Veer menatap langit yang kosong tanpa sinar rembulan. Di atas kap depan mobil, dia tidur sembari melipat kedua tangan di belakang kepala. Tidak ada keheningan yang memakan pikiran, justru, seisi kepalanya telah penuh dengan wajah, senyum, sorot mata, suara dan semua yang berkaitan tentang Haseena.
Rasanya, seharian ini cintanya bermekaran indah. Namun, itu tidak berlangsung lama karena Haseena mendapat telepon dari Yasser –kekasihnya. Veer hanya bisa mendengarkan percakapan mereka yang disertai gelak tawa di kursi kemudi. Dia sama sekali tidak tertarik mendengarkan pembicaraan sepasang kekasih itu.
Sampai pada akhirnya, Veer yang tak kuasa menahan kesal memukul setir, meluapkan amarah yang muncul tanpa alasan. Haseena langsung diam dan memutus sambungan. Perempuan itu sempat bertanya. Tetapi, Veer justru membentak Haseena untuk diam. Hal itu tentu memicu ketegangan di antara keduanya. Kini, mereka terhalang dinding yang dingin. Tidak ada lagi sesi tanya jawab atau percakapan singkat. Mereka sama-sama diam di sepanjang perjalanan.
Selagi menikmati langit malam, Veer duduk tenang menikmati lagu yang tiba-tiba mendatangi pikirannya. Dia bernyanyi, melantunkan lagu barunya dengan sepenuh hati.
Haseena yang merasa tidak asing dengan lirik lagu itu menjeda sebentar niatanya untuk mengirim pesan pada Yasser. Dia keluar, mendengarkan saksama bait demi bait lagu itu. Bak tersihir, tidak terasa, kakinya melangkah sendiri ke hadapan Veer. Sontak saja, Veer mengakhiri konser dadakan tersebut. Dia meloncat dari kap depan mobil.
“Sudah selesai?! Bagaimana, apa kekasihmu itu bisa menjemputmu besok?” Sewot Veer. Karena tidak mendapatkan respon, Veer melambaikan tangan di depan wajah Haseena. Dia memundurkan sedikit kepala karena perempuan itu menatapnya penuh.
“Orang asing ini ... mengapa bisa datang ke rumahku? Membuka pintu lebar-lebar tanpa permisi dan menaburkan banyak warna yang tidak kutemui pada orang lain.”
“Di mana kau menemukan bait lagu itu?”
Kelopak mata Veer terbelalak kaget. Dia merasa familiar dengan pertanyaan yang baru saja dia terima.
“Tunggu. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu. Aku ingin bertanya sesuatu, apa kau pernah menanyakan pertanyaan yang sama kepada orang lain?”
“Hah?”
Veer sulit menjelaskan situasi yang mencekik pita suara. Satu sisi, dia ingin sekali menceritakan apa saja yang dia temui mengenai masa lalunya dengan Haseena. Namun, ingatannya belum sepenuhnya lengkap, itu akan menjadi susunan puzzle yang rusak dan omong kosong belaka.
“Maksudku. Kau pasti tahu ‘kan? Setahun lalu, aku pernah kecelakaan dan ....”
Haseena mengambil suara. “Ya, aku pernah mendengar berita kecelakaan itu dari Hania. Lalu, apa hubungannya dengan pertanyaanmu dan pertanyaanku?”
Nampaknya, dinding es yang menghalangi keduanya perlahan mencair.
Veer menyembunyikan kedua tangan ke saku jaket, menatap langit, meminta petunjuk. “Tuhan. Sekarang apa? Rasanya sulit menjelaskan semuanya pada Haseena selagi ingatanku belum pulih.”
“Veer.” Panggil Haseena.
“Setelah kecelakaan itu terjadi, sebagian ingatanku hilang. Entah ingatan tentang apa yang telah direnggut oleh kecelakaan itu. Yang pasti, kecelakaan itu mengambil kenanganku dengan seseorang yang sangat aku cintai. Bahkan, kini cinta itu tidak berkurang sedikit pun, walaupun, aku tidak tahu siapa perempuan itu.” Veer menunduk tersenyum. “Aku berbohong. Aku tahu siapa perempuan itu, Haseena. Itu dirimu, hanya saja, aku akan menguatkan diri untuk tidak mengambil banyak hal dari masa lalu. Karena aku yakin, ada yang tidak beres dari takdir ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembilan [END] (SEGERA TERBIT)
Romance[Juara 1 Event Writing Warathon Boungenville Publisher] Beberapa part dihapus untuk kepentingan penerbitan. ❥➳♥❥ Ada banyak bilik-bilik kisah cinta abadi yang akan selalu menempatkan dua perkara dalam satu cerita. Pertemuan dan perpisahan. Pertemuan...