Bab 76

37 5 0
                                    

Beri Penghargaan Kepada Penerjemah dengan klik tanda ⭐ Sebelum Membaca! Terimakasih.

“Ibu seharusnya ada di surga.”

Mendorong Ibu pergi dengan telapak tangan kecilku.

Meskipun dia tampak bingung, dia tersenyum dan menepuk kepalaku seolah dia mengerti segalanya.

“Awalnya, tubuhku seharusnya kembali ke alam dan tinggal di dunia roh, tapi Ayah menjaga tubuhku dengan baik.”

“Jadi kamu kembali?”

“Aku datang untuk menemui putriku.”

…Benar. Tidak mungkin Ibu datang tanpa izin.

Setelah mendengar penjelasannya, aku mengerti.

'Jadi sekarang aku benar-benar bisa memeluk Ibu?'

Aku menatap Ibu.

Wajah yang aku dambakan.

Senyum yang aku rindukan.

Sentuhan yang aku rindukan.

Aku menatapnya tanpa berkedip karena takut melewatkan satu momen pun, dan Ibu melakukan hal yang sama.

Dia memainkan pangkal hidungku dengan ibu jarinya yang lembut.

“…Tentu saja, aku datang ke sini hanya sebentar atas izin Tuhan. Aku harus segera berangkat ke alam roh.”

"…Mengapa?"

"Hmm?"

“Tidak bisakah kamu tetap di sini saja?”

Dengan kikuk aku meringkuk dalam pelukan hangatnya.

Air mata kental mengalir di antara mataku yang panas.

Setiap kali aku takut, aku memikirkan Ibu.

Aku terus memikirkan Ibu, dan aku tidak ingin membiarkannya pergi lagi.

Tangan kecilku mati-matian menggenggam ujung baju Vivian.

“Ayah menggunakan orang Majus untuk mengawetkan tubuh Ibu. Tidak bisakah kita hidup bersama saja?”

“Billishia.”

“…Tapi, Ayah dan saudara laki-lakiku juga akan merindukan Ibu. Bukankah Ibu ingin melihat keluarga kita?”

"…Hmm."

Saat aku berbicara dengan nada marah, erangan menyedihkan datang dari sisi lain.

Aku juga mengetahuinya.

Vivian berkata 10 menit lagi dia akan pergi ke alam roh.

Aku tidak tahu mengapa Tuhan menunjukkan belas kasihannya, tapi aku tahu Ibu tidak boleh tinggal lama di sini.

Namun.

“Kamu adalah ibuku, jadi kamu harus tetap di sisiku. Huwaaaaa!”

Saat aku mengeluarkan tangisan yang selama ini kutahan, seekor burung elang terbang mendekat dan menjilat air mataku.

Titi juga sama terkejutnya.

“Bip-bip.”

Titi pasti cemas saat aku menangis, sehingga ia memegangi kaki gemukku dan menangis dengan sedihnya.

Ibu yang kebingungan dan si kepala burung melakukan kontak mata.

Dia segera membungkukkan tubuh bagian atas dan memeluk serta membelai Titi.

“Jadi, apakah teman kucingmu membawamu ke sini?”

“Huwaaa! Ti...Titi tiba-tiba lari ke sini. Uwaaaah!”

Bocil Pengen Kabur Dari Papa Ganteng Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang