal, para pangeran yang kontemplatif mendukungnya.
Sepuluh menit yang lalu, seperti yang dijanjikan, sebuah portal dibuat di tengah aula Kerajaan Hukum
[Bukankah mereka berdua anak kecil di bawah usia 10 tahun? Aku bisa mendapatkannya segera.]
Memiliki tubuh yang dingin, dia adalah Pangeran Pertama yang berjanji akan kembali dengan selamat satu jam yang lalu.
"Anakku…"
Tidak seperti biasanya bagi Ratu, dia merangkak di lantai, memegangi pangeran yang sudah meninggal dan terjatuh.
Bahkan di tengah-tengah ini, si blasteran bahkan tidak berhasil mati.
"…Brengsek."
Pangeran Bungsu, yang menatap Sian yang terjatuh seperti serangga, mengertakkan gigi.
Dia juga menderita luka yang sama banyaknya dengan Hiris.
Tapi meski tubuhnya tegang, melihatnya naik turun, dia pasti menahan nafasnya.
“Sial, sial!”
Dalam situasi yang memilukan, pangeran bungsu menendang bantal.
Dia tidak melakukan apa pun selain mengutuk.
"Apakah dia mati?"
“Dia belum mati. Itu belum mati!”
Yang membuatnya lebih menyedihkan adalah dia merasa lega karena setidaknya dia masih memiliki setengah nafas tersisa.
Mereka tidak akan bisa menjual Sian seharga 5.000 emas jika dia mati juga.
Karena tidak mungkin Permaisuri membeli mayat.
Para pangeran yang terkejut tidak bisa berkata-kata.
Setelah beberapa saat.
Pangeran Kedua, yang mengusap wajahnya dengan tangannya, berkata dengan tenang.
“Untuk saat ini, bawa Ibu ke kamar tidur dan kembali.”
"…Aku mengerti."
Pangeran Bungsu, dengan gugup menggigit jari-jarinya, menopang Ratu saat dia menuruni tangga.
Yang kedua, yang ditinggal sendirian di aula, menggunakan alat komunikasi dengan hati campur aduk.
“…Yang Mulia Permaisuri.”
[…]
“Yang Mulia, ini adalah Kerajaan Hukum.”
[…]
Namun tidak ada jawaban.
Saat ini, alat komunikasinya senyap seolah menjadi batu biasa.
“…Mengapa alat komunikasinya tidak berfungsi?”
Apakah itu rusak?
Atau apakah Yang Mulia Permaisuri tertidur?
“…Di siang hari bolong seperti ini?”
Tentu saja, panggilan dari Permaisuri akan segera datang.
Entah kenapa, permaisuri menyayangi Sian seperti putranya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bocil Pengen Kabur Dari Papa Ganteng
FantasyNOVEL TERJEMAHAN || Novel di tl sendiri jadi harap maklum.