Sementara itu ...
Veer berjalan menyusuri jalan kecil yang masih cukup sepi. Tidak banyak orang yang dia temui di jalan, hanya ada beberapa turis asing yang lewat tanpa memberitahu apa tujuan mereka. Veer mengabaikannya, dia masih memikirkan kondisi vilanya yang kini tak terawat.
“Kemana Tuan Ranjit dan Prem? Jika mereka tidak bisa mengurus vila itu lagi, mengapa mereka tidak memberitahuku atau menyerahkan tanggung jawab mereka pada orang lain?” Disela menerka-nerka apa yang sebenarnya telah terjadi pada dua orang itu, langkah kaki Veer mendadak terhenti kala melewati sebuah vila yang berukuran setengah dari vila miliknya.
Veer tidak tahu siapa pemilik vila tersebut, hanya saja ... vila itu seperti memiliki keterkaitan dengan dirinya. Veer maju selangkah demi selangkah ke depan vila. Sekarang, dia berdiri persis di depan pintu, telapak tangannya mendapat sengatan dingin saat menggapai gagang pintu yang terbuat dari besi. Dia tahu, pintu itu tidak bisa terbuka, tetapi, hatinya bersikeras ingin masuk. Sesekali, dia memberikan daya dorong lebih untuk membuka pintu, karena tidak ada reaksi apapun, terpaksa, dia mendobraknya. Sialnya, pintu itu tetap tak memberi akses masuk.
Veer beralih ke jendela, dia mencoba mengintip isi dalam vila. Sayangnya, tirai-tirai putih menghalangi penglihatannya. Veer tidak menyerah oleh rasa penasaran yang membara di dada. Karena tidak mendapatkan akses masuk dari depan, dia beralih ke belakang vila. Perasaan yang sukar dijabarkan tiba-tiba menyusup di benaknya tatkala melihat sebuah gudang kayu tua.
Sekelebat, potongan ingatan masa lalunya memuncul, anehnya, dia melihat dirinya sendiri berjalan menuju gudang tua yang berada di depan sana.
“Apa yang disimpan gudang tua ini? Sehingga kepalaku menjadi sakit begini? Dan tadi itu ... a-aku, aku melihat diriku berada di gudang yang sama.”
Dia menggeleng penuh, memaksa apa yang baru saja muncul di kepala menghilang. Sebab, semakin keras keinginannya mengingat, kepalanya semakin sakit.
Veer tidak mundur. Karena terlanjur penasaran, dia mendekat ke gudang, memutar gagang pintu. Veer cukup kaget mengetahui pintu gudang dalam keadaan tidak terkunci.
“Mengapa ... mengapa rasanya aku pernah kemari. Tapi kapan dan kenapa aku kemari? Sebenarnya, vila siapa ini?” Batinnya menerka tanpa tahu jawabannya. Veer kemudian masuk. Napasnya beradu dengan kepungan debu yang bersarang di langit-langit gudang.
Veer menyeret ujung tangan, meraba sebuah sofa dan bangku kecil d dekat jendela. Karena tirai jendela menghalangi cahaya masuk, dia menyibak terai itu, mempersilakan cahaya matahari menerangi dalam gudang. Kini, bola matanya berkeliling, mengamati setiap inci gudang yang berisi berbagai papan lukisan. Dia tidak tahu pasti lukisan seperti apa yang tergambar, karena semua lukisan ditutup kain.
Semula, Veer berniat menarik satu kain yang menutupi sebuah lukisan. Namun, pandangannya jatuh pada gitar yang tergeletak tak berdaya di atas sofa. Dia menggapai ujung gitar, memetik salah satu senar. Tak puas, dia mengambil gitar itu dan mulai memainkan sebuah tangga nada lagu. Anehnya, tanpa dia sadari, dia memainkan sebuah lagu yang pernah dia ciptakan untuk Haseena dulu.
Sontak saja, Veer de javu dan terdiam cukup lama. Veer beranjak setelah meletakkan kembali gitar ke tempat semula. Kakinya mengajak berjalan maju, menemui sebuah lukisan berukuran besar yang tertutup kain usang. Veer mengusap kain penutup lukisan dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Karena tidak mungkin kain sebesar itu bisa ditarik dengan satu tangan, Veer mengangkat satu tangannya, menggapai ujung kain. Dengan tekad kuat, dia menghempaskan kain penghalang antara dirinya dan lukisan itu. Kepulan debu sontak beterbangan seiring kain itu dihempaskan ke bawah oleh Veer. Veer mundur beberapa langkah, menyaksikan gambaran penuh perempuan yang terlukis di depannya. Bola matanya sedikit menyipit, memperhatikan saksama wajah perempuan yang ada di dalam lukisan.
“Dengar, untuk apa kau melukis dirimu sendiri, sedangkan aku lebih suka memandang dirimu yang asli, tanpa sentuhan apapun.”
“Suatu saat, kau akan tahu betapa berharganya waktumu hanya dengan memandang lukisan ini. Mungkin saja, kau akan bernyanyi dengan latar lukisan ini, lihat saja nanti.”
Veer memegang kepalanya yang berisik. Dia mengangkat pandangan kembali ke lukisan di depan sana.
“Perempuan itu ... bukankah dia?” Veer tak dapat meneruskan bicara saat kepingan-kepingan suara kembali menyala.
“Untuk apa aku harus menunggu nanti, jika detik ini juga aku bisa melakukannya untukmu?”
Dada Veer mulai sesak, air mata yang entah datang dari mana mengacaukan suasana hatinya. Veer menabrakkan kedua lutut ke lantai, lalu memutar tubuh, mengamati gitar di atas sofa tadi. Dia membeku melihat dirinya sendiri sedang memangku gitar sembari bernyanyi untuk seseorang. Perlahan, pandangannya bergeser ke depan, menemui seorang perempuan yang berdiri mengenakan jaket tengah memperhatikan pria yang sedang bernyanyi untuknya.
“Katakan. Di mana kau menemukan bait lagu itu? Mengapa, seolah kau memberiku mantra sihir yang sangat kuat?”
“Aku mencurinya darimu.”
“Tepatnya, dari sini. Bola mata indah ini yang mengantarkanku pada cinta itu. Seperti air hujan yang jatuh dan merindukan lautnya. Itulah cintaku, Haseena.”
Veer berteriak kesakitan. Dia sudah tidak berminat merasakan rasa sakit yang menusuk-nusuk kepalanya. Setidaknya sekarang, dia memiliki sebuah petunjuk akan apa dan siapa dari pertanyaan yang selama ini memenuhi kepala.
“Ha-Haseena ....” Sebut Veer lirih. Sorot matanya kembali menghadap wajah Haseena di lukisan. “Bukankah dia perempuan yang sama dengan perempuan yang aku temui kemarin? Apa jangan-jangan ....”
“Dia ... kakaknya Hania? Dia yang menulis di buku harian itu? Kemarin, dia melepas jaket dan itu membuatku tidak mengenalinya.” Veer tersenyum tak percaya. “Dan ... peristiwa di jalan waktu itu? A-astaga, itu sebuah petunjuk! Kenapa aku tidak menyadarinya?” Bola mata Veer berbinar-binar.
“Sepertinya memang benar apa yang dikatakan Karan waktu itu, saat ini aku memang amnesia dan ingatanku tentang Haseena hilang. Tempat ini ... tempat ini pasti bisa memberiku banyak petunjuk tentang apa yang pernah terjadi di antara aku dan perempuan bernama Haseena itu.”
Tidak mau tergesa-gesa mencari tahu, Veer memilih keluar dari gudang, dia tidak mau menerima lebih banyak lagi kepingan ingatannya yang hilang dalam satu waktu, itu sangat menyakitkan. Veer menutup pintu gudang lalu terdiam.
“Kami mencarimu kemana-mana, ternyata kau di sini?” Suara Dev yang entah kapan datang menyadarkan Veer dari lamunan.
“Kami pikir kau lupa jalan. Apa yang sedang kau lakukan? Sepertinya tadi kau baru keluar dari dalam gudang?” Satya tak mau ketinggalan berkomentar.
“Tidak, tidak ada. Ayo, kita pergi dari sini,” ujar Veer lesu dan langsung berlalu tanpa menjelaskan lagi apa yang telah terjadi.
Dev dan Satya saling bercengkerama melalui tatap mata.
“Apa anak itu habis melihat hantu? Wajahnya pucat sekali.”
Dev mengangkat sedikit bahu. “Bisa jadi. Ayo, kau mau di sini juga dan ....”
Satya tahu kemana arah pembicaraan Dev. Satya berteriak.
“Pelankan suaramu atau ....”
“Ah, diamlah! Kau selalu membuatku was-was. Ayo kita pergi!” ucap Satya menyembunyikan ketakutan di balik ekspresi tenang.
Tentu, Dev tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengerjai rekannya. Tanpa aba-aba, dia berlari sekencang mungkin sembari menakut-nakuti Satya yang refleks menarik diri dari depan gudang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)
Romance[Juara 1 Event Writing Warathon Boungenville Publisher] Beberapa part dihapus untuk kepentingan penerbitan. ❥➳♥❥ Ada banyak bilik-bilik kisah cinta abadi yang akan selalu menempatkan dua perkara dalam satu cerita. Pertemuan dan perpisahan. Pertemuan...